Dunia Keris Selamat tiba kerabat perkerisan. Bodoh seperti kerbau. Demikian sebuah ungkapan yang tidak sporadis kita dengar. Ya, miris banget nasib kerbau yang selalu dijadikan perumpamaan untuk orang yang bodoh dan tolol. Ada yang masih inget lirik tembangan kodok ngorek? Wah, kalau sampeyan lahir dan akbar pada kota wajar saja kalau tidak tau. Tapi pada pada dasarnya, lirik tembangan tadi cukup menyebutkan yang pinter itu dokter yang bodo itu kebo.
Saya tidak tahu sejarahnya secara pasti, kenapa muncul ungkapan yang pinter itu dokter yang bodo itu kebo seperti pada pembuka tulisan ini. Mungkin, anak jaman dulu yang sekolah SMA dan pinter bisa dengan gampang masuk fakultas kedokteran. Hingga kemudian, orang tua jaman dulu kalau ngudang (bahasa Indonesianya aku tidak tahu) dan menggadang-gadang (mengharapkan) anak atau cucunya, banyak yang sekolah sing pinter suk gedhe ben dadi dokter.
Baik, topik pinter jadi dokter bodo itu kebo sementara kita sudahi dulu. Sekarang kita memulai topik baru untuk mengantarkan inti menurut maksud tulisan ini. Aika kita tilik ke belakang, setidaknya pada jaman kerajaan Singasari dan Majapahit, justru makna kerbau atau kebo ini bertolak belakang. Jauh menurut ungkapan bodoh seperti estimasi selama ini. tercacat muncul beberapa nama akbar dalam lembaran sejarah yang menyandang nama hewan, sebut saja yang paling terkenal contohnya, Gajah Mada, Lembu Sora, Dyah Lembu Tal, dan lain sebagainya.
Khusus yang menyandang nama kebo ini muncul nama Mahisa Anabrang dan Kebo Ijo. Mahisa ialah nama lain daripada kebo itu sendiri. Mahisa Anabrang tentu bukan orang ecek-ecek pada masanya, tokoh satu ini semasa hidupnya ialah panglima perang dalam ekspedisi Pamalayu dan diyakini menjadi orang yang sanggup mengalahkan Aryo Ronggolawe sang Adipati menurut Tuban yang sakti mandraguna itu. Meski kemudian, Mahisa Anabrang atau Kebo Anabrang tewas ditangan nama yang sama-sama berawalan dengan nama hewan, yakni Lembu Sora yang tidak lain ialah paman menurut Ronggolawe.
Selanjutnya, Kebo Ijo. Bisa dikatakan penyandang nama ini sangat tragis hidupnya. Ya, beliau ialah korban kecerdasan, lebih tepartnya keculasan Ken Arok. Kebo Ijo ialah tertuduh pembunuh Tunggul Ametung atas logika Ken Arok dengan meminjamkan Keris Empu Gandring izin dibawa-bawa dulu sang Kebo Ijo sebelum dipakai Ken Arok untuk membunuh, dan akhirnya Kebo Ijo tewas dibunuh Ken Arok.
Kerbau memang hewan yang amat penurut. Mungkin ini maupun yang mengilhami pencetus peribahasa klasik, seperti kerbau dicucuk hidung artinya ialah orang yang amat penurut, entah alasannya memang bodoh atau memang nurut beneran. Namun tampaknya ini perlu untuk diklarifikasi ulang, alasannya kebo tidak selamanya nurut, khusus menyangkut kebo ini muncul cerita yang cukup menarik. Mau tahu apa ceritanya?
Cerita ini tentang kebo yang tidak penurut atau bahkan bisa dibilang kebo edan ini terbilang cukup usang, yakni terjadi pada abad 15 silam. Lebih tepatnya pada masa kesultanan Demak Bintoro. Adalah Mas Karebet, tahu kan? Iya bener, yang tidak sporadis desebut Joko Tingkir atau Sultan Hadiwaijaya itu baru baru saja lulus Akmil nya Demak Bintoro. Perwira muda ini terbilang moncer dalam karir militernya.
