Dunia Keris Selamat tiba kerabat perkerisan. Jogja & Malioboro memang tak dapat dipisahkan. Siapa yang tak tahu Maliboro? Saya rasa hampir semua orang tahu jalan yang segaris lurus antara Keraton & Tugu Pal Putih tersebut yang dapat jadi ialah sebuah jalan terunik pada dunia.
Tapi dalam tulisan ini saya tak hendak membincang keriuhan Malioboro pada saat akhir pekan seperti ini. Sudah tahu sendiri kan, bagaimana keriuhannya. Dan saya pula yakin, tak banyak yang tahu seandainya Malioboro dalam perjalanannya ternyata menyimpan sejarah intrik kehidupan Jogja.
Dalam sejarahnya, Jogja dibandingkan memakai kota-kota besar yang lainnya pada Indonesia ini ialah satu-satunya wilayah yang bebas dari intervensi Belanda. Barang tentu ini bukan tanpa alasan, Sultan Hamengkubuwono IX ialah teman sekolah ratu Belanda. Bahkan rumornya, kalau ratu Belanda kepincut memakai HB IX. Walah kok tambah nglantur kesini. Baik kita kembali ke sejarah Malioboro yang menyimpan sejarah intrik kehidupan Jogja.
Menelusur sejarah intrik Maliboro bermula ketika Hamengkubuwono I yang mengangkat kapiten seorang Tionghoa, Tan Jin Sing pada tahun 1775. Yang kemudian memakai nama Jawa Setjodiningrat & bertempat tinggal pada ndalem Setjodiningratan. Perlahan namun pasti, lambat laun kurang lebih daerah ndalem Setjodiningratan menjadi semacam kompleks pecinan. Karena hal ini pula ditunjang oleh tersingkirnya pedagang Tionghoa dari pusat bisnis kala itu pada daerah Kota Gede.
Selanjutnya pada awal tahun 1916 daerah pecinan yang berkembang pada wilayah Setjodiningratan yaitu sebelah timur Kantor Pos Besar, mulai menjadi sentral perniagaan baru menyaingi wilayah Kota Gede. Apalagi setelah dibangun Pasar Gedhe yang kemudian sekarang lebih kita kenal memakai nama Pasar Bringharjo & mulai beroprasi tahun 1926. Geliat ekonomi pada daerah ini tak terelakkan lagi & mulai bergerak naik. Padahal sebelumnya jalan tersebut hanyalah jalan biasa yang jarang dilalui orang kecuali sebagai loka lewat menuju Kraton.
Kawasan Pecinan mulai meluas ke utara, sampai ke Stasiun Tugu yang dibangun pada 1887 & Grand Hotel de Yogya (berdiri pada 1911, kini Hotel Garuda). Malioboro menjadi penghubung titik stasiun sampai Benteng Rusternburg (kini Vredeburg) & Kraton. Rumah toko menjadi pemandangan lumrah pada sepanjang jalan ini. Karena itu, secara kultural, ruang Malioboro merupakan gabungan dua kultur lebih banyak didominasi, yakni Jawa & Tionghoa.
Jalan Malioboro didirikan bertepatan memakai pendirian Kraton Yogyakarta. Dalam bahasa Sansekerta, kata "malioboro" bermakna karangan bunga. Hal itu mungkin ada hubungannya memakai masa kemudian ketika Kraton mengadakan acara besar maka Jalan Malioboro akan dipenuhi memakai bunga. Kata malioboro pula berasal dari nama seorang kolonial Inggris yang bernama Marlborough yang pernah tinggal disana pada tahun 1811-1816 M.
Malioboro ialah kanal bisnis bagi grup Tionghoa yang dimasa kemudian memiliki sejarah interaksi naik turun memakai kekuasaan Kesultanan Yogyakarta. Di Kotagede, kaum Tionghoa tak diperbolehkan berdagang lantaran memang sudah ada mayoritas pebisnis pribumi seperti Kelompok Kalang & Kelompok pedagan Muslim yang melingkar pada organisasi Muhammadijah.
Di tengah kota grup Tionghoa ini membuahkan Malioboro sebagai wilayah modal untuk mengembangkan bisnisnya. Perang Jawa tak akan dapat lepas dari percaturan politik Tionghoa. Tokoh seperti Tumenggung Setjodiningrat. Sejarah Secodiningrat ialah sejarah percampuran pula sejarah politik & kebencian rasial.
Politik Cinta-Benci yang selalu menandai sejarah kekuasaan Jawa-Mataram ini ternyata mendapatkan loka dalam cerita jalan Malioboro. Di jaman Setjodiningrat inilah jalan Malioboro menjadi saksi beberapa intrik keraton yang kemudian pula melibatkan ketidaksenangan Paku Alam terhadap peran Setjodiningrat. Selain sejarah intrik dagang, Malioboro ialah saksi bisu penangkapan Soekarno saat Agresi Militer II Belanda, saksi pertempuran 6 jam.
Keberadaan Jalan Malioboro tak terlepas dari konsep kota Yogyakarta yang ditata membujur memakai arah utara – selatan, memakai jalan-jalan yang mengarah ke penjuru mata angin serta berpotongan tegak lurus. Pola itu diperkuat memakai adanya "poros imajiner" yang membentang dari arah utara menuju ke selatan, memakai kraton sebagai titik tengahnya.
Poros tersebut diwujudkan dalam bentuk bangunan, yaitu Tugu (Pal Putih) pada utara, ke selatan berupa jalan Margatama (Mangkubumi) & Margamulya (Malioboro), Kraton Yogyakarta, Jl. DI. Panjaitan, berakhir pada panggung Krapyak. Jika titik awal (Tugu) diteruskan ke utara akan sampai ke Gunung Merapi, sedang seandainya titik akhir (Panggung Krapyak) diteruskan akan sampai ke Samudera Hindia. Nuwun.