Sudut Desa Rahtawu
Pengalaman sejati yang saya posting disini sebelumnya saya pernah posting di kompasiana. Satu tulisan sebentuk pengalaman pribadi & sekaligus sebuah dedikasi pada sejawat yang ikut serta mengalami kejadian ini. Tulisan ini sedikit panjang sebab saya berusaha mengajak kerabat Dunia Keris semua seakan-akan sebagai pelaku kisah konkret ini. semoga kalian nir bosan & merampungkan tulisan ini hingga terselesaikan.
Puncak Songolikur atau diklaim jua Puncak Saptorenggo ini menyimpan kisah yang tak akan saya lupakan sepanjang hidup. Pertengahan 2000 silam saya diajak ke puncak ini oleh tiga orang mitra yang sama-sama masih menjalani laku prihatin.
Yang masih saya jangan lupa, puncak Songolikur ini di Desa Rahtawu, Gebog, Kudus, Jawa Tengah. Puncak tertinggi di pegunungan Muria. Waktu itu kami mendaki berdasarkan dukuh Semliro desa Rahtawu. Rahtawu ini memiliki pemandangan yang indah sebab letaknya yang dilingkupi deretan pegunungan & sungai-sungai yang masih jernih. Rahtawu yang berhawa dingin & jauh berdasarkan keramaian adalah daya tarik bagi yang suka laku prihatin. Kata orang desa Rahtawu, konon nama Rahtawu memiliki arti getih yang bercecer (bahasa jawa) kalau indonesianya (darah yang bercecer).
Saptorenggo berdasarkan kejauhan
Di puncak inilah kisah ini bermula. Musykil memang, tapi itulah adanya. Berempat kami berdasarkan Makam Sunan Muria berjalan menggelandang menuju Desa Rahtawu galat satu pintu masuk ke Puncak Saptorenggo ini. singkat cerita sesudah hingga di lokasi, kami berjalan mendaki menggunakan tujuan petilasan pertapaan Mada (Gajah Mada) sesuai menggunakan konvensi kami beserta untuk laku prihatin disana selama 7 hari.
Banyak cerita mitos disana & pantangan-pantangan yang diyakini poly rakyat lebih kurang lereng Puncak Songolikur ini, hingga semakin menambah keangkerannya. Pada malam-malam tertentu yang diklaim sakral, misalnya selasa maupun jumat Kliwon, umumnya poly orang yang berdatangan untuk ngalap berkah di berbagai petilasan yang memang poly di lebih kurang puncak ini. tentunya menggunakan berbagai tujuan masing-masing.
Sebenarnya, berdasarkan beberapa cerita tentang sebilah pusaka di petilasan pertapaan Mada kisah ini berawal. Sudah sebagai kebiasaan para musafir saat berkumpul pada sebuah lokasi makam-makam aulia berbagi cerita, tentang mitos-mitos & pengalaman-pengalaman spiritulnya. Dari ngumpul-ngumpul inilah kami mendengar mitos di pertapaan mada tadi. Tentang sebilah pusaka yang konon milik mahapatih berdasarkan majapahit tadi.
Seorang mitra saya, kang Khoirul yang waktu itu masih menjalani laku sebagai musafir mengajak kesana, puncak Songolikur, tepatnya petilasan Mada beserta menggunakan 2 orang mitra sesama musafir berdasarkan Lampung. Kang Khoirul ini seperjalan menggunakan saya mulai berdasarkan Makam Troloyo hingga ke Makam Sunan Drajat, Paciran, Lamongan. Namun, kami terpisah sesudah itu & bertemu lagi di Makam Muria beberapa bulan kemudian. Karena telah sangat senior sebagai musafir saya meng-iya-kan saja ajakannya untuk mengambil atau tepatnya menarik sebilah pusaka di petilasan Mada tadi. & mengesampingkan pengaruh negatif & keangkeran Puncak Songolikur itu sendiri.
Terpesona cerita sang teman yang seringkali melakukan ritual tadi, & amanah waktu itu ialah pertama kali saya berkesempatan untuk menyaksikan & ikut dalam usaha yang musykil ini. perjalanan yang penuh tantangan menuju puncak seakan tak terasa, padahal, untuk warga lebih kurang yang terbiasa menuju puncak membutuhkan waktu tak kurang berdasarkan 5 jam. Saking semangatnya barangkali.
Menapaki jalanan setapak yang berbatu yang dipenuhi semak dipinggir & hutan yang masih rimbun saat itu, entah kalau saat ini, akhirnya menjelang maghrib kami hingga di sebuah sendang (mata air). Sejenak kami beristirahat & melakukan sholat berjamaah. Dalam keadaan gelap tanpa penerangan sedikitpun kemi merayap naik & sekali waktu berhenti saat lelah. Akhirnya menjelang jam 10an kami hingga di lokasi petilasan pertapaan Mada.