Selain alasannya syahdan sangat sakti, perwira berdarah Pengging ini maupun cukup indah. Maka tidak mengherankan bila kemudian baru lima tahun berkarir pada militer Demak beliau dinaikkan pangkatnya menjadi lurah prajurit yang bertanggung jawab penuh atas keamanan istana. Jabatan yang belum usang disandangnya ini terpaksa ditanggalkan alasannya beliau mendapat kenaikan pangkat jabatan yang lebih tinggi lagi, yakni menjadi komandan yang bertanggung jawab atas keselamatan raja dan kerabatnya. Komandan Paspampres kalau istilah jaman sekarang.
Tidak seperti biasanya, pelataran kamandungan siang itu cerah (biasanya mendung). Lebih tepatnya terik. Mas Karebet sedang menyaksikan pendadaran calon perwira baru sambil ngelap warangka kerisnya yang sebenarnya tidak kotor itu. Sebenarnya, ini ialah aktifitas yang tidak istimewa alasannya hampir setiap tahun kegiatan ini diadakan untuk perekrutan perwira baru. Hajatan ini bisa diikuti baik tamtama ataupun bintara yang ingin meniti karir kemiliterannya. Tentu saja untuk lulus uji ini tantangannya tak terbiasa atau dalam bahasa sederhananya sangat berat. Beratnya bukan hanya wajib bisa bertahan menurut agresi perwira senior pengujinya, akan namun wajib bisa nyemaputkan (memingsankan) banteng.
Meski Karebet dikala itu sudah menjadi perwira tinggi, kira-kira Mayor Jenderal kalau ukurang sekarang, tapi beliau masih terlibat langsung. Entah alasannya lupa atau belum muncul penggantinya yang mumpuni, jabatan yang mestinya untuk perwira jauh dibawahnya masih diembannya. Terhitung semenjak menjabat lurah prajurit itulah jabatan ini disandangnya dan diangkat langsung sang panglima tertinggi Demak Bintoro, Sultan Trenggono. Rangkap jabatan itu masih dimaklumi alasannya Mas Karebet ini orang yang bebas KKN. Dalam kamus pemahamannya, tidak muncul istilah suap, apalagi hanya mendapat titipan. Sama sekali Karebet atau Joko Tingkir tidak mengenal itu semua. Barangkali itu pulalah yang menjadi pertimbangan Trenggono kala itu.
Arkian, tersebutlah seorang pemuda tegap yang kekar banget postur tubuhnya (meski tidak sekekar Ade Ray) bernama Dadungawuk. Orang satu ini bukan baen-baen, ibaratnya beliau ialah premannya prajurit bintara. Pemuda yang tidak mengecewakan brangasan ini tidak hanya disegani sang prajurit lainnya, bahkan perwira pun akan berpikir beberapa kali hanya untuk menegurnya. Masih beruntung kalau hanya dipelototi matanya yang selalu memerah itu. Kalau hingga ditantang bisa panjang ceritanya, alamat menangguk malu terperinci pada depan mata.
Momentum tahunan yang dihelat pada pelataran kamandungan ini keliru satu pesertanya ialah si preman bintaran Dadungawuk ini. Karebet yang semenjak tadi asyik dengan memperhatikan detil warangka yang baru saja dibersihkannya mendadak kaget sang kehebohan prajurit pada pelataran yang mengerumuni sesuatu.
Bisa ditebak, betul saja rupa-rupanya baru saja si preman bintara tadi baru saja mengalahkan seekor banteng. Sebenarnya maupun hal yang biasa calon perwira mengalahkan seekor banteng menjadi ujian akhirnya. Yang tak terbiasa kali ini banteng tadi kepalanya remuk hanya sekali hantam sang Dadungawuk, sang preman bintaran. Inilah yang memicu kerumunan tadi.
