Dunia Keris Selamat tiba kerabat perkerisan. Syekh Siti Jenar. Apa yang terlintas dalam pikiran kisanak mendengar nama yang aku sebutkan kepada awal pembuka tulisan ini? Kontroversial. Ya, inilah jawaban paling awam untuk mencitrakan tokoh yang satu ini.
Di perkerisan ini, tulisan perihal Syeh Siti Jenar memang bukan yang pertama seperti yang sedang kisanak baca ini. Tulisan kali ini dapat dikatakan pendalaman untuk tulisan sebelumnya. Kembali kepada jawaban kontroversial yang disematkan kepada sosok Syekh Siti Jenar.
Saking kontroversialnya, sampai hari ini syehh satu ini masih tetap relevan untuk dikaji. Bukan hanya sosoknya saja yang diperdebatkan. Apakah beliau memang pernah terdapat serta hayati kepada negeri ini, khususnya Jawa, namun jua pemikirannya yang kerap dipertentangkan.
Sosok Syekh Siti Jenar memang tidak pernah meninggalkan karya tulis berjilid-jilid yang dapat dibaca sampai hari ini, namun perihal hayati serta pemikirannya sudah sampai kepada kita melalui berbagai tulisan yang dihasilkan sang para pujangga tempo dulu sampai para penulis dewasa ini.
Syekh Siti Jenar laksana Socrates dari zaman Yunani kuno. Sosok historisnya tidak pernah dapat dibuktikan secara pasti. Informasi perihal dirinya serta pemikirannya banyak diperoleh melalui tulisan-tulisan muridnya, Plato, yang berakibat Socrates sebagai tokoh primer dalam berbagai karya tulisnya. Di sisi lain, banyaknya versi perihal kisah Syekh Siti Jenar semakin mempertebal kabut yang menyelubungi misteri kehidupannya.
Dari sekian banyak warta yang terdapat, tidak satu pun yang dapat menyampaikan data yang jelas perihal kehidupannya. Bahkan, warta perihal proses kematiannya jua menyuguhkan data-data yang tidak selaras. Sekalipun banyak pihak yang meragukan sosok Syekh Siti Jenar, namun satu hal yang jelas pola pemahaman serta penghayatan ajaran-ajaran kepercayaan sebagaimana yang diajarkannya betul-betul terdapat kepada tengah kehidupan warga Jawa.
Tidak gampang untuk menjelaskan pemikiran Syekh Siti Jenar kepada tengah kontroversi pandangan berbagai pihak terhadapnya. Pun halnya untuk menelusuri riwayat hayati Syekh Siti Jenar bukanlah pekerjaan yang gampang. Terdapat banyak versi perihal kehidupannya, namun kepada antara berbagai versi itu tidak terdapat yang dapat memastikan kapan tokoh ini dilahirkan, hanya sebagian dapat menjelaskan masa kematian Syekh Siti Jenar, yakni sekitar masa kerajaan Islam kepada Jawa, bersama ibu kota Demak, kepada akhir abad 15 atau awal abad16.
Sufi martir ini bukan hanya kontroversial dalam berbagai pemikiran serta ajarannya, akan tetapi jua dalam bentangan sejarah hidupnya. Berbagai kalangan masih memperdebatkan apakah Syekh Siti Jenar betul-betul adalah sosok manusia yang pernah terdapat atau hanya sekedar mitos yang hayati serta berkembang kepada tengah kehidupan religius warga Jawa.
Kondisi kehidupan seperti ini mengingatkan kita kepada filsuf Yunani kuno, Socrates, yang sampai hari ini kalangan yang berkutat kepada mayapada filsafat mengenalnya hanya lewat berbagai tulisan sang siswa, Plato, yang kerap menjadikannya tokoh primer dalam setiap karyanya. Demikian halnya bersama Syekh Siti Jenar, sebagian kalangan menganggapnya sebagai tokoh yang pernah terdapat, hayati semasa bersama para wali kepada tanah Jawa, tergolong salah satu dari mereka, namun dituduh murtad serta menyebarkan berbagai ilmu sesat.
