Dunia Keris Selamat tiba kerabat perkerisan. Dalam bahasa awam saya, membicang tentang lelembut tampaknya memang sengaja diciptakan untuk menggoda manusia. Percaya nir percaya, memang begitulah kenyataannya. Ini bahasa awam saya lho ya. Tidak harus sampeyan amin-kan.
Rasa takut ialah hal yang manusiawi. Tapi tampaknya setiap orang punya kadar atau ukuran tertentu. Malah akan menjadi satu pertanyaan jikalau manusia nir punya rasa takut kan. Pun halnya, saya langsung. Meski sudah tidak terhitung lagi pengalaman perjumpaan menggunakan lelembut, permanen saja rasa takut merayapi ketika fenomena itu terjadi. Sebagian diantaranya sudah saya bagikan di sini serta sebagian lainnya sudah lebih dulu posting di kompasiana. Mungkin pada tulisan selanjutnya akan muncul beberapa tulisan serupa menggunakan ini.
Kata sengaja yang saya pakai di atas tentu bukan tanpa alasan, bisa jadi maupun sebab sudah mengantongi jam terbang (jadi bukan pilot saja yang memiliki jam terbang, lelembut maupun) yang relatif tinggi, lelembut ternyata lebih jago ketimbang cewek cantik semolek manapun.
Buktinya, lelembut belum menggoda saja, korbannya sudah salah tingkah (seperti waktu sampeyan ketemu kali pertama menggunakan cewek incaran). Contohnya, pas kisanak ketakutan pas mau tidur (biasanya pada tempat yang baru). Merem salah. Melek pun salah. Bener kan? Kalau melek, takut kalau di depan kita tiba-tiba muncul sekelebat bayangan putih (seringnya bayangan putih, jarang yang berpikir item). Kalau merem, takut pas melek si lelembut sudah berdiri mematung di depan kita. Itu kalau kisanak tidurnya terlentang. Sialnya kalau tengkurep atau ngadep tembok maupun sama, suwelas rolas. Malah rerasanya lebih serem lagi.
Taruhlah kita tengkurep. Maksudnya sih agar nir melihat penampakan. Tapi ujung-ujungnya sama saja. Rerasanya si demit muncul di belakang kita, berdiri menggunakan matanya yang melotot (jarang itu demit mengedipkan sebelah mata). Kalau sudah begitu, mau balik telentang maupun takut. Padahal makhluk yang bikin kita takut nir muncul sama sekali. Nah, dari pengalaman empiris itulah saya menarik konklusi kalau makhluk lelembut itu belum eksyen saja sudah bisa bikin kita jadi serba salah tingkah tidak karuan. Mau begini salah. Mau begitu salah (rasanya seperti kita ketahuan sms-an sama mantan lalu ketahuan istri).
Soal memedi, tahu kan? Kalau belum tahu, memedi itu yang membuar wedi. Wedi ialah dari bahasa Jawa yang artinya takut. Saya muncul satu pengalaman dari kesekian pengalaman perjumpaan menggunakan memedi itu, muncul satu pengalaman yang tidak selaras dari yang lainnnya. Sekitar awal 2008 silam, awal saya mengadu nasib di Jogja ini. Saya menggunakan Ali serta Feri dari garut mengontrak rumah (orangnya bilang paviliun) atau tepatnya kost-lah, akan tetapi disertai perabot masak serta furniture seperti lemari, kasur lantai, serta tipi di jakal Km 7, belakang pasar Kolombo.
Di sekitar rumah kontrakan muncul 3 rumah kontrakan lainnya menggunakan pemilik yang sama. Dari gang Don Bosco, lokasi rumah agak masuk ke dalam sekitar seratus meter. Tepat di sebelah utara rumah membentang persawahan. Sementara di belakang rumah yang menghadap ke timur itu masih muncul kebun banyak sekali tanaman. Jadi, rumah yang kami kontrak benar-benar mencil ketika itu, tapi tampaknya sekarang sudah padat.
Suatu malam di kamar yang ditempati Ali, pas makan menggunakan (nasi goreng magelangan), Ali bercerita kalau beberapa melihat kali kain gorden jendela kamarnya dibuka-tutup. Awalnya saya nir ingin bercerita jikalau Ali nir memulai, pengalaman saya sendiri seringkali dengar pintu depan diketok-ketok. Tapi, pas dipandang nggak muncul sapa-sapa. Pas dilongok nggak muncul orang. Hal serupa yang saya alami ternyata Feri maupun mengalaminya. Sama persis, pintu di ketuk-ketuk biasanya dua atau 3 kali.
Pada malam itu saya baru tahu kalau gangguan ketuk-ketuk pintu itu dialami maupun oleh kedua teman kontrakanku. Biasanya terdengar kalau saya sedang sendirian. Buat saya, bunyi-bunyi ketukan pintu itu nir masalah sebab nir begitu menakutkan. Yang krusial pengetuknya nir menerangkan diri. Itu saja!