Sebagai orang yang bertanggung jawab penuh atas helatan tadi, akhirnya Karebet mengampiri Dadungawuk yang terbawa euforia kemenangannya. Show up-nya sukses dalam unjuk kesaktian didepan sang gubernur akmil kesultanan Demak (Karebet), bahkan beliau sangat berharap Karebet yang kesohor itu berkenan langsung mengujinya. Benar saja, dengan pertimbangan unjuk sakti tadi bukanlah contoh yang baik untuk dikemudian hari. Bisa-bisa kas kesultanan akan bangkrut untuk pengadaan banteng yang tentu saja mahal harganya itu. Maka, masih ditengah suasana euforia Karebet langsung memanggil Dadungawuk untuk langsung diujinya.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, begitulah kira-kira yang muncul dipikiran Dadungawuk. Banteng yang remuk kepalanya tadi kemudian digotong ramai-ramai yang kemudian dikuliti dan dagingnya pada sate sang calon perwira yang gagal ujian. Sementara, panitia penerimaan prajurit baru sudah membentuk pagar betis sedemikian rupa. Sedangkan juru warta sudah siap dengan lontar dan pena menurut bulunya agak mojok agar leluasa menyaksikan jalannya pertarungan. Bisik-bisik tidak bisa dielakkan, apalagi kalau bukan taruhan. Kepeng diadu dengan kepeng, bahkan muncul kepeng yang diadu dengan istri simpanannya. Miris!
Banyak yang harap-harap cemas, alasannya hampir semua menjagokan Karebet yang sudah cukup terbukti kedigdayaannya. Masalahnya bukan tentang siapa yang menang, alasannya terperinci taruhan semua menjagokan Karebet. Taruhannya lebih kepada berapa jurus si preman bintaran itu bisa bertahan menurut agresi Mas Karebet. Panitia penerimaan perwira baru yang kebanyakan perwira menengah itu muncul sebagian antara lain yang sudah tertunduk indolen. Dadungawuk sudah melewati batas jurus yang disepakati dengan temannya. Ia indolen alasannya selirnya yang baru didaptkan menurut ereten kulon yang terkenal anggun itu wajib beralih pelukan. Ia tertunduk indolen dan tidak berselera lagi untuk menyaksikan jalannya pertarungan.
Sementara pada kalangan, Joko Tingkir atau Karebet yang sedang duel dengan Dadungawuk sudah mendekati nomor seratus jurus. Tanda-menandakan saling mengalahkan masih belum nampak, adanya hanya saling adu atos dan berkelit hingga tidak terasa petang hampir menjelang. Seperti muncul kode tertentu, keduanya langsung berhenti bertarung dan saling surut ke belakang beberapa langkah. Rupa-rupanya pertarungan beralih ke ilmu pamungkas masing-masing. Karena bisanya aktifitas ini akan langsung berhenti waktu terdengar adzan pada Majid Agung Demak.
Dadungawuk nampak merentangkan kakinya membentuk kuda-kuda dan semakin merendah. Sementara ke 2 tangganya bertelekan pada atas tanah, beliau rupanya sedang mempersiapkan aji Macan Liwung yang nggegirisi itu. ke 2 matanya menatap lekat ditimpali dengan mulutnya yang sekali waktu menyeringai.
Diujung lainnya, Mas Karebet justru nampak sangat santai. Ia hanya berdiri dengan satu kaki, seperti seorang balerina, sementara tangan kanannya diangkat ke atas bagaikan bilah pedang, tangan kiri melipat didada. Mas Karebet rupanya sedang mempersiapkan aji Lebur Sakethi.
Nampak keduanya masih hening beberapa dikala (mungkin sedang membaca mantera saktinya). Juru warta yang diutus khusus sang sultan Trenggono maupun lebih mendekat agar bisa menyaksikan adu ilmu ini sesempurna mungkin. Sayangnya, waktu si juru warta sedang menggeser bangkunya beliau mendengar lengkingan keras. Hanya itu saja. Ia sama sekali tidak menyaksikan proses adu kesaktian tadi. Kini yang beliau saksikan ialah ambrugnya Dadungawuk dengan koordinator remuk terkena pukulan yang dilambaru aji Lebur Sekethi itu. Suka tidak senang beliau wajib mengarang sendiri proses ini yang nantinya akan dilaporkan pada junjungannya.