Ajaran yang disampaikan sang Syekh Siti Jenar dipercaya menyimpang dari kepercayaan Islam, serta ditimbulkan sang itu beliau wajib mendapat denda tewas. Hukuman tewas yang diterimanya jua didasarkan atas tuduhan bahwa Syekh Siti Jenar sudah menyesatkan keyakinan warga serta mengganggu stabilitas kekuasaan politik pemerintahan Raden Patah kepada masa kerajaan Islam Demak Bintoro yang didukung sang Walisongo.
Sebagian lagi menganggapnya sebagai sosok yang tidak pernah terdapat. Syekh Siti Jenar ditinjau hanya sebagai manifestasi dari pola hayati religius sebagian warga Jawa, yang adalah hasil sinkretis antara ajaran Islam, Hindu serta kebudayaan Jawa. Syekh Siti Jenar melambangkan pemikiran Islam kejawen yang acapkali dipertentangkan bersama pemikiran Islam dalam dominasi syariat yang dilambangkan sang para wali.
Tokoh ini kemudian dikenal sebagai sebagai simbol perlawanan rakyat terhadap kepercayaan resmi yang formalistik serta syariahistik, setidaknya kepada masa sekitar abad keempat belas sampai kelima belas, yaitu masa pemerintahan Raden Patah sebagai Kerajaan Islam pertama kepada Jawa.
Bahkan terdapat yang memandang bahwa cerita perihal Syekh Siti Jenar adalah cara yang dipergunakan sang para wali untuk menyebarkan Islam kepada kalangan abangan, yakni pemeluk Islam yang tidak menjalankan ritual Islam.
Pun halnya, tulisan ini tidak aku maksudkan untuk mencari kebenaran historis perihal terdapat atau tidaknya Syekh Siti Jenar. Juga tidak aku maksudkan untuk mengetahui kebenaran kisahnya, seluruh tidak lebih dari suatu rangkuman dari berbagai literasi perihal Syekh Siti Jenar yang pernah ditulis sang penulis sebelumnya serta selanjutnya aku kembalikan kepada kisanak untuk menyikapinya.
Meski sudah pernah aku tulis kepada perkerisan ini, untuk merunutkan serta mempermudah memahami ajaran serta misteri kematian Syeh Siti Jenar aku akan cuplik sedikit perihal riwayat hayati sosok kontroversial ini.
Ada banyak nama yang disematkan kepada sosok sufi martir ini, selain yang akrab diindera dengar kita yakni Syekh Siti Jenar, beliau dikenal sebagai jua Pangeran Jenar, Syekh Siti Bang, Syekh Lemah Abang, Syekh Siti Brit. Tentang berbagai nama ini, muncul pendapat yang berbeda-beda. Ada yang menyatakan bahwa hal itu adalah nama yang sebenarnya serta terdapat jua yang menegaskan bahwa itu hanyalah nama panggilan atau paraban (alias) yang dihubungkan bersama kawasan tinggalnya.
Nama yang demikian ini jua berlaku bagi para wali yang termasuk dalam walisongo. Misalnya Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Muria serta lain-lain, adalah nama panggilan yang diberikan kepada para wali yang bertempat tinggal kepada Giri, Bonang, Kudus serta Muria. Juga berbagai nama seperti Ki Ageng Selo, Ki Ageng Pengging, Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Butuh adalah berbagai nama Ki Ageng dari kawasan tinggal mereka masing-masing.
Kebiasaan ini jua berlaku bagi berbagai suku lainnya kepada Indonesia, seperti Tuanku Imam Bonjol adalah tokoh ulama akbar yang berasal dari Bonjol. Berbagai marga kepada dalam suku Batak : Hutabarat, Samosir, Purba serta lain-lain, memberikan berasal kawasan tinggal mereka. Bahkan para pemikir Islam pun tidak jarang memakai sistem penamaan yang demikian, misalnya Al-Farabi serta Imam Bukhari, yang masing-masing nama itu memberikan kawasan berasal mereka yakni Farab serta Bukhara.
