Dunia Keris Selamat tiba kerabat perkerisan. Sore itu, terang hanyalah milik kilat & bunyi petir yang menggelegar disertai guntur yang menderu-deru. Suara gemuruhnya bersahutan bagaikan ribuan gajah berlarian di atas awan. Rupanya, sang rudrapati sedang menjilati seluruh dataran langit Tiongkok Kecil ketika aku menyinggahinya beberapa waktu yang kemudian.
Aroma basah pun lambat laun menebar menjadi embun gelap tetapi sejuk dihirup. Pertanda sebentar lagi turun hujan akan dikeluarkan oleh angin dingin yang bertiup semakin kencang. Ya, kejadian di muka bumi ini sudah digariskan oleh Sang Petitah. Kita menjadi titah hanya sekadar menjalani saja. Kecewa. Tentu, & aku rasa manusiawi. Rencana menjelajahi jengkal demi jengkal Tiongkok Kecil ini pun pupus alasannya adalah sabda alam yang nir berpihak. Toh masih ada hari yang lain.
Lasem, itulah Tiongkok Kecil tadi. Meski nir sempat mengakrabi lebih intim sore itu, tetapi kunjungan tadi bukanlah yang pertama aku lakukan di kota besar ke 2 di Rembang ini. Tembok-tembok tinggi yang membangun lorong putih menjadi pembatas rumah-rumah tua berarsitektur Tiongkok yang tersembunyi dibaliknya, itulah citra yang pas buat kota yang berjuluk Tingkok Kecil ini.
Ya, kini Lasem hanya kecamatan mungil di lintasan jalan pantai utara Jawa. Sepi & tidak banyak dikenal orang. Padahal, sejatinya sejarah lasem sudah sangat tua, jauh lebih tua jikalau kita sandingkan dengan jung yang dinahkodai Bi Nang un ketika mendarat di Pantai Regol. Kadipaten Lasem, tahun 1413 silam. Tidak banyak yang tahu, bahkan dalam Serat Badra Santi yang ditulis Mpu Santri Badra pada tahun 1479 secara lugas menjelaskan bahwa pada tahun 1273 Saka atau 1351 Masehi, Lasem sudah menjadi tanah perdikan Majapahit.
Ketika itu, perdikan Lasem dipimpin seorang wanita bernama Dewi Indu, kemenakan Hayam Wuruk yang bergelar Bhre Lasem. Dalam Negarakertagama, Bhre Lasem waktu itu disebutkan menjadi seorang putri bernama Sri Rajasaduhitendudewi, adik perempuan Hayam Wuruk. Bhre adalah gelar buat penguasa tempat di bawah imperium Majapahit.
Masih dalam Badra Santi, Bi Nang Un yang sudah aku singgung di atas adalah seorang dari Campa (tempat Indochina, sekitar Vietnam, Kamboja, Laos yang waktu itu adalah bagian dari wailayah kekaisaran Dinasti Ming). Nah, istri sang nahkoda ini, putri Na Li Ni, dikisahkan selanjutnya membawa seni batik ke Lasem.
Lasem bukan sekadar batik. Ketika terjadi geger China (1740), Lasem menjadi titik sentra perlawanan China terhadap Belanda. Perlawanan itu dipimpin Raden Ngabehi Widyaningrat (Oey Ing Kyat), Raden Panji Margono, & Tan Kee Wie. Dari Lasem, perlawanan terhadap Belanda menyebar ke Pati, Kudus, hingga Semarang.
Seperti halnya sebutanya Tiongkok Kecil, Lasem (Lao Sam), Sampotoalang (Semarang) & Ujung Galuh (Surabaya) pada abad XIV hingga XV adalah tempat terbesar berkembangnya para imigran dari Tiongkok di pulau Jawa. Datangnya armada besar Cheng Ho ke Jawa pun turut andil besar dalam perkembangan pemukiman pecinan di pesisir utara Jawa ini.
Bahkan menurut N.J. Krom, perkampungan China di masa kerajaan Majapahit sudah ada semenjak 1294-1527 M. Hal ini sanggup dibuktikan dengan adanya bangunan-bangunan tua mirip permukiman Pecinan dengan bangunan khas Tiongkoknya & kelenteng tua yang berada tidak jauh dari jalur kemudian lintas perdagangan di sepanjang aliran Sungai Babagan Lasem (kala itu disebut Sungai Paturen).
Sungai Babagan Lasem ini pada waktu itu menjadi akses utama penghubung antara laut & darat, jua dominasi tempat-tempat perekonomian yang strategis oleh mereka di kemudian hari, mirip yang sanggup kita lihat pada sentra-sentra pertokoan di sepanjang jalan raya kota sekarang ini.
