Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Tulisan yang kerabat perkerisan baca ini adalah reposting berasal tulisan saya pada kompasiana beserta judul yang sama. Di antara tulisan yang lainnya pada kompasiana yang berdasar pengalam sendiri ini termasuk paling banyak dibaca, hal ini terlihat berasal page views-nya yang hampir 125.000 jejak pembaca. Pun juga pada reposting pada kaskus oleh keliru satu akun serta keliru satu blog seorang kawan pendaki.
Jika beberapa hari yang lalu saya menulis pengalaman yang hampir sama beserta judul Kisah Misteri Saat Pendakian Gunung Lawu Pada Malam 1 Suro, maka tulisan yang panjengan baca ini adalah pengalaman saya atau lebih tepatnya kami yang pertama, dua tahun sebelum tragedi yang hampir serupa pada tulisan pertama tadi. Dan juga ada dua teman yang sama dalam dua tragedi tersebut.
Pengalaman yang nir akan terlupakan ini sejatinya bermula lantaran rencana yang berubah berasal rencana awal kami. Karena memang nir ada rencana sedikit pun untuk mendaki Gunung Lawu, lha wong rencana kami hanya ke telaga Sarangan, Magetan, Jawa Timur serta Grojogan Sewu pada Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah. Makanya kami nir membawa perbekalan mendaki, lantaran sama sekali nir ada rencana untuk itu.
Rencana awalnya yang kami rembug jauh hari sebelumnya, kami berangkat pagi buta berasal Tuban beserta perkiraan sebelum tengah hari sudah hingga telaga Sarangan. Namun apa hendak pada tutur, rencana tinggal rencana. Salah satu rekan kami agak kesulitan mendapatkan ijin berasal kantor dia bekerja, hingga baru pukul 11 siang kami baru bisa bertolak berangkat ke tujuan.
Karena mobil masih longgar untuk rombongan awal kami yang hanya 6 orang, maka saya iseng ngontak sahabat saya. Siapa tahu dia nir ada kegiatan, serta keliru satu pertimbangannya selain dia senang main pun setidaknya bisa gantikan saya setir. Syukurlah dia bisa, kemudian kami pribadi berangkat.
Perjalanan yang waktu itu diringi hujan sejak berasal Bojonegoro menuju Ngawi tak mengurangi keceriaan kami. Meskipun toh perjalanan agak sedikit terlambat, lantaran memang waktu itu jalan Padangan menuju Ngawi dalam tahap pengecoran. Agak terlambat berasal perkiraan kami untuk hingga telaga Sarangan lebih capat. Kami baru hingga Plaosan waktu sudah mengarah pukul 16.30 an, sudah sore. Jadi rencana ke telaga Sarangan kami urungkan serta bersepakat pribadi ke Tawangmangu. Lagi juga waktu itu hujan sangat lebat.
Karena seharian belum sempat mengisi perut, tak jauh berasal daerah Cemoro Sewu kami berhenti sejenak untuk cari makan serta tentu saja ngopi. Tak lupa kami juga memesan kopi untuk bekal yang kemudian kami masukkan dalam tremos untuk bekal begadang, kami pun bersiap meneruskan perjalanan. Entah kenapa, sebelum sempat kami meneruskan perjalanan malah beberapa rekan mengajak naik ke Gunung Lawu. Lagi-lagi rencana berubah. Setelah terjadi perdebatan yang nir mengecewakan alot, lantaran pertimbangan ada beberapa teman yang belum pernah naik lawu, akhirnya kami sepakat untuk naik ke Gunung Lawu. Tanpa bekal yang memadai. Alias Nekat.
Saking antusiasnya, hujan yang waktu itu masih menyisakan rintiknya tak menyurutkan niat kami, ibarat tutur semangat kami pada waktu itu adalah semangat juang 45. Beberapa kawan serta sahabat saya terlihat sangat antusias serta mendaki. Sayangnya, nir semua pada antara kami terlatih atau setidaknya pernah mendaki gunung sebelumnya. Hanya ada saya serta dua teman yang lain yang pernah mendaki gunung sebelumnya, ya meski pun toh bukan seorang pendaki yang sangat terlatih.
Berbekal sedikit liputan berasal petugas jagawana yang ada pada pos Cemoro Sewu, selepas sholat maghrib bertujuh kami menembus hujan naik ke gunung Lawu. Menyusuri jalan setapak yang sudah pada beri batuan gunung kami berandai-andai jikalau perjalanan hingga ke puncak Lawu akan bisa kami tempuh dalam beberapa jam kedepan. Pekat malam, serta kami hanya berbekal satu lampu senter.