Kembali kepada pembahasan perihal nama Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang, terdapat satu pendapat yang menyatakan bahwa belum pernah ditemukan kawasan tinggal berupa kampung, desa serta lain-lain yang dikenal sebagai Siti Jenar. Tetapi kawasan yang bernama Jenar atau Kajenar diduga pernah terdapat. Demikian jua halnya bersama Lemah Abang. Di antara Karawang serta Bekasi, Jawa Barat,masih terdapat kawasan yang dikenal sebagai Lemah Abang, namun tidak terdapat fakta yang mendukung bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari daerah tersebut.
Nama yang demikian ini diduga jua masih terdapat kepada Cirebon serta bahkan terdapat yang menduga pernah masih terdapat kepada Jawa Tengah. Berbeda halnya bersama kepada daerah antara Karawang serta Bekasi, eksistensi Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang kepada sekitar Cirebon didukung sang fakta, yakni adanya sebuah makam kepada Mlaten, pinggiran kota Cirebon, yang diyakini sebagai makam Syekh Lemah Abang, namun kepada daerah ini tidak dikenal nama Syekh Siti Jenar.
Bila ditelusuri bentangan sejarah, tidak mustahil bila Syekh Siti Jenar berasal dari daerah sekitar Cirebon. Pertimbangannya artinya bahwa kepada masa pemerintahan Islam yang berpusat kepada Demak, Cirebon sudah menjadi salah satu pusat penyiaran Islam kepada Jawa bersama tokoh utamanya Sunan Gunung Jati. Seperti biasanya anggota walisongo lainnya Syekh Siti Jenar sepertinya bukan adalah nama sebenarnya, melainkan nama panggilan yang dihubungkan bersama kawasan tinggalnya, tidak berbeda bersama berbagai nama yang disandang sang para wali lainnya kepada tanah Jawa.
Masih berkaitan bersama nama Syekh Siti Jenar, terdapat warta yang menjelaskan bahwa istilah Siti Jenar berasal dari bahasa Persia, Sidi yang artinya Tuan serta Jinnar yang artinya pemilik kekuatan bagaikan kekuatan api .Bila mengacu kepada berasal-usul serta arti istilah itu, maka Siti Jenar dapat dipahami sebagai orang yang memiliki kekuatan dahsyat bagaikan kekuatan api.
Tentang suku bangsa Syekh Siti Jenar jua masih terdapat perbedaan pendapat. Ada yang membicarakan bahwa beliau orang Arab, terdapat jua yang meyakini beliau orang Persia serta terdapat jua yang berpendapat bahwa beliau orang Jawa orisinal. Terdapatnya banyak perbedaan pendapat perihal berasal-usul serta kerancuan nama tokoh ini kemudian menjadi dasar bagi sebagian pihak untuk meragukan eksistensi Syekh Siti Jenar secara historis.
Pihak yang meragukan keberadaannya ini menegaskan bahwa Syekh Siti Jenar hanyalah tokoh hayal yang terdapat dalam mitos serta legenda. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa hal ini adalah upaya pihak penguasa untuk menghapus tokoh susah dikendalikan bukan hanya dalam politik, akan tetapi jua pengembang keagamaan yang dapat dikenal sebagai ke-kiri-kiri-an itu dari pentas sejarah Islam.
Untuk menjelaskan berasal-usul Syekh Siti Jenar, Terdapat sebuah naskah hasil tulisan tangan memakai aksara Jawa, yang tersimpan kepada Museum Radyapustaka, Serat Syekh Siti Jenar yang mengisahkan :
Nahen wonten wali ambeg luwih, nguni berasal wrejid bangsa sudra, antuk wenganing tyas bolong, tarbukaning Hyang Weruh, Sunan Benang ingkang murwani, tatkala mejang tekad, muruk mirid kawruh, ring Jeng Sunan Kalijaga, neng madyaning nrawa nitih giyotadi, Siti Bang antuk jarwa.