Sejarah perlawanan rakyat Lasem melawan Kompeni sudah dimulai semenjak jaman Amangkurat IV (1719-1726). Ketika Pengeran Purbaya mengangkat senjata melawan Kompeni, orang Lasem banyak yang bergabung dengan Purbaya. Di masa itu Bupati Lasem adalah Tejakusuma V. Ia kemudian digantikan oleh seorang keturunan Tionghoa bernama Oey Ing Kyat yang bermarga Oei atau dalam bahasa Mandarin disebut Huang. Ia diberi nama Tumenggung Widyadiningrat oleh Pakubuwono II. Hal itu alasannya adalah anak Tejakusuma V yang bernama Raden Panji Margana lebih suka menjadi Petani, maka Keraton Kartasura merestui penunjukkan Tumenggung Widyadiningrat.
Selengkapnya baca Oey Ing Kyat : Bupati dari Tionghoa Pertama di Tanah Jawa
Raden Panji Margana sendiri sudah memiliki kontak erat dengan orang Tionghoa. Pada 1740 semasa pengungsi Tionghoa Batavia tiba di Lasem. Ia pun turut membaur & melawan Kompeni. Ia diangkat menjadi pemimpin & dibantu para tokoh rakyat Tionghoa, termasuk Tumenggung Widyadiningrat yang menyatakan memihak kepada para pemberontak melawan Kompeni. Tokoh Tionghoa lain di Lasem yang tidak kalah krusial ialah Tan Ke Wie. Ia adalah seorang produsen batu bata. Tan Ke Wie selain seorang guru silat yang disegani di Lasem jua dikenal menjadi getol memberi.
Para pemberontak, baik Tionghoa juga orang Jawa mengenakan seragam yang sama, yaitu baju Tionghoa & celana komprang hitam. Tak terkecuali Panji Margana yang selalu mengenakan busana tadi. Hal ini menyulitkan musuh buat membedakan mana pemberontak Tionghoa & mana yang bukan. Pada masa Amangkurat V, pemberontakan Tionghoa-Jawa melawan Kompeni masih berlanjut.
Semua diawali semenjak 6 April 1762, ketika di suatu wilayah di Pati, Raden Garendi dinobatkan menjadi Raja Mataram degan gelar Sunan Amangkurat V atau Sunan Kuning. Saat penobatan, di samping kanan duduk para ulama & di samping kiri para panglima yang berbusana Tionghoa. Istilah Sunan Kuning konon berasal dari celoteh Cun Ling yang berarti bangsawan tertinggi. Sebutan ini diberikan oleh Panglima Tionghoa saat upacara penobatan. Karena nir bisa mengucapkan celoteh itu dengan baik, mereka menyebutnya menjadi Sunan Kuning.
Tetapi asal lain mengatakan bahwa itu alasannya adalah beliau memiliki pasukan berkulit kuning, yaitu orang Tionghoa yang membangun perlawanan bersenjata terhadap Kompeni. Sunan Amangkurat V mengutarakan kemasygulan hatinya atas perilaku Pakubuwono II yang tadinya berpihak pada laskar Tionghoa, sekarang ganti memusuhi mereka & memihak VOC. Sebelumnya raja Mataram di Kartasura sudah memberi perintah kepada seluruh jajarannya buat membantu laskar Tionghoa melawan VOC.
Tetapi perintah tadi dicabut & diganti dengan perintah sebaliknya, yaitu memihak VOC & memerangi laskar Tionghoa. Perintah ini alasannya adalah Pakubuwono marasa pesimis memenangkan peperangan jikalau berkongsi dengan laskar Tionghoa. Para pemberontak mendukung keputusan Amangkurat V. Para pemberontak Lasem sebelumnya disibukkan dengan serangan tentata Madura. Orang Tionghoa sempat bahu membahu dengan pasukan Mataram, melawan Kompeni & Madura. Memang, keadaan sempat berbailk, para pemberontak tadi berperang dengan pasukan Mataran yang dikirim dari Kartasura.
Pada masa Amangkurat V koalisi Tionghoa-Jawa semakin terang, Lasem berada dalam wilayah kekuasaan pemimpin lokal bernama Singseh yang bernama asli Tan Sin Ko. Ia adalah pemimpin lokal orang-orang Tionghoa di sekitar Jepara hingga Lasem. Singseh menjadi sekutu Bupati Grobogan, Martapuro ketika melawan VOC. Dalam suatu pertempuran, pasukan Singseh & Martapuro melakukan pencegatan pasukan VOC yang menuju Juwana pada 15 Oktober 1742. Di tengah jalan Pasukan VOC ditemui putera Nahkoda Salam.
