Dunia Keris Selamat tiba kerabat perkerisan. Sedianya catatan perjalanan saya ini hendak saya posting di kompasiana waktu itu. Karena suatu hal, galat satunya tulisan ini belum selesai, akhirnya hanya tersimpan dalam draf selama tiga tahunan. Akhirnya, sembari mengingat ingat perjalanan tersebut hingga menjadi tulisan yang sampeyan baca ini. Tulisan ini juga adalah bentuk tribut atau serupa dedikasi buat seseorang saudara, sahabat Zarin atau saya biasa memanggilnya Ganol yang lebih dulu berpulang 2 tahun yang kemudian. Dan pendakian ini juga adalah pendakian terakhir saya bersamanya.
Tanggal 7 – 14 September 2012 adalah adalah waktu yang sudah kami berdua lalui melaksanakan misi pendakian gunung yang sedianya berkeinginan buat mendaki tiga gunung sekaligus dengan awalan huruf S di Jawa Tengah yang dikalangan pendaki dikenal dengan triple S (Sindoro, Sumbing, Slamet).
Sayangnya ketika itu kami mendapatkan berita bahwa dua gunung lainnya, yakni gunung Sindoro & gunung Sumbing sedang dalam kondisi yang nir safety buat aktifitas pendakian. Informasi yang kami dapatkan adalah banyak kebakaran yang melanda lahan di ke 2 gunung tersebut, sebagai akibatnya jalur pendakian di tutup.
Memang waktu itu memang sedang zenit ekspresi dominan kering, sebagai akibatnya banyak lahan yang terbakar. Baik dipicu oleh manusia maupun oleh alam itu sendiri. Melihat kenyataan yang sedemikian, hanya gunung Slamet yang menjadi tujuan primer kami dalam titah mensucikan diri (haisssh), melepaskan diri asal hiruk pikuk pekerjaan yang secara nir pribadi membawa kita dalam pasungan ketenangan akan tetapi membosankan.
Gunung Slamet 3428 mdpl adalah galat satu tipe gunung berapi yang berdiri angkuh membelah kabupaten Brebes, Banyumas, Purbalingga, Kabupaten Tegal & Kabupaten Pemalang, Provinsi Jawa Tengah, & adalah yang tertinggi di Jawa Tengah serta ke 2 tertinggi di Pulau Jawa sesudah Gunung Semeru. Sekurangnya terdapat empat kaldera di puncaknya yang semuanya aktif.
Ada beberapa jalur yang dapat dipilih oleh pendaki buat mencapai puncaknya, antara lain dapat lewat jalur Bambangan yang adalah jalur baku atau populer, selain itu dapat juga di akses lewat jalur Guci yang terdapat pemandian air panasnya & juga dapat ditempuh lewat jalur Batu Raden. Berhubung kami mendaki buat kali pertama, akhirnya kami menetapkan buat menentukan jalur Bambangan yang lebih populis & nisbi nir begitu menantang.
Jauh hari sebelumnya, berbagai persiapan sudah kami lakukan dalam urusan ekonomi memuluskan pendakian kami ke Gunung Slamet. Terutama buat Logistik milik pribadi dalam bentuk peralatan pendakian, syukurnya kami cukup lengka. Kalau pun toh muncul peralatan yang kami pinjam asal orang lain hanya kompor gas mini, itupun lantaran kompor gas yang saya punya ternyata nir dapat dipakai secara baik lantaran mungkin selama ini nir atau kurang terawat.
Singkat cerita, selepas isya kami mengawali perjalanan asal Plemburan kediaman saya menuju terminal Giwangan buat kemudian naik bus tujuan Purwokerto. Di terminal Giwangan ini, kesabaran kami harus di uji terlebih dahulu sebelum ujian yang lebih berat akan kami dapati dalam pendakian yang sesungguhnya. Tak kurang asal 4 jam kami, ndlogap ndlongop di terminal lantaran jurusan Purwokerto belum muncul yang berangkat. Barulah lebih kurang pukul 11 amalam, bus yang kami nantikan muncul pemberangkatan menuju Purwokerto dengan merogoh kocek Rp 35.000,-.
Setelah menempuh tak kurang asal tiga jam perjalanan, pukul 03.00 pagi kurang sekian kami tiba di terminal akbar Purwokerto. Kemudian kami pun mencari berita tunggangan lanjutan buat mendekati gunung Slamet yang berdiri angkuh tersebut memalui pedagang di dalam terminal. Dari mereka inilah kami mendapatkan berita bahwa kami mesti menunggu pukul 06 pagi buat melanjutkan perjalanan menuju Batu Raden.
Rentang tiga jam-an kami menunggu pagi (eling langue Peterpan) di terminal tak banyak yang kami lakukan. Saya menentukan buat mandi di ponten dengan kocek 2000 perak kemudian sholat subuh, jujur saja ibadah satu ini berasa berat banget dikala di rumah. Jangankan bangun pagi, lha wong tidur saja saya umumnya pukul 02 dinihari paling cepet. Sedangkan rekan saya alm. Zarin sepertinya lebih menentukan meratapi nasibnya dengan segelas kopi didepannya sekali waktu ditingkahi kepulan asap rokok kreteknya.
Bagi beliau, nir usah mandi, lha wong wes payu (sudah laku). Kemudian, saking khusuknya (ngantuk maksudnya) tak terasa saya tertidur dikala bersandar di masjid dalam komplek terminal tersebut. Gelagapan ketika Zarin membangunkan saya dengan tangganya yang basah. Rupanya beliau mandi juga. Pukul 06 pagi kurang sekian kami nyangklong ransel bersiap melanjutkan perjalanan ke Batu Raden berdasarkan petunjuk pedagang di terminal yang kami dapatkan.