Artinya : Syahdan terdapat seorang wali yang hebat, semula berasal dari rakyat mini, kemudian dapat mencapai diksa, atas tuntunan Yang Maha Tahu, Sunan Bonang lah penyebabnya, tatkala mengajar ilmu, menjelaskan ilmu wirid, kepada Sunan Kalijaga, naik perahu kepada tengah rawa, Siti Jenar ikut mendengar.
Serat Syekh Siti Jenar versi Radyapustaka ini menjelaskan bahwa yang dimaksud bersama cacing sebagai berasal-usul Syekh Siti Jenar, sebagaimana tertulis dalam versi Bratakesawa, artinya rakyat jelata (wrejid bangsa sudra). Jadi, bukan cacing dalam pengertian yang sesungguhnya. Boleh jadi memang demikian, sebab legenda atau dongeng yang tersebar kepada tengah warga Jawa biasanya sarat bersama simbolisme.
Cacing dijadikan simbol berasal-usul Syekh Siti Jenar, sebab beliau berasal dari rakyat jelata, yang atas perkenan Tuhan mencapai derajat kewalian. Berdasarkan kisah awal yang menjelaskan Syeh Siti Jenar berasal dari cacing kepada tanah liat yang dipergunakan untuk menambal perahu sewaktu Sunan Bonang menyampaikan pelajaran taraf tinggi dalam ajaran Islam kepada tengah sebuah rawa, aku mencoba untuk menafsirkannya, sesuai apa yang aku ketahui baik yang berasal dari berbagai bacaan maupun kisah cerita.
Untuk awalnya, aku memulainya dari istilah cacing yang masih terdapat kepada tanah liat. Cacing adalah hewan yang menyuburkan tanah. Tanah liat yang fertile mengacu kepada huma pertanian (jagung, padi serta sebagainya). Dalam konteks ini Syeh Siti Jenar ditinjau sebagai penyebar kepercayaan yang berhasil menyuburkan ajaran Islam kepada daerah yang lebih banyak didominasi adalah daerah pertanian kepada Jawa, berarti kepada daerah pedalaman kepada waktu itu.
Kata menambal perahu yang dipergunakan Sunan Bonang serta Sunan Kalijogo, dalam pandangan aku memberikan bahwa Siti Jenar kepada waktu itu adalah orang yang menjaga agar kedua Sunan tersebut tidak tenggelam waktu sedang mengarungi luasnya pengetahuan ajaran kepercayaan, atau agar tidak salah jalan sehingga menjadi sesat. Jadi jikalau dikatakan Syekh Siti Jenar ini artinya berasal dari cacing yang diibaratkan sebagai sosok rakyat mini (orang kebanyakan) artinya mini kemungkinannya. Sebab, kepada jaman itu hanya dari golongan elit atau kerabat dekat para wali saja yang dapat mendapatkan kesempatan menilik pengetahuan taraf tinggi dalam ajaran Islam yang setingkat wali.
Nuansa elitisme serta feodalisme masih bertenaga tertanam kepada dalam warga Jawa. Kemudian, jikalau melihat keberhasilan Syekh Siti Jenar menyuburkan ajaran Islam kepada pedalaman Jawa, tidak terlepas dari cara yang dipergunakannya yaitu bersama menghilangkan nuansa elitisme serta feodalisme dalam melakukan urusan ekonomi menyiarkan ajaran Islam.
Tentu saja hal ini menjadi daya tarik tersendiri sebab siapa yang mengajar serta siapa yang diajar tidak dihalangi sekat statusnya. Oleh sebab pantas saja jikalau kemudian Syekh Siti Jenar memperoleh pengikut yang banyak kepada dalam warga, baik yang berasal dari kalangan warga awam maupun dari penguasa-penguasa daerah kepada pedalaman Jawa.
