Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Wong Jowo iku nggone semu, atau orang Jawa itu ahlinya perlambang. Begitulah ungkapan yg pas untuk mendeskripsikan ilustrasi insan Jawa. Yang nir senang mengatakan sesuatu secara gamblang, melainkan membalutnya beserta memakai pasemon, atau sebuah perlambang. Terutama tentang ajaran kehidupan.
Seperti misalnya dalam adab berteman, pitutur untuk bisa bersatu atau berbaur dalam masyarakat yg multikultural dimanapun berada, maka umumnya weling (pesan) orang tua Jawa dalam anak-anaknya supaya senantiasa mengedepankan andhap asor (sikap rendah hati). Tentu saja rendah hati dalam hal ini bukan lantas rendah diri, ini suatu hal yg beda. Rendah hati mengandung makna nir mau menonjolkan diri, meskipun sebenarnya mempunyai kemampuan. Sedang rendah diri mengandung makna minder, sebab keberadaan dan potensinya nir ada. Andhap asor sejajar maknanya beserta lembah manah (berlapang dada).
Orang Jawa sangat mengutamakan sifat andhap asor, bila bekerjasama beserta sesama hayati. Watak andhap asor nir gampang disesatkan sang pujian dan sanjungan, yg bisa menjatuhkan harkat dan martabatnya. Jika seseorang nir mempunyai sikap andhap ashor ini, maka akan gampang terpeleset beserta pujian dan sanjungan (gila hormat). Maka watak ini akan menumbuhkan kesadaran seseorang, bila dipuji nir tinggi hati dan bila dicela nir mini hati apalagi marah.
Adanya sanjungan dan celaan bagi orang yg lembah manah atau andhap ashor, akan gampang untuk mawas diri, menjadi akibatnya bisa mengadakan perbaikan. Sanjungan dan celaan baginya sama saja, seluruh hanyalah wahana untuk memperbaiki diri dalam berteman atau bermasyarakat. Sikap andhap ashor seseorang umumnya diimbangi beserta sikap anteng atau hening, halus, latif tapi berbobot. Seperti bunyi sebuah ungkapan klasik, air beriak menandakan tak dalam, air hening menghanyutkan, yaitu larangan untuk meremehkan hal-hal yg kelihatan remeh yg tak berdaya. Sikap anteng akan menimbulkan kewibawaan dan mendatangkan rasa hormat asal pihak lain. Begitulah kira-kira makna filosofis asal watak andah asor.
Dalam proses belajar mengajar, sikap anteng itu sangat dibutuhkan. Puru akan merasa dihargai bila muridnya bersikap anteng. Dengan sikap anteng berarti anak didik memperhatikan dan memahami ajaran gurunya. Suasana gaduh akan memproduksi pelajaran nir bisa dipahami dan emosi gampang terbakar. Dalam forum resmi sikap anteng dibutuhkan demi kelancaran hal yg sedang dibicarakan. Keputusan yg dihasilkan sang forum yg anteng pesertanya maka hasilnya akan lebih jernih.
Dalam kehidupan sehari-hari pribadi yg anteng bisanya bisa berpikir lebih jernih untuk memecahkan berbagai duduk perkara. Dengan demikian, konsep andhap asor ini bila bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, maka bisa menghilangkan sekat-sekat komunikasi dan tembok pemisah kerukunan umat insan, khususnya umat beragama dalam hal ini. Bahkan bila seseorang pemimpin menerapkan sikap demikian dalam kepemimpinannya, maka akan menghilangkan tembok yg membetengi putusnya komunikasi antara atasan dan bawahan, bisa hancur luluh sang pengambilan sikap andhap asor.
Sikap andhap asor termasuk watak susila yg kemudian bermetamorfosis menjadi tingkah laku yg tabah, santun. Sikap misalnya itu perlu ditanamkan dalam anak didik supaya kelak menjadi insan primer (jalma primer) atau insan pilihan (jalma pinilih). Dambaan para orang tua supaya anaknya kelak menjadi insan primer, mempunyai budi pekerti luhur, rendah hati, nir membanggakan diri sekalipun ia mempunyai kelebihan bila dibandingkan beserta orang lain.
Ajaran edukatif terhadap budi pekerti luhur tadi bisa kita perhatikan dalam beberapa tembang yg menjadi nyanyian masyarakat Jawa. Salah satu tembang yg mempunyai nilai-nilai piwulang (pelajaran) tadi artinya tembang Gundul-gundul Pacul, yg nir diketahui siap pengarangnya (anonim).
Tembang ini termasuk kategori Tembang Dolanan, artinya tembang atau lagu yg mengandung unsur permainan atau hiburan. Sekalipun hanya Tembang Dolanan, tetapi mempunyai nilai-nilai pendidikan terhadap sikap atau akhlak insan yg terpuji. Tembang ini sudah nir asing lagi ditelinga kita menjadi orang Jawa, terutama ketika masih mini sering mendengar tembang ini, dan seringnya dijadikan olokan bagi mereka yg kepalanya gundul alias botak.