Pedagang Melayu tadi mengabarkan bahwa para pemberontak sudah mengosongkan Juwana & mundur ke arah Rembang. Capten Gerrit Mom segera memasuki kota tadi. Ia tiba sehari lebih awal dari pasukan Nathanael Steinmetz yang tiba melalui laut. Singseh berusaha menghadang pasukan VOC yang sudah hingga di Rembang. Pasukan Kompeni tadi marupakan gabungan dari detaseman Mom, Steinmetz & Hohendorff.
Laskar Tionghoa melawan dengan hebat. Namun alasannya adalah persenjataan yang lebih lengkap & jumlah personel yang lebih banyak, pasukan Kompeni berhasil menceraiberaikan musuh. Sebagian dari mereka bersama para parjurit Jawa lari mundur ke Grobogan buat menuju Kartasura. Sebagian lagi ke arah Lasem.
Diduga mereka berniat ke Pulau Bawean & merencanakan menuju ke Johor. Singseh termasuk galat seorang yang mengambil rute ini. Namun saat beliau beserta tujuh anak buahnya sedang berusaha naik bahtera di pantai Lasem, patroli pasukan VOC memergokinya. Mereka segera melakukan penyergapan Singseh & kawan-kawan. Komandan patroli Kompeni tadi bernama Bapak Slamat. Ia bekas budak seorang anggota Dewan Hindia yang bernama Jacob Willem Dubbbeldekop.
Singseh terbunuh dalam pertempuran tadi. Kepalanya dipenggal & oleh Bapak Slamat diserahkan kepada Panglima Operasi Steinmetz. Selain menyerahkan penggalan koordinator, Bapak Slamat jua menyertakan jimat Singseh, berupa patung koordinator singa terbuat dari emas. Atas jasanya sudah menyebabkan tewasnya musuh besar Kompeni tadi, Bapak Slamat mendapat anugerah. Ia mendapatkan sejumlah uang & 25 rumah tangga yang terletak di dekat Rembang.
Dengan jatuhnya Rembang, maka pesisir utara yang membentang antara Cirebon hingga Lasem, simpel dikuasai Kompeni. Untuk mempertahankan wilayah yang berhasil direbut, Kompeni menempatkan sekitar 600 sedadunya di Rembang. Padahal menurut info yang diterima, kekalahan pasukan pemberontak di Lasem & tewasnya Singseh menurunkan semangat prajurit pemberontak.
Mengenai perlawanan pasukan pemberontak Tionghoa lain dari Lasem, ialah perlawanan yang dipimpin Tan Ke Wie. Mereka melancarkan serangan kepada Belanda dari arah Timur. Pasukan Belanda ini sempat kewalahan menahan serangan laskar Tionghoa. Selesai pertempuran Tan Ke Wie menuju Jepara memakai bahtera. Namun ketika hingga di Pulau Mandalika, beliau dihujani dengan tembakan meriam Kompeni. Perahunya pecah & Tan Ke Wie beserta seluruh laskarnya tewas. Untuk memperingati bencana tadi didirikan tugu peringatan lepas lima November 1742 di tengah tambak Bathuk Mimi, milik Tan Ke Wie.
Lasem jua dikenal menjadi titik penyelundupan senjata api dari Singapura. Dari Lasem, senjata dipasok kepada pelarian wanita bangsawan keraton di Rembang, yang selanjutnya dikirim ke pasukan Diponegoro yang mengobarkan Perang Jawa I (1825-1830). Akhirnya, jalur penyelundupan terbongkar & para penyelundup digantung Kompeni di sentra kota.
Selain menyelundupkan senjata, mereka jua menyelundupkan candu. Gudang-gudangnya kini berupa rumah-rumah tua dengan pagar tinggi di tepi Sungai Lasem di Dasun. Rumah itu kini menjadi sarang burung walet. Dulu, katanya dari sungai tadi ada terowongan air menuju bangunan-banguan tadi.
Di Lasem ini jua tercatat Dai Nippon mendarat di pantai ini tahun 1942. Di Lasem, Jepang mengambil alih satu galangan kapal Belanda, kemudian membangun 2 galangan lagi. Sejarah pembuatan kapal di Lasem, yang sudah dimulai semenjak era imperium Majapahit & Mataram Islam, dilanjutkan Jepang.
Peter Boomgaard dalam bukunya, Children of the Colonial State: Population Growth and Economic Development in Java, 1795-1880 (1989) menjelaskan, sebelum kedatangan Belanda, Lasem & Rembang sudah menjadi sentra pembuatan kapal. Jumlah pekerjanya lebih dari 500 orang.
