Dunia Keris Selamat tiba kerabat perkerisan. Dunia Keris Selamat tiba kerabat perkerisan. Untuk menyambungkan tulisan sebelumnya Raden Ayu Utari Sandi : Sang Martir asal Wangsa Mataram, kesempatan kali ini saya akan ajak kisanak secara khusus seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda yg paling mengundang kontroversi. Dia artinya Jan Pieterszoo Coen.
Pemimpin VOC ini hayati kepada 1587-1629 atau dalam bahasa lain, dia meninggal belia kala itu. Baru berusia 42 tahun, usia matang-matangnya. Namun, dalam hayati yg nisbi singkat itu, dia sanggup jadi tokoh kontroversial. Ia dijuluki Ijzeren Jan, Jan Besi, alasannya adalah kebengisannya. Bahkan matinya pun, Coen masih kontroversial hingga kini.
Jan Pieterszn Coen merupakan Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke 4. Di kalangan orang Jawa, dia dipanggil Murjangkung. Konon, penyebutan ini mengacu kepada postur tubuhnya yg tinggi besar, jangkung dalam istilah Bahasa Jawa. Selain kontroversialnya, legenda mengenai Coen bekerjasama menggunakan percobaan agresi prajurit Mataram atas perintah Sultan Agung Hanyokrokusumo.
JP Coen lahir kepada Januari 1587 di Horrn, kota pelabuhan cantik di Belanda Utara Belanda, sebagai putra seorang pedagang yg beragama Protestan. Sebuah kota di Belanda yg juga dijuluki kota VOC dan juga kota museum. Kota ini juga sarat monumen. Salah satu monumen penting di Hoorn artinya patung Jan Pieterzoon Coen yg berdiri megah di alun-alun sentra kota. Dilihat asal segi artistik, patung itu mengagumkan, tetapi bagi beberapa kalangan, patung JP Coen sangat mengganggu.
Patung itu melambangkan penghormatan terhadap seorang pembantai terbesar dalam sejarah Belanda. Begitu pendapat sebagian warga Horrn yg ingin patung itu dipindahkan asal alun-alun ke museum. Alasan pokok mereka yg ingin patung tadi dipindahkan alasannya adalah Mahkamah Internasional ada di Den Haag. Jadi Belanda telah seharusnya menjadi negeri teladan dalam hal ini, bukan buat menulis balik atau mengingkari sejarah.
Coen belia, ketika dia berusia 13 tahun, dia pergi ke Roma buat memeriksa sejarah dan keterampilan berdagang. Sesudah balik ke Belanda tahun 1606, dia bekerja di perusahaan dagang Hindia Belanda, VOC, sebagai pegawai yunior dan menghabiskan waktunya buat peranan yg lebih besar di Asia. Dia menjadi pegawai senior dan pemeriksa pembukuan tahun 1613. Tak berselang lama dia mendapatkan tawaran berlayar menggunakan seorang atasan bernama Pieter Willemszoon. J.P. Coen menyetujui tawaran itu dan akhirnya berlayar buat pertama kalinya ke tempat Banda, Maluku.
Selama 3 tahun berada di Maluku, J.P. Coen akhirnya balik lagi ke Belanda. Capten yg membawanya menuju Maluku ternyata tewas dibunuh. Dalam perundingan menggunakan penduduk lokal, dia ditikam hingga tidak bernyawa. Akibat hal ini J.P Coen jadi benci setengah meninggal menggunakan orang-orang yg ada di Maluku.
Setelah balik lagi ke Belanda, dia berkarier di global perdagangan menggunakan sangat hebat. Bahkan ketika usianya masih 31 tahun, Kerajaan Belanda mengangkatnya menjadi Gubernur Jenderal yg akan memerintah Hindia Belanda. Diberi kekuasaan ini, J.P. Coen jadi lebih bersemangat. Bahkan dia menjadi orang Belanda pertama di Nusantara yg berani melawan Inggris.
J.P. Coen tidak menyukai para orang Inggris yg ada di Nusantara. Akhirnya menggunakan segala kekuatan J.P. Coen menyerang orang Inggris yg ada di tempat Banda, Maluku. Bahkan, dia juga menaklukkan wilayah itu sambil balas dendam. Dendam yg tersalurkan. Kekejamanannya yg paling besar artinya membinasakan penduduk Banda alasannya adalah mereka melawan monopoli pala VOC. Mereka tidak mau hanya menjual pala kepada VOC menggunakan harga murah.