Gempar itulah kata yang pas. Berita yang beredar sudah semakin banyak bumbunya. Situasi politik yang akan terjadi Karebet sang komandan paspamsul (pasukan pengawal sultan) membunuh calon perwira baru membentuk situasi tidak kondusif lagi. Demi pertimbangan kemaslahatan, dengan berat hati akhirnya Karebet dilucuti jabatannya. Dikembalikan dengan tidak hormat mejadi rakyat sipil.
Karir militer yang dirintisnya dengan cucuran keringat dan darah itu wajib pupus alasannya provokasi Dadungawuk waktu itu. Karebet yang sudah pergi menjadi warga sipil kemudian mudik yang kemudian berguru pada Ki Ageng Sela dan Ki Ageng Banyubiru. Nama yang dianggap belakang ini ialah saudara seperguruan bapaknya Mas Karebet sendiri, yakni Ki Ageng Pengging dikala dengan-sama berguru pada Syekh Siti Jenar dengan empat puluh santri lainnya. Beberapa antara lain ialah Ki Ageng Tingkir yang menjadi ayah angkatnya dan Ki Ageng Butuh yang memberi nama Mas Karebet.
Singkat cerita, setelah dirasa cukup mumpuni, Jaka Tingkir atau Mas Karebet bisa pergi lagi ke dalam lingkungan istana, setelah sebelumnya beliau diwejang (dibisiki) sang Ki Ageng Sela, tentang trik-triknya (harap maklum yang tahu cuma penulisnya saja). Sementara pada hutan prawata, sultan Trenggono sedang rapat khusus dengan prajurit pilihan pada keliru satu tenda membahas perburuan yang akan dilangsungkan beberapa dikala lagi.
Rapat yang sedang berfokus-seriusnya itu mendadak berhenti alasannya muncul kegaduhan pada luar tenda, penyebabnya tidak lain ialah ulah kebo yang ngamuk yang hendak menuju perkemahan sultan Trenggono. Sambil berusaha menghalau kerbau yang jauh menurut kata nurut tadi, banyak prajurit paspamsul wajib tunggang langgang alasannya menyaksikan beberapa rekannya wajib meregang nyawa tertumbruk kebo.
Betapa tidak, prajurit yang sedemikian banyak dan dilengkapi dengan persenjataan termodern pada jamannya tidak bisa berkutik. Setelah sultan diamankan pada keliru satu daerah khusus dan acara perburuan pun senang tidak senang untuk sementara wajib ditunda selagi kebo edan tadi belum diatasi. Reputasi sultan dan prajuritnya dipertaruhkan atas aksiden kerbau ngamuk tadi.
Paspamsul yang sejatinya ialah prajurit pilihan nyatanya tidak berkutik menghadapi seekor kerbau. Pemanah jitu pun yang sangat diandalkan untuk melumpuhkannya wajib berbesar hati berkata tidak sanggup lagi. Kegemparan ini sudah tidak bisa ditutup-tutupi lagi, warga lebih kurang hutan prawoto berduyun-duyun untuk melihat langsung kerbau yang kulitnya tidak bisa dilukai sang senjata apapun itu. Sementara sultan yang masygul dan tidak ingin suasana berlarut-larut atas suasana yang tidak diperkirakan sebelumnya ini kemudian mengadakan sayembara.
Hadiah sayembara sultan ini cukup menggiurkan, bagi siapa saja yang sanggup mengatasi kebo edan ini akan diberi kedudukan krusial pada kadipaten Pajang dan sekaligus dijadikan menantu kalau laki-laki. Tidak wajib bujangan, lelaki yang sudah engkong-engkong beranak cucu seabreg pun diperkenankan. Sedangkan kalau wanita akan dijadikan saudara angkat (bukan selir lho ya).
Ternyata dikerumunan warga yang berduyun-duyun muncul pemuda yang bercaping yang semenjak tadi tersenyum simpul mendengar sabda raja tadi. Bisa ditebak. Tak lain beliau ialah Joko Tingkir atau Mas Karebet.
Pertunjukan wajib segera dimulai, gumam Karebet sambil melompat jumpalitan mendekat dipanggung sultan Trenggono. Benar saja, semua pandangan tertuju pada aksinya, termasuk sultan Trenggono tentunya. Situasi inilah yang diinginkannya.