Pagi itu rupanya alam berpihak pada kami, tak berapa lama kami mendapatkan angkutan awam. Sayangnya, sesudah kami naik, itu angkutan awam belum jalan jalan. Rupa rupanya masih nunggu penuh dulu baru jalan. Sekira sejam kemudian barulah angkutan awam tersebut penuh & jalan mendekati gunung Slamet. Kami turun di depan gerbang wana wisata Batu Raden. Dari sini kami berjalan gontai menuju Desa Bambangan & mencari bengkel perut sembari mencari berita berkait dengan pendakian asal Bambangan ini.
Di warung ini, kami mendapatkan cerita menarik terkait aktifitas pendakian di gunung Slamet. Jadi acara makan menjadi gayeng. Seperti apa yang di ceritakan oleh seseorang mak setengah baya yang mempunyai anak 1 bahwa dulu ia adalah pendaki gunung juga. Dari tuturanya yang runut & mengerti sahih detil gunung gunung yang diceritakannya saya berasumsi ini bukan cerita bualan belaka. Ibu ini pendaki kawakan yang sudah memiliki segudang pengalaman. Menurut mak ini, Gunung Slamet dibalik keindahan & pesonanya ternyata menyimpan berbagai kejadian kelam. Berbagai peristiwa pendakian yang bahkan merenggut korban jiwa asal pendaki.
Ibu ini menyebut dahulu muncul sekelompok pendaki asal kalangan mahasiswa yang tewas dalam aktifitasnya mendaki gunung Slamet dikarenakan faktor cuaca & kondisi alam gunung Slamet. Memang gunung Slamet ini yang dalam aktifitasnya sebagai gunung berapi aktif tentu saja masih mengeluarkan gas beracun berbahaya. Dan inilah yang disinyalir menjadi galat satu faktor penyebab meninggalnya sekelompok pendaki gunung kalangan mahasiswa tersebut yang dari beliau sebelumnya sudah diperingatkan buat meragukan hal tersebut.
Tak hanya itu saja, menurutnya selain itu banyak jua pendaki yang tertimpa musibah di gunung Slamet tersebut lantaran kurangnya persiapan asal segi peralatan maupun pengetahuan sebagai akibatnya membuahkan mereka kurang bisa buat dapat bersahabat dalam mengakomodir suguhan tantangan dalam proses pendakian di gunung Slamet ini. Kebanyakan hilang arah kemudian tersesat kemudian lantaran mental & fisik serta logistik yang di bawa sudah terkuras sebagai akibatnya membawa mereka sendiri kedalam sebuah peristiwa yang kerap merenggut nyawa mereka.
Belum lagi cerita-cerita mistiknya yang umumnya di tiap gunung selalu muncul cerita mistik yang menyungkupinya. Tidak terkecuali gunung Slamet yang akan kami daki ini, hal yang berbau misteripun mak yang kami nir menanyakan namanya ini pun pernag mengalaminya secaa pribadi. Ceritanya ketika si mak ini mendaki gunung Slamet & mengambil gambar rekan sependakiannya. Anehnya, dikala beliau mencuci cetakkan foto tersebut beliau mendapati pundak rekannya di tumpangi oleh sosok anak mini yang memakai busana ala orang Belanda tempo dulu lengkap dengan topi lebar yang menutupi sebagian paras anak mini tersebut.
Padahal waktu si mak ini mengambil foto tersebut beliau yakin sekali nir muncul orang lain yang muncul di pundak rekannya itu, bahkan beliau sempat berulang kali mencuci foto tersebut buat meyakinkan seandainya mungkin muncul kesalahan dikala mencuci foto tersebut & ternyata hasilnya permanen sama! sosok anak mini itu permanen muncul di pundak rekannya itu
Tetapi selain asal cerita-cerita berbumbi rahasia diatas si mak ini juga berpesan buat selalu waspada & menghormati segala hal yang muncul di lebih kurang gunung yang akan didaki. Selalu menghormati kearifan lokal rakyat disekitarnya, baik itu yang menyangkut etika maupun mitos yang muncul serta selalu menjaga niat yang baik dalam proses pendakian gunung, dengan itu praktis-mudahan akan mendatangkan spirit keselamatan & kelancaran dalam proses pendakian itu sendiri. Aamiiin.
Selesai si mak ini bercerita, akhirnya kami pun melanjutkan perjalanan menuju desa Bambangan dengan menumpang tunggangan beroda empat sayuran (atas rekomendasi mak pemilik warung makan) yang umumnya tiap pagi & sore hari kerap kemudian lalang menuju & asal desa Bambangan yang melewati kawasan lebih kurang wana wisata Batu Raden.
Sungguh rakyat yang kami temui selama perjalanan menuju Gunung Slamet sangat ramah & baik responnya terhadap kami, hal itu terjadi lagi ketika tunggangan beroda empat sayuran yang kami tumpangi ban nya terperosok di tepi jalan aspal yang di bagian paling tepinya adalah tanah yang gembur. Kami berdua ikut membantu mendorong tunggangan beroda empat tersebut sebagai akibatnya bannya yang amblas didalam tanah dapat keluar, kemudian tak lama kemudian sesudah sempat transit & ikut membantu juga menurunkan isi muatan tunggangan beroda empat tersebut yang semuanya adalah sayuran milik mak-mak warga lebih kurang yang juga menumpangi tunggangan beroda empat yang sama dengan kami.
Ibu-Ibu tersebut & supir angkutan kami memanggil kami buat masuk kedalam rumah & dipersilahkan buat menikmati sajian nasi goreng khas kawasan situ yang disiapkan oleh mak pemilik sayuran tersebut. Walah sungguh suatu pengalaman yang bagus & mengesankan dapat begitu dekat & ramah berinteraksi dengan rakyat yang baru saja dikenal. Bersambung