Semakin akbar pengaruh Syekh Siti Jenar inilah yang mengakibatkan Raden Patah, sultan Demak menjadi khawatir, mengingat salah satu pengikut Siti Jenar artinya Ki Ageng Pengging (Ki Kebo Kenongo), artinya salah satu dari keturunan penguasa Majapahit terakhir. Sudah sejak awal penguasa kepada Pengging ini tidak senang serta tidak tunduk terhadap raja Demak serta dewan wali, sebab mereka menganggap bahwa Demak tidak berusaha membantu Majapahit dikala sedang mengalami masa-masa sulit menjelang keruntuhannya.
Berangkat dari kekhawatiran itulah kemudian raja Demak serta wewan wali berusaha untuk meredamnya. Cara yang dipergunakan artinya bersama menghembuskan cerita bahwa Syekh Siti Jenar ini sudah mengajarkan ajaran yang sesat, yaitu yang dikenal bersama nama ajaran Manunggaling Kawulo-Gusti. Dengan alasan itulah kemudian Siti Jenar ditangkap serta diadili kepada Demak, untuk kemudian dihukum tewas. Satu versi membicarakan kepada hukum kepada Cirebon.
Dalam pandangan aku, Siti Jenar ini tidak dihukum tewas secara fisik, namun dimatikan agar tidak lagi berada ditengah-tengah pengikutnya. Entah itu disembunyikan atau dipenjara secara halus, mengingat Syekh Siti Jenar jua berjasa akbar dalam penyiaran ajaran Islam kepada Jawa.
Sedangkan bangkai anjing hitam yang kudisan yang dipertontonkan, yang kemudian dipercaya sebagai wujud perubahan jasad Syekh Siti Jenar kepada khalayak awam waktu itu tidak lebih artinya bentuk sebuah pembenaran dari raja Demak serta dewan wali bahwa itu artinya dampak dari ajaran sesat Syekh Siti Jenar sendiri. Tujuannya artinya agar para pengikut pergi setia terhadap ajaran dari dewan wali serta sekaligus raja Demak.
Ketika Syekh Siti Jenar betul-betul sudah meninggal, Demak pun merogoh langkah tegas terhadap pengikut sang syekh yang masih tidak mau tunduk terhadap kekuasaan Demak. Pengging dibawah kekuasaan Ki Ageng Pengging (Ki Kebo Kenongo) yang tidak mau tunduk akhirnya diserang. Sunan Kudus yang memimpin penyerangan itu berhasil mengalahkan serta membunuh Ki Ageng Pengging.
Dengan meninggalnya Syekh Siti Jenar serta dikalahkannya Pengging, Kasultanan Demak akhirnya terbebas dari ketakutan akan munculnya pergolakan yang membahayakan kemapanan kasultanan. Namun kepada akhirnya Demak malah runtuh sebab perebutan kekuasaan antara putra serta saudara raja sepeninggal wafatnya Sultan Trenggono.
Dari pemaparan yang sudah aku sampaikan, kisah perihal Syeh Siti Jenar ini dapat dikenal sebagai sebagai tokoh yang sengaja dikerdilkan serta dijadikan korban demi kelanggengan kekuasaan Demak serta dewan wali. Ketakutan serta rasa iri dari mereka yang melihat keberhasilan Syeh Siti Jenar dalam menyiarkan ajaran Islam kepada pedalaman Jawa.
Demikianlah sekelumit pembahasan Syeh Siti Jenar yang dapat aku sampaikan. Kekurangan dalam penulisan ini semoga dapat dimaklumi mengingat penulis bukan pakar sejaran, kepercayaan serta politik. Terima kasih serta salam untuk seluruh yang sudah sudi membacanya. Sekian dulu serta sampai jumpa kepada tulisan selanjutnya. Nuwun.