Gundul…gundul, pacul… cul.. Gembelengan… Nyunggi… nyunggi, wakul..kul… Gembelengan …. Wakul glempang segane dadi sak latar Wakul glempang segane dadi sak latar
Sebuah tembang (lagu) dalam masyarakat Jawa, nir hanya sebatas lagu yg hanya mempunyai nilai komersial, tetapi lebih mencerminkan watak atau karakter masyarakat Jawa, baik itu berupa kebudayaan, keadaan sosial, ajaran budi pekerti luhur, atau sebuah doa dan keinginan. Adapun ungkapan didalam tembang rakyat Gundul Pacul tadi, mengandung nilai moral yg mendasari pergaulan yg rendah hati dan sopan-santun, menjadi akibatnya bisa diterima sang seluruh pihak. Adapun secara lebih lengkap tentang kandungan makna asal tembang tadi, menjadi berikut :
Gundul-gundul pacul…cul, Gundul berarti ketua botak tanpa rambut sama sekali. Secara generik, kita memahami bahwa rambut itu adalah mahkotanya ketua, karunia Tuhan yg menambah pesona keindahan dan kecantikan makhluk-Nya yg bernama insan. Oleh sebab itu alangkah ironis sekali, bila rambut yg seharusnya menjadi mahkota keindahan ketua itu nir ada. Maka banyak orang yg takut kehilangan rambutnya sebab rontok, terutama kaum wanita. Sehingga banyak alternatif kosmetik dan obat-obatan untuk menjaga dan merawat keindahan rambut, asal sampho anti ketombe sampai obat penumbuh rambut.
Lantas, mengapa kata gundul kok dirangkai beserta kata pacul, yg dalam bahasa Indonesia disebut beserta cangkul? Hal ini terlihat begitu jauh perbedaannya, yg dalam kaidah bahasa nir sejajar dan tampak nir ada kontak sama sekali. Kata Gundul yg bekerjasama beserta ketua insan, lambang kehormatan dan kemulian, dikaitkan beserta Pacul alat untuk mencangkul sawah atau ladang. Tetapi hal ini sangat wajar bagi orang Jawa, terutama wilayah pedalaman yg sebagian akbar mata pencahariannya artinya petani, ketika mengambil itibar atau perumpamaan artinya barang-barang yg sudah familiar beserta global mereka, contohnya artinya pacul (cangkul).
Orang Jawa merasa bangga dan terhormat beserta pekerjaan mereka, yaitu petani beserta budaya agrarisnya. Dalam tembang tadi, kata gundul yg berarti ketua tanpa rambut, plontos, dikuatkan atau disamakan beserta pacul, yaitu lempengan besi atau baja tipis berbentuk persegi empat polos tanpa hiasan. Kepala menjadi lambang kemuliaan dan kehormatan insan sebab di dalamnya terdapat otak, daerah nalar insan, yg adalah karunia Tuhan terbesar yg nir diberikan kepada makhluk-Nya yg lain.
Dalam keratabasa Jawa, kata pacul itu berarti papat kang ucul, (empat hal yg tanggal), sama misalnya bentuk pacul (cangkul) persegi empat. Artinya bahwa kemuliaan dan kehormatan seseorang itu tergantung asal apa yg ada dan diperbuat sang ketua dan isinya. Otak artinya isi ketua yg paling penting, disana daerah bersemayam nalar yg mensugesti seluruh gerak dan perbuatan insan. Selain itu, terdapat empat organ lain di ketua yg menjadi prajurit nalar, yaitu mata, hidung, indera pendengaran, dan mulut, yg bila tanggal (ucul) asal kontrol nalar maka (rasionalitas) akan berbuat semaunya.
Gembelengan. Perbuatan yg dilambangkan sang ketua artinya akbar ketua, keras ketua, dan ketua batu. Beberapa ungkapan tadi adalah cerminan sikap seseorang yg jemawa, arogan, merasa dirinya super dan lain sebagainya, yg dalam bahasa Jawa dilambangkan beserta Gembelengan. Berjalan berlenggang beserta membusungkan dada, mengangkat ketua, merasa dirinya paling hebat dan menerka orang lain remeh.
Jadi, gembelengan ini adalah sikap seseorang yg kepalanya nir memilikiakal, atau akalnya nir bisa mengendalikan keempat indra yg ada di ketua (mata, hidung, mulut, dan indera pendengaran). Seumpama pacul, papat kang ucul (empat hal yg tanggal). Sehingga hilanglah kehormatan dan harga dirinya, nir ada lagi mahkota keindahan yg dipancarkan asal kepalanya.
Karena matanya nir lagi terjaga, memandang hal-hal yg mengundang maksiat dan dosa. Telinga nir lagi mau mendengarkan petuah dan petuah kebajikan asal para alim dan atau orang tua. Hidung nir lagi berfungsi untuk mencium aroma wangi-wangian, tapi malah untuk berbuat dosa. Mulut nir lagi untuk berbicara kebajikan, amar maruf nahi munkar, tetapi untuk bergunjing, memfitnah, menghasud dan berbohong. Inilah sikap atau sikap yg timbul, sikap gembelengan (congkak, jemawa-arogan), bila empat indra di ketua telah tanggal kendali. Nuwun.