Coen membinasakan ribuan rakyat Banda (1821) hingga penghuni di sana tinggal sepertiganya. Sisa yg masih hayati ditangkap dan dikirim ke Batavia. Kelak mereka berhimpun dalam satu komunitas, Kampung Banda.
Kejadian itu memicu dendam kesumat di benak tentara Inggris. Sebagai balas dendam mereka merebut sebuah kapal Belanda De Swarte Leeuw yg berisi penuh menggunakan muatan. Maka sehabis itu pertempuran antara ke 2 kubu pun dimulai.
Belanda dan Inggris sama-sama mengeluarkan kekuatan terbesarnya hingga kota Jakarta yg digunakan sebagai sentra perdagangan musnah. Pada perang ini J.P. Coen juga sukses menaklukkan Kerajaan Jayakarta menggunakan sangat gampang.
Setelah kota pelabuhan ini musnah, J.P. Coen mendirikan sebuah banteng besar sambil membuat kota multi kultural baru bernama Batavia. Dari sini sejarah kota Batavia yg ketika ini bernama Jakarta dimulai. J.P. Coen memang seorang yg kejam, namun dia orang yg paling berjasa membuat ibu kota Indonesia yg ketika ini menjelma semegah ini.
Seperti yg telah saya narasikan di atas, bagi Belanda, J.P. Coen artinya seorang pahlawan yg hebat. Berkat jasanya, Belanda mendapatkan pundi-pundi gulden yg berjibun. Apalagi dia menghasilkan kota Batavia yg menjadi sentra perdagangan paling besar di Hindia Belanda. Atas jasanya ini J.P. Coen hingga didesain sebuah patung buat mengenang jasa-jasanya.
Patung J.P. Coen yg berdiri angkuh di alun-alun kota Hoorn ternyata tidak disukai semua orang. Kaum humanis yg mengerti sejarah kekejaman Belanda di Nusantara (Indonesia) melakukan protes. Mereka mengatakan jika J.P. Coen artinya orang kejam. Ia membantai poly orang di Banda, Jakarta, dan Banten. Kekejamannya itu tidak sepantasnya dibanggakan misalnya ini.
Bagi Belanda, Coen memperoleh tempat yg membanggakan dalam rintisan penjajahan Belanda di Asia. Belanda sendiri mengambil namanya buat hadiahnama poly ruas jalan. Dari lebih kurang 807 ruas jalan yg ada sehabis penjajahan Hindia Belanda, sebanyak 25 diantaranya ditandai menggunakan nama Coen. Jumlah ini termasuk luar biasa dan membagikan taraf kepopuleran yg tinggi, di samping nama Abel Tasman dan Cornelis de Houtman.
Nama Coen juga diabadikan dalam tiap peringatan penjajahan dan sebagai nama gedung di Amsterdam. Bahkan jalur pelayaran antara Amsterdam ke Batavia acapkali ditunjuk sebagai Jalur Coen. Coen memperoleh penghormatan yg membanggakan selama periode kolonialisasi, khususnya di akhir abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20, seiring menggunakan kesulitan Belanda dalam menaklukkan Aceh selama dekade terakhir abad ke-19. Belanda merasa perlu menampilkan kenangan akan sosok yg kuat buat menghibur diri asal kegagalan penaklukkan itu.
Penaklukan Coen atas Kepulauan Banda (1621) telah menghasilkan kritik yg keras diantara sejumlah masalah penting mengenai pelayaran. Perdebatan mengenai kepahlawanan Coen tidak hanya sebatas di Belanda. Hal serupa menimpa sosok Vasco da Gama dan Columbus di Spanyol dan Portugal. Bukan hanya letak makammnya di Belem dan Serville saja, tetapi debat apakah kemampuan mereka menemukan global lain merupakan tindakan patriotik atau tidak.