Suka nir senang kami lebih banyak berjalan dalam gelap, kami harus berhemat beserta baterainya. Kira kira sejam perjalanan kami hingga pada pos istirahat. Beberapa kawan yang belum pernah naik Lawu mengira itu adalah Pos 1. Ketika saya kasih tahu jikalau itu pos bantu serta pos 1 masih sejam lagi perjalanan. Ada dua kawan sepertinya antusianya mulai ciut, antara meneruskan perjalanan atau ngajak kembali turun. Sedang bekal air pun tinggal setengah botol.
Memang benar adanya, banyak hal yang aneh-aneh dalam gunung Lawu. Mulai berasal burung merpati putih yang mengikuti kami sejak berasal pintu masuk Cemoro Sewu. Padahal waktu itu hujan. Lah ngopo itu burung berhujan-hujan ria. Gamang juga meski bertujuh. Sesekali pada lebih kurang lembah juga sepeti ada orang yang tengah tertawa, menciptakan begidik. Seperti ada keceriaan pada sana. Kami hanya saling pandang, akan tetapi lagi lagi kalah sama tekad yang sedikit dipaksakan. Atau bisa jadi ada satu pertimbangan kapan lagi naik ke Lawu jikalau nir kini.
Ada yang aneh pada permulaan perjalanan ini, yakni ketika kami berhenti pada jalan yang agak landai serta nir mengecewakan lapang serta ada beberapa pohon pinus tua yang tumbang, tremos yang berisi kopi tiba-tiba saja berpindah tempat berasal tempat kami beristirahat. Rekan kami konfiden dia nir menaruhnya pada situ. Tapi disampingnya kemudian ditinggal buang air kecil. Kejadian ini pun membuahkan kami bertanya tanya, meski kemudian kami berasumsi jikalau rekan kami tadi hanya bercanda. Meski dia bersumpah nir meletakkan tremos tesebut kami temukan. Kami hanya berprasangka baik saja, meski sejatinya hati kami masing diseliputi tanda banya akbar, ini ada apa?
Alam rupa-rupanya masih saja kurang bersahabat beserta kami, hujan kian lebat. Alhamdulillah, meski beserta susah payah akhirnya kami hingga juga pada Pos 1 juga. Kami istirahat. Nah, ditengah kami istiraha pada Pos 1 ini, kami mendapat liputan berasal beberapa orang pendaki yang turun berasal puncak untuk mengurungkan niat naik malam itu. Kami disarankan untuk naik pada pagi harinya, lantaran cuaca pada atas sangat ekstrim.
Mendapati liputan yang demikian, kami sepakat untuk bermalam pada pos 1. Lagi juga pada pos 1 tersebut ada warung serta kami bisa membeli bekal untuk kami bawa ke puncak esok harinya. Warung tersebut buka berasal pagi serta tutup menjelang maghrib. Berbekal camilan yang tak seberapa yang sempat kami beli pada perjalanan kami bermalam pada POS 1. Dari sinilah cerita ini dimulai..
Karena kami berencana bermalam, pada Pos 1 kami pribadi mengembangkan tugas ada yang bertanggung jawab membersihkan lokasi, serta sebagian mencari kayu bakar. Tapi mustahil kami mendapatkan ranting yang kemarau pada ketika hujan seperti itu. Meski sebenarnya ini bukan tugas saya lantaran saya kebagian tugas yang lain, akan tetapi lantaran 3 rekan kami nir mendapatkan kayu yang kemarau serta kembali beserta tangan hampa. Akhirnya saya beserta sahabat berinisiatif mencari kayu bakar pada sekitaran warung pada bawah pos 1 tempat kami bermalam.
Namun naas, tak satu dahan serta ranting kemarau kami temukan. Terdorong rasa jengkel serta kebutuhan penting untuk berdiang menghilangkan hawa dingin. Berdua kami semakin menurun lembah dibelakang warung tersebut. Lagi-lagi semua kayu yang kami temui basah lagi juga akbar akbar serta mustahil kami bawa!
Karena sudah kepalang tanggung, kami lebih turun lagi ke lembah yang dipenuhi pohon pinus tersebut. Apalagi hujan sudah reda beberapa ketika yang lalu serta ini memudahkan kami. Syukur alhamdulillah, setelah agak masuk ke hutan pinus tersebut kami akhirnya menemukan ranting ranting yang nir mengecewakan kemarau. Hal ini relatif menggembirakan kami. Ditengah kami berdua sedang memunguti ranting ranting tersebut, tahu tahu serta kami nir tahu datangnya ada seorang kakek kakek mengejutkan kami beserta tegurannya, entah tepatnya pada siapa, mungkin kami berdua.