Meski memakai caping, rupanya sultan Trenggono masih mengenalinya. Sambil melambaikan tanggannya, sultan Trenggono berujar padanya.
Bet! Cepet atasi kebo edan ini. Kalau kowe sanggup langsung tidak angkat pergi dan langsung tidak jadikan mantuku!
Lapan anem, sinuwun! sahut Karebet sambil membungkukkan badan.
Rencana selanjutnya pun dijalankan. Tidak seperti Dadungawuk yang langsung memakai aji pamungkasnya untuk memecahkan koordinator banteng. Mas Karebet dalam mengatasi kebo edan ini dengan cara yang sangat menghibur. Kira-kira seperti pernjukan matador dalam menaklukkan banteng hingga kehabisan energi itulah kira-kira.
Setelah dirasa pertunjukkannya selayaknya matador dirasa cukup, kemudian Karebet dengan gerakan yang sulit dijelaskan, ujug-ujug sudah berada pada punggung kebo edan tadi. Seperti pertunjukkan rodeo itulah kira-kira. Dengan hanya berpegangan tanduk mengunakan tangan kirinya. Masih sempat-sempatnya Karebet melambaikan tangan tangannya kepada khalayak ramai. Suasana bergemuruh, sorak sorai membahana menyemangati pemuda menurut Tingkir yang caping yang dikenakanya sudah mabur beberapa dikala kemudian.
Ditengah tempik sorai, tidak muncul yang tahu tangan kanan Karebet merogoh pendengaran kanan si kebo edan tadi.
Taraaaaaa! dapet gumamnya. Hanya sejumput tanah liat sebenarnya, namun alasannya sudah pada jampi-jampi sang Ki Ageng Selo menjadikannya bertuah. Akibatnya kebo yang sebenarnya nurut ini menjadi liar tidak terkendali. Seketika itu maupun, begitu sejumput tanah tadi sudah terambil menurut telinganya, mendadak plonga-plongo. Limbung. Tak ingin pertunjukannya tidak hepi ending, hanya dengan menampar mini moncong kerbau tadi, kemudian ambruglah kerbau tadi. Semaput!
Sepekan kemudian setelah peritiwa pada hutan Prawata, sultan Trenggono melunasi janjinya. Karebet yang tadinya dilucuti kepangkatannya, kini diwisuda lagi beberapa dikala sebelum ijab kabul menikahi putri sultan yang ketiga, yakni Retno Prabaningrum. Setelah ijab kabul yang berjalan khidmat tadi, waktu sungkem pada mertuanya dan tidak disangka sebelumnya secepat itu, beslit atau SK pengangkatan adipati Pajang sekaligus diserahterimakan. Lengkaplah kini kewajiban sultan Trenggono atas sabda yang telah diucapkannya. Dalam SK tertera terperinci nama baru yang disandang Mas Karebet. Adipati Adiwijoyo, ditulis dengan huruf yang lebih tebal.
Ki Ageng Selo dan Ki Ageng Banyubiru yang turut dan dan sekaligus menjadi pengiring Joko Tingkir, Adipati Adiwijoyo maksudnya hanya tersenyum manggut-manggut. Sesekali terlihat mengelus jenggotnya yang mulai kelabu itu sambil menikmati kopi kothok ala Rembang yang baristanya didatangkan khusus untuk hajatan ini. Meski resepsi belum selesai, ke 2 orang tua tadi berbarengan pamit undur diri. Ngantuk barangkali!
Catatan kaki :
Bolehlah bodoh, tapi kerbau ialah pekerja keras, tuntutannya tidak banyak dan loyalitasnya gak perlu diragukan lagi. Pastinya sanggup menerima amanah. Kerbau maupun siap menyerahkan kepalanya untuk tumbal pembangunan gedung atau jembatan. Bahkan kerbau bule (albino) mempunyai kedudukan tinggi diantara kerbau-kerbau lainnya. Kebo Kyai Slamet dan anak turunnya contohnya. Nuwun.