Dalam buku Summa Oriental, lebih dahulu penjelajah Portugis Tome Pires (sekitar 1512-1515) mencatat Rembang, yang waktu itu masuk dalam wilayah kekuasaan Brhe Lasem, semenjak dahulu mempunyai galangan kapal. Dikatakannya, industri kapal berkembang alasannya adalah hutan di selatan Rembang lebat. Walau kini sulit sekali menemukan pohon berukuran memadai di Rembang & Lasem.
Dari kesaksian warga Lasem yang sempat tercatat mengenai galangan kapal ini, waktu itu Lasem memang ramai sekali. Lebih dari 200 orang bekerja di galangan kapal. Mereka membangun kapal besi sepanjang lebih dari 30 meter. Plat besi disatukan dengan paku yang dilelehkan, bukan disekrup.
Kapal-kapal Belanda yang terselesaikan dibangun kemudian dikirim ke Batavia buat mengangkut pengaruh bumi dari tanah Jawa. Tahun 1942, saat Jepang tiba, galangan kapal Belanda diambil alih. Jepang membangun 2 galangan lagi buat kapal kayu.
Jejak galangan kapal Belanda & Jepang itu masih sanggup dicermati di Kali Lasem, tepat di Desa Dasun. Tiga fondasi batu, berbentuk cetakan bahtera berukuran panjang lebih dari 50 meter, terlihat di tegalan, sekitar 10 meter dari tepi Sungai Lasem. Dulu galangan kapal tadi persis di pinggir sungai. Tembok galangan masih utuh, tetapi lumpur memenuhi ruang antara tembok & air sungai. Dulu, tiap enam bulan Jepang mengeruk alur sungai.
Setelah Jepang pergi, industri kapal di Lasem telantar. Tahun 1970-an, berangsur batik Lasem memudar alasannya adalah tidak ada penerus. Hutan jati di hulu yang gundul nir lagi sanggup menahan gelontoran tanah masuk ke sungai sehingga Sungai Lasem pun makin dangkal & sempit. Kota yang dibangun trah Bhre Lasem semakin sepi, menuju titik nadir.
Sejarah Lasem nir sanggup dilepaskan dari orang Tionghoa yang diusir oleh Kompeni, dari pemukiman lama, Batavia, yang berbaur dengan orang Jawa. Sebenarnya hal ini buat memecah solidaritas antara orang Jawa & Tionghoa. Namun buat wilayah Lasem, cara tadi kurang berhasil. Kesetiakawanan di antara Jawa-Tionghoa tetap terbina dengan baik. Solidaritas di akar rumput relatif tidak selaras dengan keadaan di tingkat elit kekuasaan, sebagaimana perilaku Pakubuwono II.
Meskipun kebanyakan bupati diangkat oleh keraton Kartasura & masih mempunyai kontak keluarga, tetapi nir menjamin mereka rukun. Penyebab perselisihan antara lain alasannya adalah saling berebut wilayah yang nir punya batas terang atau kekhawatiran terhadap kekuatan VOC. Keturunan bupati yang terguling terkadang mengerahkan massa buat menuntut balas. Hal ini tentu saja dimanfaatkan Kompeni buat semakin mengadu domba pihak yang berselisih. Lasem menyimpan jejak tak pernah mati persatuan konsisten Tionghoa-Jawa mengusir penjajah Belanda.
Persatuan itu tidak pernah luntur oleh materi, pengkhianatan atau sekedar kecemasan. Perjuangan para pendahulu, tanpa memandang suku, ras atau latar belakang ini pantas dijadikan tonggak perjuangan konsisten melawan penjajahan, yang licik & kejam. Perjuangan mereka dengan mengorbankan nyawa, memberi pesan yang tersirat pentingnya persatuan bangsa Indonesia supaya nir gampang dipecah belah.
Lasem masih menyimpan jejak para pahlawan tadi. Di Klenteng Gie Yong Bio, Desa Babagan, terdapat altar buat mengormati Raden Panji Margana. Di Gunung Bugel, di sebelah selatan Lasem, terdapat makam Bupati Lasem, Oey Ing Kyat yang oleh Pakubuwono II diberi nama Tumenggung Widyadiningrat.
Sementara makam Tan Sin Ko alias pemimpin Tionghoa lokal ada di pantai Lasem, yang oleh Paguyuban Warga Lasem disebutkan ada di Desa Doro Kandang. Tak bisa dilewatkan mengenang Tejakusuma V, Tejakusuma I alias Ki Angeng Punggur, Sayyid Abdurahman & Kiai Ali Badhowi yang turut melawan Kompeni. Mereka dimakamkan di Kompleks Masjid Jami, kota Lasem. Nuwun