Golek kayu dinggo opo toh, Lee (cari kayu untuk apa toh, Nak)? tanya kakek tersebut.
Tak ayal, hal ini menciptakan kami saling pandang. Jujur, waktu itu saya sangat terkejut beserta kehadiran si Kakek yang tiba-tiba. Karena sahabat saya diam saja mendapat pertanyaan kakek tersebut, meski dia lebih dekat beserta kakek tesebut, malah saya yang menjawab pertanyaan tersebut.
Kangge berdiang, Mbah! Kulo sak konco sipeng teng inggil ngriku, teng Pos setunggal (Untuk tanur, Mbah! Saya beserta teman-teman menginap diatas sana, pada Pos 1)
Lho kayu teles ngono kok arep dinggo berdiang, opo yo iso murup (Lha kayu basah gitu kok mau didesain berdiang, apa ya bisa nyala)?
Lha wontene kajeng nggih niki, Mbah! Nggih mangke sak saget-sagete diurupaken (Adanya kayu ya ini, Mbah! Ya nanti diusahakan dinyalakan)? jawab saya berbasa-basi, meski sebenarnya saya juga membayangkan betapa susahnya menyalakan kayu yang kami dapatkan itu.
Wis ngene wae, Lee! Ayo melu nang omahe Mbah, Mbah duwe kayu bakar akeh tur garing-garing. Mengko yen mbok nggo berdiang cepet murup. Piye, gelem ora kowe? (Sudah gini saja, Nak! Ayo iku Mbah, Mbah punya kayu bakar banyak lagian sudah kemarau-kemarau. Nanti kalau kau buat tanur cepet nyalanya. Gimana, mau nggak kau)?
Daleme Mbah pundi, menawi tebih kulo mboten sekeco kaleh konco-konco, mesakaken konco-konco kulo kedangon ngentosi? (Rumahnya mbah dimana, kalau jauh saya nir enak sama teman-teman. Kasihan teman-teman saya usang menunggu), jawab saya sopan serta berkesan menolak halus.
Ora adoh kok, Lee! Mung rodo mlebu alas kuwi sitik, wis mulehe mengko tak terke nek kowe wedi kesasar (Gak jauh kok, Nak! Hanya agak masuk hutan ini sedikit, sudah nanti pulangnya aku antar kalau kau takut lupa jalan)?
.
Entahlah, sepertinya ada kekuatan lain yang menguasai pikiran kami malam itu, tawaran kakek tersebut pribadi kami terima tanpa kami pertimbangkan terlebih dahulu. Terlebih melihat raut kesungguhan berasal kakek yang kedatanganya tanpa kami ketahui itu mengalahkan logika kami. Bisa jadi juga keliru satunya, lantaran kebutuhan kayu yang kami perlukan. Setidaknya kayu yang kami dapatkan berasal kakek tersebut akan mudah untuk kami nyalakan lantaran kemarau.
Meski tanpa aba aba sebelumnya, kami berdua mengikuti kakek tersebut yang berjalan didepan. Dan memang tak berapa usang kemudian kami sudah hingga disebuah rumah kecil, halamannya nir mengecewakan luas yang ditanami sayur-sayuran. Kenyataan ini mengesankan sekali kalau rumah tersebut adalah model rumah-rumah dilereng gunung. Disebelah kiri rumah agak kebelakang samar samar terlihat memang ada tumpukan kayu-kayu kemarau yang aneka macam. Menurut perasaan saya waktu itu. Perjalanan beserta si kakek tak lebih berasal 5 menit. Sayangnya saya nir bisa memastikan lebih tepatnya berapa usang.
Singkat cerita setelah sahabat saya merogoh kayu secukupnya, kemudian merasakan ketela serta wedang jahe yang sedari kami hingga ke rumah kakek tersebut sudah dipersiapkan 2 gelas! Aneh. Tapi nir terpikir apapun kejanggalan kejanggalan ini waktu itu.
Kemudian, kami pun berpamitan pada nenek istrinya si kakek. Dengan pada antar si kakek, kami berjalan beriringan denga kakek tersebut berjalan pada depan. Lenih tepatnya saya paling belakang kemudian sahabat saya yang kebetulan membawa kayu bakar tersebut berjalan pada depan saya. Dalam perjalanan pergi ini kami nir bicara sepatahpun. Sedangkan saya sendiri sempat berkhayal pasti kawan-kawan yang menunggu pada pos 1 pasti bahagia, lantaran kami membawa kayu bakar yang kemarau.