Menjelang tengah malam, Kang Irul mengajak kami mempersiapkan ritual untuk pemanggilan mistik penguasa Puncak saptorenggo atau Puncak Songolikur. Hanya dibantu cahaya perapian yang nyala kebat-kebit tertiup angin, kami berempat khuyuk kontemplasi.
Dalam ritual pemanggilan ini kami hanya mengandalkan kemenyan arab yang kami bakar di perapian yang sekaligus sebagai penerangan satu-satunya. Kemenyan ini sebagai alat pembuka tabir atau pintu alam dimensi lain.
Sudut lain Rahtawu
Sialnya, sejak malam pertama hingga malam ke 2, cara pemanggilan goibiyah yang kami lakukan belum mendapatkan reaksi apa-apa. Baru dimalam ketiga, kengerian & rasa takut benar-benar terpampang di depan mata kepala kami.
Begitu menyeramkan, sebagai akibatnya malam itu nyawa saya benar-benar terasa melayang dibuatnya. Pasalnya, tanpa terduga, kami dikejutkan oleh bunyi angin ribut yang pribadi memporakporandakan perapian & pepohonan disekitar petilasan. Begitu kerasnya, sebagai akibatnya menimbulkan bunyi berisik yang sangat menyeramkan.
Karena kejadian ini, tak ayal membentuk kami pribadi menyingkir mencari tempat konservasi. Saking dahsyatnya angin saat dalam lari menyelamatkan diri, hingga membentuk kami berhempas beberapa kali. Kendati demikian saya & seseorang mitra berdasarkan Lampung tertimpa ranting yang terhempas angin. saya nir tahu, apa yang terjadi menggunakan kang Khoirul & seseorang mitra lagi, Karena kami terpisah menyelamatkan diri masing-masing.
Dalam kepekatan, beberapa kali kami berdua terhuyung sebab dahsyatnya angin ribut yang sepertinya menyapu tempat kami melakukan ritual. Bahkan, seseorang mitra yang mencari tempat berlidung terhempas hingga terpental menubruk pohon. Pun, penulis jua sempat terjerembab. Untung saja didekat saya terdapat pohon sebagai pegangan. Waktu itu, kami berdua brpegangan pada sebatang pohon menggunakan mendekapnya erat-erat. Tidak tahu bagaimana keadaan Kang Khoirul & seseorang rekan lainnya.
Saya merasakan tanah tempat kami berpijak bergetar menggunakan hebatnya. Bahkan, samar-samar telihat beberapa pohon bertumbangan silih berganti. Dengan keadaan misalnya itu, saya tak mampu berpikir panjang, rasa takut benar-benar mengguncang.
Dalam ketegangan, kami berdua tak mampu berbuat apa-apa & terus mendekap batang pohon, bahkan mitra yang beserta penulis menangis gemeteran. Malangnya, tanpa semapt kami lihat sebatang pohon tumbang berdasarkan arah belakang & tepat mengenai pundak penulis. Entah menggunakan mitra yang berdasarkan lampung. Ketika itu jua, saya tersungkur jatuh & tak sadarkan diri lagi.
Beberapa waktu berlalu, masih dalam keadaan yang tak sepenuhnya sadar, saya melihat seseorang lelaki tua renta denga sorban di pundak serta tongkat di tangannya datang menghampiri.
Lee! Lahopo nang kene, nduwe karep opo siro suwe-suwe nang kene? (Nak! Sedang apa disini, punya keinginan apa kau usang-usang disini)
Dengan berterus terang, penulis katakan bahwa kami berempat menginginkan sebilah pusaka yang terdapat disini, tentunya menggunakan Bahasa Jawa halus.
Yen iku wis dadi tekad karo kekarepane siro, pelajari disik tulisan sing tak simpen nang jerone wit iku (kalau itu telah sebagai tekad serta keinginan kau, pelajari dulu tulisan yang saya simpan di dalam pohon itu). Kata si orang tua sambil menunjuk ke sebuah pohon akbar. Namun sayang, sebelum orang tua meneruskan kalimat, saya bagai terjaga berdasarkan mimpi. Rupanya saya baru siuman berdasarkan pingsan sebab mendengar bunyi memanggil beberapa nama, yang sempurna galat satunya memanggil nama saya.
Dengan sekujur badan masih terasa sakit, & konsentrasi terhadap sumber bunyi. Saya mencoba mengingat-jangan lupa tentang apa yang terjadi semalam tadi. Saya melihat sekeliling & jelas hari telah memberitahuakn siang. Terpancar berdasarkan sinar matahari yang meneros di sela-sela pephonan. Disamping badan terasa remuk redam, terlihat badan jua penuh denga lecet serta becak darah yang telah mengering.
tapi dimanakah keberadaanku saat ini? tanya saya dalam hati. pasalnya, waktu itu saya melihat nir terdapat pada posisi kami semalam yang tempatnya sedikit lapang. yang terlihat disini hanya hutan lebat serta bebatuan akbar yang dibawahnya terdapat sebuah mata air yang jernih.
