Tak lengkap cita rasanya berkunjung ke Cirebon tanpa berziarah ke makam Sunan Gunung Jati. Makam yang terletak hanya 3 kilometer dalam sebelah utara Kota Cirebon ini populer unik sebab menggam-barkan tiga paras sumber tiga kultur tidak sama. Sebagai makam ulama besar, kompleks makam Gunung Jati dalam Desa Astana, Kecamatan Gunungjati, Kabupaten Cirebon, selalu dibanjiri peziarah.
Pada hari-hari khusus, kompleks makam tadi menjadi pusat kegiatan agama dan budaya. Keluarga Sultan Kanoman selalu hadir buat shalat Idhul Adha dalam masjid kompleks makam dalam rangkaian grebeg besar. Malam itu aura sakral kental terasa dalam komplek Astana Sunan Gunung Jati Cirebon. Ucapan doa dan dzikir keluar tak henti-henti sumber mulut para peziarah. Sebagian yang lain membaca ayat-ayat kudus al-Quran. Kesucian semakin bertambah manakala sejumlah peziarah yang sedang mengalami ekstase dalam syarat dzikrullah memakai ayunan koordinator dan tubuh seraya menyebut keesaan dan kebesaran Tuhan.
Seorang ibu yang kulit mukanya mulai mengeriput, terus meneteskan air mata, tak sedikit dalam antara mereka, terus memilin buah-buah tasbih dalam tangan kanannya seraya memejamkan mata demi menjaga kekhusyukan. Saya yakin tiap hari, ratusan atau bahkan ribuan peziarah berdatangan. Mereka datang tidak hanya sumber wilayah Cirebon, peziarah jua datang sumber daerah lain dalam Jawa dan luar Jawa. Dari para musafir yang mukim dalam kompleks makam ini aku mendapatkan fakta, sering jua terlihat peziarah mancanegara, mirip peziarah sumber Cina. Peziarah sumber Cina, umumnya datang buat nyekar ke makam Putri Nio Ong Tien, Putri Kaisar Hong Gie sumber Dinasti Ming yang diyakini sebagai galat satu istri Sunan Gunung Jati. Mereka membakar hio dan melakukan persembahyangan menurut tradisi agamanya.
Dibandingkan memakai makam Wali Sanga yang lain yang pernah aku kunjungi, makam Sunan Gunung Jati jua tergolong unik. Sebab, hanya dalam kompleks makam inilah terlihat sangat kental akulturasi kebudayaan, baik sumber sisi fisik juga sosial. Bangunan makam masih mengadopsi bangunan Jawa lama, yakni joglo, memakai gerbang bata berundak. Namun, selain kaligrafi, hiasan dinding dalam makam ini dipenuhi memakai keramik sumber China dan vas keramik dalam beberapa sudut ruangan. Hiasan keramik dan vas inilah yang memproduksi bangunan makam tidak sama memakai makam para wali dalam Demak, Gresik, Tuban, Muria atau daerah lain.
Dalam buku Babad Cirebon yang aku nukil sumber wikipedia dan jua sumber cerita kata para pemukim dalam kompleks ini yang telah aku singgung diatas, Sunan Gunung Jati memperistri Ong Tien Nio atau Anyon Tin, putri Raja Ong Te sumber China. Dari Ong Tien Nio-lah sentuhan budaya Tionghoa timbul dalam hampir semua monumen kerajaan Cirebon.
Perwujudan akulturasi budaya tidak berhenti dalam simbol fisik semata. Di sebelah kiri pintu masuk primer masih terdapat loka berdoa khusus bernuansa Tionghoa. Tempat ini disediakan khusus, sebab selain rakyat awam, banyak jua warga Tionghoa yang datang buat berziarah ke makam Sunan Gunung Jati dan istrinya, Ong Tien. Di loka itu jua disediakan wadah pembakaran kertas dan dupa dan teras loka berdoa. Ini sangat tidak sama memakai makam para wali yang tergabung dalam wali songo.
Tiga paras budaya, yakni Timur Tengah, Jawa, dan Tionghoa, terpahat terang dalam makam. Tiga paras itu seolah menyiratkan kebinekaan yang dibuat ulama besar Sunan Gunung Jati sejak 600 tahun lalu dan terpelihara hingga kini.
Nama besar, keunikan kultur, dan bangunan makam itulah yang menarik pengunjung sumber banyak sekali daerah. Kolega dekat yang menemani aku berziarah ke Makam ini, sangat kagum memakai konsep Sunan Gunung Jati yang dapat merangkul banyak sekali budaya. Sangat dimaklumi sebab beliau baru pertama kali melihat ceceran masa lalu yang masih dapat kita saksikan hingga kini.
Bagi warga Cirebon sendiri, berkunjung ke makam Gunung Jati merupakan harus. Seolah belum menjadi orang Cirebon andai saja belum berziarah ke makam sang pendiri Cirebon.
Sebagai penutup, aku ingin mengutip tembang karya Sunan Bonang, sekali lagi sebagai ucapan terimakasih kepada Walisongo dan para Sunan lainnya.
Tombo Ati iku limo perkorone
Kaping pisan moco Kuran lan maknane
Kaping pindo sholat wengi lakonono
Kaping telu wong kang soleh kumpulono
Kaping papat wetengiro ingkang luwe
Kaping limo zikir wengi ingkang suwe
Salah sawijine sopo iso ngelakoni
Mugi-mugi Gusti Allah nyembadani
Selanjutnya secara bersambung aku akan menulis perihal cerita lain sumber serita kata yang berkembang dimastarakat perihal tokoh kita yang satu ini. Sampai jumpa