Namun, berasal sahabat saya yang memanggul kayu sempat terlintas perasaan aneh, bahwa ia membawa kayu bakar yang nir mengecewakan banyak akan tetapi kok nir merasa berat serta juga nir merasa lelah. Dia berpikir, barangkali dia bahagia sanggup kayu bakar banyak serta lagi tadi kami habis makan ketela panaskan, ditambah wedang jahenya segar sekali. Setelah berjalan lebih kurang 5 menitan, kemudian sampailah kami persis ditempat pertama kami bertemu si kakek.
Lee, Mbah ngeterne kowe tekan kene wae yo! Mesakne Mbah wedok ora ono kancane nang omah, lan maneh kowe-kowe rak wis eling to dalan nang panggonane kanca-kancamu mau? (Nak, Kakek ngantar kau hingga disini saja ya! Kasihan Nenek nir ada temannya pada rumah, serta lagi kalian kan sudah jangan lupa to jalan menuju tempat teman-temanmu tadi)?
Saya pribadi menjawab, Oh, nggih Mbah matur suwun sanget, ngrepotaken Mbah kemawon niki, kulo kaleh rencang kulo sampun enget kok Mbah marginipun(Oh, iya Mbah terima kasih sekali, menciptakan repot saja Mbah ini, saya serta teman saya sudah jangan lupa kok Mbah jalannya).
Kemudian saya lihat kakek tersebut berjalan balik, serta tanpa penerangan sama sekali. Sedangkan kami berdua memepersiapkan diri mau meneruskan perjalanan naik ke Pos 1. Hanya saja sahabat saya merasa aneh, karena bawaan kayunya kini kok terasa agak berat." Aah, kesel kowe paling", jawab saya sekenanya.
Setelah berjalan beberapa langkah, saya sempat menoleh lagi kebelakang untuk melihat si kakek. Tapi sosok tadi sudah nir kelihatan lagi, padahal baru saja. Tapi ya sudahlah, pikir saya dia lewat jalan pintas.
Setelah hampir hingga pada Pos 1 satu saya agak kaget, pada kejauhan kok ada cahaya kemerahan. Bengong saja waktu itu serta kami sempat berpandangan agak usang. Jangan-jangan ini sudah pagi. Dengan rasa penasaran bergegas kami ke Pos 1 tempat kami berencana bermalam. Dan penasaran kami terjawab sudah!
Kami berdua bengong saja ketika 5 rekan kami murka terhadap kami habis-habisan, mereka menunggu kami beserta harap-harap cemas. Mencari kami pun percuma, mau turun ke bawah juga sangat riskan lantaran satu-satunya senter saya bawa untuk mencari kayu bakar. Meraka hanya berteriak-teriak saja memanggil kami berasal sekitaran Pos 1 tersebut. Berlima mereka sepakat jikalau pada keesokan harinya saja akan mencari kami serta sebagian akan meminta bantuan dibawah untuk melaporkan hilangnya kami berdua.
Baru kali ini saya merasakan rasa sepenanggungan, kami berpelukan beserta mata berkaca-kaca. Meski mereka sempat melampiaskan rasa kejengkelan pada kami berdua. Saya terima beserta lapang dada. Lapang dada!
Kagetnya, waktu itu sudah pagi betulan. Tak berapa usang kemudian matahari timbul berasal balik bukit serta pemilik warung pun sudah datang berasal bawah. Setelah kami memesan mie instan pada warung, kami semua turun serta nir jadi meneruskan perjalanan naik ke puncak Lawu. Diliputi sejuta pertannyaan kenapa semua ini bisa terjadi.
Waktu kami berdua mencari mencari kayu bakar, teman yang lain bilang belum hingga pukul 9 malam. Dan dari saya ketika dirumah kakek tersebut tak lebih berasal stengah jam serta ditambah 10 menit pergi pergi kerumah kakek tersebut. Tahu – tahu kami hingga lagi pada Pos 1 sudah pukul 05 pagi. Apakah ini yang namanya dikenal sebagai menembus batas waktu. Entahlah, saya hanya bersyukur nir terjadi apa-apa pada kami semua. Saya nir mau berandai-andai. Cukup pengalaman ini kami maknai sendiri serta kalaupun itu dinamakan menembus alam gaib. Wallahu alamu bisshowab. Hanya Allah yang tahu.
Pada akhirnya semua rencana kami batalkan semua. Kami pribadi meluncur pergi kembali ke Tuban, beserta masih membawa sejuta pertannyaan yang bergelayut dibenak. Siapa kakek itu? Siapapun beliau, saya berterimakasih padanya, atas kebaikannya pada kami berdua. Hanya Tuhan yang akan membalas kebaikanmu Mbah..wassalam.