Misteri Kematian J.P Coen
Ada dua versi penyebab kematian J.P. Coen. Versi pertama menyebutkan bahwa dia meninggal yg akan terjadi agresi balatentara Mataram ke Batavia kepada tahun 1929, yg merupakan agresi ke 2 sehabis agresi pertama kepada 1628. Versi yg merujuk asal Babad Jawa ini, Coen meninggal yg akan terjadi senjata balatentara Mataram. Kemudian kepalanya dibawa ke Mataram, dan dikuburkan di tangga Pajimatan Imogiri, makam raja-raja kesultanan Mataram. Sebagai simbolis bila orang hendak kepemakaman itu terlebih dulu menginjak koordinator Coen.
Kematian J.P. Coen dalam versi ini tentu saja merupakan prestasi terbesar Mataram dalam mempertahankan wilayahnya yg diusik Belanda. Untuk mennyingkat waktu, selengkapnya kisah kematian J.P. Coen versi Mataram kisanak dapat baca di tautan Utari Sandi Sang Peracun Coen.
Tentu saja, versi tadi bertolak belakang menggunakan versi Belanda. Menurut sumber sejarah Belanda kematian Coen yg akan terjadi penyakit kolera yg melanda Batavia waktu itu. Tiga hari sehabis agresi Mataram. Menurut versi Belanda dia dimakamkam di Balai Kota (kini Museum Sejarah DKI di Taman Fahillah) dan kemudian dipindahkan ke de Oude Hollandsche Kerk (Gereja Tua Belanda), kini menjadi Museum Wayang.
Mengutip asal buku ''Jakarta asal Tepian Air ke Kota Proklamasi'' karya Sugiman MD. Dalam bukunya sejarawan ini meyakini bahwa kematian Coen yg akan terjadi agresi tentara Mataram. Menurut dia yg ditunjuk sebagai makam Coen sebenarnya bukan tempat makam jenazahnya dikebumikan. Tapi jenazah orang lain.
Pada tahun 1939 pernah dilakukan penggalian di makam Coen, buat mencari jenazahnya. Tapi tidak ditemukan apa-apa. Meskipun sejarawan ini lebih mempercayai versi Babad Jawa, tapi dia beropini buat mencari kebenaran, perlu dilakukan penggalian jenazah berupa koordinator Coen di Pajimatan Imogiri.
Namun tidak sedikit yg percaya, bahwa makam Coen di Museum Wayang, tepatnya di sebuah batu nisan besar yg ada ditembok bagian belakang museum. Huruf-huruf tebal ditembok itu menyebutkan di tempat inilah kira-kira Coen dimakamkan, berdekatan menggunakan makam para penggantinya.
Sulit dipercaya bahwa dihalaman dalam gedung yg anggun dan artistik di Jl Pintu Besar Utara hingga ke arah Jl Kalibesar Timur, yg selalu hiruk pikuk dulunya artinya sebuah pemakaman Belanda. Pemakaman ini ditutup menjelang akhir abad ke-18 (1795) alasannya adalah telah penuh.
Pada abad ke-18 Batavia memang termashur sebagai Koningin van het Oosten — Ratu asal Timur –. Tetapi dia juga mendapatkan reputasi buruk sebagai Graf der Hollanders — Kuburan orang-orang Belanda –. Angka kematian waktu itu artinya 25 persen per tahun di antara orang Eropa. Ketika itu tidak seorang pun merasa heran bila mendengar teman menggunakan siapa dia kemarin makan malam akan dikubur esoknya. Selengkapnya dapat sampeyan baca di Napak Tilas Kota Ratu asal Timur.
Dengan penuhnya makam tadi lalu dipindahkan ke Kebon Jahe Kober (Jakarta Pusat), yg ketika itu letaknya jauh di luar kota. Hingga jenazah wajib diangkut menggunakan sampan atau bahtera. Puluhan bahtera asal sentra Kota membawa usungan jenazah melalui Kali Krukut yg kala itu dapat dilayari, merupakan pemandangan sehari-hari. Iringan bahtera jenazah ini berhenti di Jalan Abdul Muis sekarang ini. Persis di belakang Departemen Penerangan yg telah dilikuidasi oleh Gus Dur. Dari tepi kali yg dulu jernih dan dapat dilayari telah siap sebuah kereta jenazah buat mengantarkannya ke pemakaman yg jaraknya lebih kurang 500 meter.
