Dunia Keris Selamat tiba kerabat perkerisan. Siang itu, meski panas yang menyengat pada kota yang mempunyai julukan kota udang ini tidak mengurangi hasrat saya untuk menjelajahinya. Kota Cirebon terbilang panas, alasannya memang secara geografis terletak pada pesisir utara.
Menyambung tulisan sebelumnya, kali ini saya mengajak kerabat perkerisan nyambangi kraton Kasepuhan yang masih satu kompleks menggunakan masjid Sang Cipta Rasa. Tapi sebelumnya saya akan sarikan dulu sejarah singkat yang saya nukil menurut wikipedia & cerita eksklusif menurut Pak Fery pemandu kami tentang awal berdirinya Kesultanan Cirebon ini.
Pangeran Sri Mangana Cakrabuana, putra Prabu Siliwangi menurut Kerajaan Padjajaran Bogor, tercatat sebagai pendiri Keraton Pakungwati kurang lebih tahun 1480 M. Kedudukannya sebagai putra mahkota & tumenggung pada Cirebon tak membuatnya ragu untuk memisahkan diri menurut Kerajaan Padjajaran. Keputusan tersebut diambil agar beliau lebih leluasa mengembangkan agama Islam & sekaligus terbebas menurut dampak agama Hindu, agama resmi Kerajaan Padjajaran.
Nama Pakungwati diambil menurut nama Ratu Ayu Pakungwati, puteri Pangeran Cakrabuana sendiri. Kelak, Ratu Ayu Pakungwati menikah menggunakan Syarif Hidayatullah, atau yang lebih populer menggunakan nama Sunan Gunung Djati. Setelah Pangeran Cakrabuana mangkat, Sunan Gunung Djati naik tahta pada tahun 1483 M. Selain sebagai seseorang pemimpin yang disegani, Sunan Gunung Djati juga disebut seseorang ulama terkemuka pada Cirebon.
Pada tahun 1568 M Sunan Gunung Djati wafat. Kemudian, posisinya digantikan oleh cucunya, Pangeran Emas yang bergelar Panembahan Ratu. Pada masa Pangeran Emas inilah dibangun keraton baru pada sebelah barat Dalem Agung yang diberi nama Keraton Pakungwati. Sejak tahun 1697 M, Keraton Pakungwati lebih dikenal menggunakan nama Keraton Kasepuhan & sultannya bergelar Sultan Sepuh.
Seperti yang telah saya tulis sebelumnya tentang akulturasi, baik pada situs Makam Sunan Gunung Djati & Masjid Sang Cipta Rasa. Pun halnya saat kita mengunjungi Keraton Kasepuhan seakan-akan mengunjungi Kota Cirebon tempo dulu. terkesan sekali eksistensi Keraton Kasepuhan juga kian mengukuhkan bahwa pada kota Cirebon pernah terjadi akulturasi. Akulturasi yang terjadi tidak saja antara kebudayaan Jawa menggunakan kebudayaan Sunda, tapi juga menggunakan berbagai kebudayaan pada global, misalnya Cina,India, Arab, & Eropa. Hal inilah yang membentuk ciri-ciri & tipikal masyarakat Cirebon dewasa ini, yang bukan Jawa & bukan Sunda.
Kesan romantisme & akulturasi tersebut telah terasa menurut awal sebelum memasuki lokasi keraton. Sebelum memasuki halaman keraton, pada bagian luar sebelah utara keraton masih terdapat sebuah alun-alun. Semenjak masa Sunan Gunung Jati, alun-alun tersebut dinamai Sang Kalabuwana. Dahulu, alun-alun tersebut berfungsi sebagai rapat besar, apel besar laskar, baris-berbaris, latihan perang-perangan, & pentasan perayaan besar negara.
Di sebelah barat alun-alun masih terdapat Masjid Agung yang dibangun oleh Dewan Waliyullah Sembilan. Masjid itu kira-kira dibangun pada tahun 1422 Saka atau 1500 Masehi menggunakan nama Sang Ciptarasa. Bangunan ini digunakan sebagai tempat beribadah & aktivitas Islam.
Memasuki lingkungan keraton, masih terdapat selokan yang membatasi alun-alun menggunakan keraton. Untuk memasuki lingkungan keraton, wajib melewati jembatan yang diberi nama Kreteg Pangrawit. Kreteg berarti perasaan tajam, & rawit artinya lembut atau halus. Maksudnya merupakan bahwa orang-orang yang melintasi jembatan itu diperlukan yang berniat baik saja.
Secara umum saya rasa agak untuk memotret menggunakan aksara tentang romantisme budaya pada Keraton Kasepuhan ini. Namun, terdapat hal yang menarik pada keraton ini, yakni misteri lukisan Prabu Siliwangi yang masih terdapat pada museumnya. Lukisan Prabu Siliwangi yang mata & jari kakinya bisa mengikuti ke arah mana pun kita berdiri. Penasaran? Silahkan buktikan saja..
Perihal misteri lukisan Prabu Siliwangi ini, istri saya eksklusif antusias membuktikannya begitu pak Fery menjelaskan tentang misteri lukisan hidup menggunakan membumbui menggunakan kisah-kisah spiritual yang melatarbelakangi pembuatan lukisan yang didesain tahun 2004 tersebut. Dikisahkan, lukisan ini didesain hanya sesuai mimpi sang artis alasannya tidak terdapat literatur yang memberi gambaran secara detil penampakan wajah Prabu Siliwangi yang sebenarnya.
Dipadu menggunakan kisah-kisah tentang Prabu Siliwangi yang selalu beraroma mistik, lukisan ini pun menjadi semakin misterius. Banyak cerita yang juga dikuatkan lagi oleh para pemandu, yang mengisahkan Prabu Siliwangi tidak pernah meninggal melainkan hilang secara gaib alias moksa. Istri saya yang penasaran menggunakan keanehan 'lukisan hidup' ini, ia bolak-balik pindah posisi pada depan lukisan. Bahkan penulis sendiri menggunakan jongkok & miring-miring untuk membuktikan bahwa mata & kakinya benar-benar bergerak mengikuti konvoi saya. Sebenarnya apa yang membentuk lukisan ini 'hidup'?
Bisa jadi ini soal teknis saja. Secara umum lukisan kalau digambarkan menggunakan mata memandang lurus ke depan, maka dicermati menurut posisi manapun akan terkesan misalnya mengikuti orang yang melihatnya. Atau terdapat hal yang lain yang menyungkupinya. Sekian dulu catatan perjalan ke kota udang ini, kami wajib ke terminal Harjamukti menunggu bus yang akan membawa ke kota asal. Selebihnya biarlah gambar yang berbicara. Sekian dulu & wassalam. Sampai jumpa