Saya jadi teringat waktu masih di MI, pas diajak ke rumah Pak Lik di Malang, saya melihat ember timba yang penuh oleh air sumur terangkat naik sampai bibir sumur. Waktu itu saya nir berpikir macam-macam. Terus mandi sampai selesai. Sehabis mandi, barulah saya ngeh, kalau ember timba yang dipenuhi air nir mungkin terangkat, apalagi sampai setinggi bibir sumur. Logikanya, sempurna muncul yang meng-ngerek ke atas. Keterlambatan berpikir serta cuek bawaan lahir sudah menyelamatkan saya dari rasa takut.
Sewaktu selepas ujian STM, pas manjat gunung Lawu, secara hampir bersamaan beberapa teman berteriak kaget serta berlarian. Saya yang terkejut mendengar teriakan teman-teman, impulsif ikut lari. Saya nir tahu kenapa teman-temen berteriak serta berlari. Yang krusial lari dulu agar selamat (pikir saya waktu itu muncul macan, padahal kan sudah punah). Setelah jauh berlari serta kecapekan, teman-teman yang berteriak kaget itu bercerita kalau meraka melihat bayangan putih yang berkelebat tepat di hadapan mereka. Untung kalau jalan-jalan, saya suka meleng. Coba kalau waktu itu nir meleng, sempurna saya maupun melihat seperti yang dipandang teman-teman.
Kalau diingat-jangan lupa, godaan makhluk halus yang beberapa kali saya alami berwujud bebauan. Anehnya, jarang saya mencium bau wangi kembang seperti di film-film horor. Seringnya bau gorengan. Seperti waktu lewat sekitran Kota Baru di Yogyakarta, di situ seringkali tercium bau kentang yang sedang digoreng. Bau yang sama maupun seringkali tercium di sekitar lembah UGM. Entah siapa yang mengolah kentang di sekitar lembah UGM yang gelap serta rimbun oleh pepohonan itu. Tapi, gangguan yang paling seringkali terperinci bebunyian. Gangguan memedi dalam bentuk ini sudah nir terhitung lagi.
Awal januari 2016 silam dua hari setelah 7 harinya umi, saya ke makamnya hendak berpamitan. Sedang enak-enaknya berbincang sendiri di makam (obrolan imajiner menggunakan umi) saya dikejutkan menggunakan bunyi lelaki tua batuk. Hanya sekali saja batuk itu terdengar. Sontak membuyarkan obrolan imajiner saya. saya tengok kanan kiri. Clingak-cliguk. Tak muncul orang lain selain saya sendiri. walah malah ngelantur kemana-mana. Sampai mana tadi? Makan-makan sambil cerita itu yaa.
Pada lain kesempatan, waktu itu saya, Ali, serta Feri ngumpul di kamar saya. Sedianya mau nonton bola menggunakan. Sambil menunggu tayangan bola tersebut, kami mendengar bunyi ketukan di pintu kamar saya. bunyi ketukannya bener-bener khas. Lembut tapi terdengar menggunakan begitu terperinci. Karena ini bukan pengalaman pertama saya, akan tetapi pengalaman pertama menggunakan-sama, biasanya akan muncul ketukan lagi setelahnya.
Biasanya muncul ketokan pintu lagi, kata Feri.
Kalau begitu kita tunggu saja, sahut saya.
Kemudian sebuah gagasan berlian melintas. Tapi, nunggunya di depan.
Ali serta Feri saling berpandangan. Ayo! kata mereka hampir bersamaan.
Kemudian kami bertiga berkecimpung ke luar kamar. Persis aksi tokoh detektip dalam pilem saja, kami rindik-rindik mendekati pintu depan. Seolah-olah menggunakan cara berjalan seperti itu kami bisa menangkap basah si demit tukang ketok pintu. Pintu depan dibuka. Kami longok. Seperti biasa, nir muncul siapa pun di luar.
Kami pun nongkrong-nongkrong di depan pintu depan. Menunggu bunyi ketukan pintu kedua. Aneh maupun kalau dipikir. Apa mungkin si demit ngetok-ngetok pintu lagi kalau pintunya ditunggui seperti itu. Memang nir muncul cara lain, sebab nir mungkin kami memasang CCTV untuk menangkap penampakan si memedi.
Sepertinya dia nggak bakal ngetok-ngetok lagi, kata saya mulai pesimis.
Lha iya, wong ditungguin kaya gini, sahut Ali.
Mana mungkin dia tiba. Logikanya saja, buat apa ketok-ketok pintu, sambung Feri.
Kan yang punya rumah muncul di depan pintu. Jadi, kita ini lebih bego dari si demit itu ya? Celetuk Ali sambil ngakak.
Tidak berselang usang lalu … Tok … tok … tok! Suara ketukan kembali terdengar. Seperti biasanya, bunyi ketukan itu terdengar lembut, tapi terperinci terdengar. Hanya saja, bunyi itu bukan tiba dari pintu depan seperti biasanya, tapi dari pintu belakang rumah. Suara ketukan itu menghasilkan kami bertiga memalingkan mata ke arah pintu belakang yang terlihat dari depan rumah.
Dengan bunyi pelan saya bilang, Gendeng tenan demit iki. Dienteni nang ngarep, eh yang diketok lawang mburi!. Feri pun menyambung, Kan begitu logikanya ….. Urd2210