Pemakaman Belanda, Kebon Jahe Kebor di Jl Tanah Abang I, Jakarta Pusat yg dulunya bernama Kerkof Laan (Jl Kuburan). Makam ini ditutup kepada 1975. Pada 1977 oleh Gubernur Ali Sadikin diresmikan jadi Museum Taman Prasasti. Di sini kita masih menjumpai sebuah kereta tua yg digunakan buat mengangkut peti jenazah. Juga terdapat peti jenazah Bung Karno dan Bung Hatta, ketika ke 2 tokoh nasional ini wafat.
Jumlah prasasti yg terdapat di museum ini lebih kurang 1.324 buah, berupa batu nisan asal abad ke-17 (pindahan asal pemakaman di belakang Museum Wayang) hingga tahun 1960 an. Lokasi kuburan, dari kebiasaan masa itu ditandai menggunakan sebidang granit super besar yg dibubuhi gesekan lambang, nama, tanggal lahir dan meninggal serta gejala jasa yg bersangkutan.
Kalau Coen dikabarkan meninggal alasannya adalah agresi prajurit Mataram, hal yg sama juga dialami Mayor Jenderal JHR Kohler. Pimpinan pasukan Belanda yg mengadakan penyerangan ke Aceh tanggal 8 April 1873, seminggu kemudian telah menjadi mayit. Ia tewas yg akan terjadi perlawanan yg gigih asal pejuang Aceh. Prasasti makam orisinal JHR Kohler dan kerangkanya dikuburkan di Banda Aceh. Hanya duplikatnya yg ada di Museum Prasasti.
Seperti juga Coen dan Kohler, Mayor Jenderal AV Michiels (1797-1849), yg prasastinya terdapat di museum ini, artinya pemimpin pasukan Belanda. Ia ketika menyerang Kerajaan Buleleng, Karangasam dan Klungkung, Bali kepada 25 Mei 1849. Pemerintah Belanda pernah mendirikan Monumen Michiels berdekatan menggunakan monumen Coen di Waterlooplein (Lapangan Banteng). Yang kemudian diruntuhkan kepada masa pendudukan Jepang.
Di sini juga terdapat makam Olivia Marianne Raffles (1798-1841), istri gubernur jenderal Thomas Stamford Raffles. Ia meninggal di Buitenzorg (Bogor) dalam usia 43 tahun. Di Kebun Raya Bogor, Raffles, pendiri kota Singapura ini membuat tugu kenangan buat istrinya, yg ikut mencetuskan pembangunan kebun raya itu.
Diantara prasasti generasi kemudian terdapat Soe Hok Gie, pendiri Mapala (Mahasiswa Pencinta Alam) UI yg kepada tahun 1969 mengalami kecelakaan dalam pendakiannya ke Gunung Semeru, Jawa Timur, yg akan terjadi terhirup gas beracun. Meninggal dalam usia 27 tahun, Soe Hok Gie yg saudara termuda Arif Budiman selalu berada dibarisan depan dalam demo-demo menentang Orla. Di sini juga terdapat prasasti Mis Riboet (1900-1965), seorang tokoh panggung (sandiwara) yg terkenal semenjak zaman Belanda. Dialah yg mendidik almarhum Teguh, pendiri Srimulat.
Tentu masih ada ratusan para tokoh yg pernah memainkan kiprah penting kepada kota Jakarta ketika masih bernama Batavia. Bila saja kita berada di sini dan mau sedikit bersusah payah buat mencermatinya, kita akan dapat menghidupkan balik insiden-insiden di masa lalu. Hanya sayangnya, warga Jakarta yg terlalu sibuk dan tengah ngelus-ngelus calon gubernurnya masing-masing tidak tertarik buat mendatangi tempat ini.
Sementara hingga disini dulu kisanak, juga tampaknya telah lumayan panjang. Inilah sekelumit kisah J.P. Coen sang Gubernur Jenderal Belanda terkejam yg pernah tinggal di Indonesia. Di tangan J.P. Coen poly kerajaan di Indonesia yg akhirnya runtuh menggunakan cepat. Dilain sisi, terlepas asal kejamnya, wajib kita akui, adanya Batavia yg mejadi Jakarta kini artinya campur tangannya. Nuwun.
Disarikan asal poly sekali sumber