Dengan sisa energi yang terdapat, saya coba berlari mini sambil tak hentinya memanggil mitra-mitra yang beberapa saat yang kemudian sempat terdengar. & entah berapa jauh saya selusuru dalamnya hutan, akhirnya saya kelelahan & tak mampu lagi meneruskan perjalanan. saya akhirnya mencoba beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang, sambil konsentrasi andai ungkap mendengar sahutan berdasarkan mitra-mitra.
Tanpa saya sadari sebelumnya, ke 2 tangan kusandarkan pada pohon yang berlubang. aneh, tak terasa tangan saya menyentuh sebuah benda yang sangat halus di dalam lubang itu. sesudah benda tadi saya ambil, ternyata sebuah bumbung bambu yang terbalut kain kusam mirip beludru. apakah ini?
Saya tersentak & pribadi berdiri. ternyata pohon yang saya hadapi sama persis menggunakan apa yang sebagai petunjuk berdasarkan lelaki tua waktu saya dalam keadaan masih tak sadarkan diri sepenuhnya.
Rasa mencekam serta takut akan hawa pohon yang kusandari barusan, membentuk saya tak sempat membuka isi bumbung bambu tadi. bahkan, menggunakan panik saya segera melanjutkan perjalanan sambil tak henti berteriak memanggil nama mitra-mitra.
Tiba-tiba diatas sana, terdengar bunyi sahutan yang memanggil namaku. Saya benar-benar bahagia & terus berlari menuju kearah bunyi tadi. Rupanya, Kang Khorul & 2 mitra yang lain jua mendengar bunyi panggilanku. seseorang mitra berlari memburuku, hingga kami pun saling bertemu di tengah tanjakan yang berbatu akbar.
Begitu bertemu, kami saling rangkul penuh tangis haru. oleh mitra yang menyongsongku yang keadaannya jauh lebih baik dariku, kemudian saya dipapah ke tempat Kang Khoirul & seseorang mitra lagi menunggu. sesudah hingga, saya merasa aneh, sebab tempat kami melakukan ritual malam itu masih utuh tak terdapat pohon tumbang sebatang pun dampak diterjang angin puyuh. misalnya yang saya saksikan malam tadi.
Kemana saja 2 hari ini, kami sangat cemas & nir berani turun sebeleum menemukanmu?
2 hari? penjelasan Kang Khoirul membentuk saya ternganga.
Iya, 2 hari! seseorang mitra lagi meyakinkan saya.
Saya benar-benar pusing & nir mengerti akan apa yang terjadi & menimpa diri saya sesungguhnya. & saya akhirnya jangan lupa kembali akan bumbung bambu berbungkus beludru kusam yang saya temukan berdasarkan dalam lubang pohon akbar tadi.
Saya hanya ceritakan hanya sepintas saja pada mitra-mitra tentang asal-usul bumbung yang katanya sebagai suatu petunjuk berdasarkan keberhasilan ritual penarikan sebilah pusaka yang akan dilakukan. menggunakan wajah tegang, Kang Khorul membuka kaitan bumbung tadi. ternyata di dalamnya terdapat tumpukan lontar tua yang masih dalam keadaan terikat tali berdasarkan akar pohon.
sesudah tali akar pengikatnya dibuka, saya melihat jelas tumpukan lontar yang sebagian telah lapuk dimakan usia. tetapi, sesudah tumpukan lontar tadi dibuka, terdapat sebilah tobak mini seukuran 8 centimeter, menggunakan pahatan emas bergambar 2 buah kepala naga, lengkap menggunakan badan serta ekornya. berpolat palitan.
Kang Khoirul mencoba menyelami akan isi yang terkandung dalam lontar yang bertuliskan alfabet Jawa tadi. saya hanya melihat saja sebab sama sekali nir mampu membaca dalam tulisan beraksara jawa. ternyata ungkap kang Khoirul isi berdasarkan lontar tadi terdapat 11 mantera rahasia yang semuanya bertujuan untuk menari sebuah benda-benda mistik di perut bumi. sayangnya, ungkap Kang Khoirul hanya 4 yang mampu terbaca, sebab 7 lainnya rusak dampak lontarnya poly berlubang dimakan ngegat.
Waktu saya tanyakan & mitra yang lain pada Kang Khoirul, apakah masih ingin mencoba bertahan di Puncak Songolikur sambil mengamalkan apa yang terdapat pada isi berdasarkan lontar antik tadi, maka menggunakan nada impulsif dia mengatakan, Mudun!(Turun) Mudun! Mudun!
Demikianlah kisah konkret yang saya atau kami alami. semoga menggunakan tulisan ini, saudara, kakang Khoirul & 2 mitra yang lain dimanapun kalian berada & kebetulan membaca sudi menghubungi saya. & semoga saja sekelumit kisah ini mampu diambil hikmahnya walau hanya secuil. amin Allahumma amin..! wassalam
Cerita pengalaman misteri lain mampu Anda baca di Page Akar Rasa ini