Dunia Keris Selamat tiba kerabat perkerisan. Suka tidak suka, terkadang tanggapan sumber sebuah goresan pena terkadang artinya pahit, terlebih goresan pena yg nyeleneh. Secara eksklusif, tanggapan pahit tersebut artinya hal yg masuk akal adanya. Konsekuensi.
Ya, berbicara menggunakan orang yg tidak mengerti, bahwa dirinya tidak mengerti, memang susah. Pikirannnya serba ngusruk. Hatinya atos. Meski tidak misalnya batu, namun mirip singkong mentah. Di samping baunya langu, jika dimakan umumnya bikin puyeng. Berbeda menggunakan singkong yg sudah menjadi tape atau orang Sunda bilang piyeum lantaran proses fermentasi. Manis, bikin perut anget dan nyaman.
Lebih yummy lagi jika ngomongin sesuatu menggunakan orang yg mengerti, bahwa dirinya mengerti. Ilmu sanggup bertambah. Meski sebenarnya ilmu semakin dicari yg sudah barang tentu bertambah, akan akan tetapi umumnya malah semakin banyak yg tidak kita ketahui. Hingga dalam akhirnya kita akan menyadari ternyata ilmu kita selama ini misalnya tidak muncul apa-apanya.
Saya masih teringat betul menggunakan ujaran tokoh kebatinan Kejawen yg pernah aku datangi dikala itu. Ngelmu iku, kelakone kanthi laris. Lekase versus khas. Tegese khas nyantosani. Setyo budyo, pangekesing dur angkoro.
Kalimat dalam atas artinya keliru satu bait sumber tembang Pocung. Lebih lanjut dalam wejangan yg aku ikuti dikala itu beliau njlentrehke, bahwa setiap insan yg lahir ke global mempunyai saudara kembar siam, 4 jumlahnya. Mereka itu persis kita. Yang membedakan hanya rona dan kawasan. Abang, Ireng, Kuning, Putih itu saudara kita. Mereka menempat dalam utara, timur, selatan, dan barat.
Saudara kembar pertama bernama Amarah. Dia sahabat yg memberitahu, bahwa kita tidak sanggup hayati sendiri sebagai makhluk soliter. Kita perlu teman, kita perlu bermasyarakat. Penampakan Amarah artinya merah. Dalam rona itu muncul barah yg menghangatkan. Selama darah kita itu belum beku, tanda kita belum meninggal. Dia berkedudukan dalam kutub utara. Itu sebabnya insan Jawa yg meninggal selalu dikebumikan membujur ke utara.
Saudara kembar kedua namanya Aluamah, penampakanya hitam. Dia berada dalam arah matahari terbit. Kerjanya mendorong kita buat menjadi bagak, termasuk berani membunuh dalam dikala yg absolut, dalam berperang misalnya. Bumi artinya sifat saudara kita yg kedua. Kita tidak akan berumur panjang, tanpa makan sari-sarinya bumi.
Supiyah, itu nama saudara kembar kita yg ketiga. Penampakannya kuning, berkedudukan menghadap ke kutub utara. Dia mengakibatkan kita mempunyai kecintaan terhadap harta benda secara berlebihan. Supiyah itu mempunyai sifat udara. Seumur hayati karena itu kita terfasilitsi udara.
Saudara yg keempat artinya Mutmainah. Wujudnya putih. Dia saudara kembar kita yg memberi kekuatan istikomah. Hanya tunduk dan takut kepada Alloh SWT, tidak kepada yg lain. Wujudnya putih sebagai simbol darah putih. Dia mempunyai karakter air. Kita tidak sanggup mengingkari dalam diri kita itu muncul elemen air. Posisi Mutmainah berada dalam arah matahari terbenam. Jangan usil bertanya kenapa sebagai muslim kalau sholat musti mengahap ke barat. Itu pemikiran Jawa, yg tidak banyak diketahui sang sebagian besar orang Jawa.
Lalu nama kita sendiri siapa? Sarto, Satimo, atau Satimin atau Satimah? Bukan, kita tanpa nama, sebutan kita artinya Roh yg diberi kewajiban menghamba menggunakan empat saudara kembar kita masing-masing. Juga diberi tugas menjadi utusan, agar memperbaiki dan menjaga taman yg bernama global atau jonoloko.
Jangan keliru paham, saudara kembar itu menyatu menggunakan diri kita, tidak sanggup dihilangkan keliru satu, Itu makna paham keblat papat limo pancer. Kita artinya Sang Pancer yg harus mengharmonisasikan semua kekuatan itu. Lantas apa hubungannya antara tembang Pucung dalam atas menggunakan keblat papat limo pancer? Nek ini rodo angel.
Wedaran pinisepuh itu aku graito (renungkan) berulang-ulang. Paparannya relatif gamblang. Menjadi memahami, kalau aku yg anak kedua sumber tiga bersaudara ini ternyata punya saudara kembar empat, seayah seibu. Semakin aku dalami semakin membentuk aku bertanya-tanya.
Dalam tembang Pucung yg satu pupuh terdiri sumber 5 baris itu tersimpan ilmu luar biasa dahsyat. Ada teman pemerhati Kejawen yg menganalisis secara jarwo dosok. Ilmu, kata teman aku ini, mustahil kalau belum ketemu. Pucung itu pelajaran meninggal rasa, meninggal sak jeroning urip. Boleh jua itu dikatakan perang. Coba perhatikan, akhir tembang Pucung berbunyi setya budya pangekesing dur angkara.
Mati sak jeroning urip kok diklaim perang? Barangkali pertayaan ini jua mampir dipikiran sampeyan toh. Begini kisanak, saudara kembar empat itu kan tenaga yg dihentikan ditiadakan. Perang berarti harus membunuh mereka, membunuh Amarah, Aluamah, Supiyah dan Mutmainah.
Jangan dimaknai sempit atau keliru tafsir dulu kisanak. Perang yg aku maksud diatas jangan selalu diartikan membunuh. Menaklukkan itu kan merupakan esensi perang. Aluamah artinya Sang Pemberani. Dia sanggup jua diklaim Sang Penakluk. Sementara Supiyah artinya sosok ketamakaan terhadap segala hal yg bersifat duniawi.
Sebagai Roh, kita harus memanfaatkan tenaga Aluamah buat mengurangi ketamaan terhadap harta benda. Ingat kita jua punya tenaga Amarah yg dalam dalamya muncul barah kehidupan yg menyala tanpa disulut. Memanfaatkan tenaga Aluamah secara bersamaan menggunakan tenaga Amarah mengendalikan Supiyah inilah yg aku maksud makna perang atau meninggal sak jeroning urip.
Sekedar buat penambahan yg harus dipahami dalam sini, penaklukan Supiyah sang Aluamah dan Amarah itu demi keseimbangan atau keselarasan menuju Mutmainah. Dengan kata lain, kita sebagai Roh harus menang dalam mengola tenaga empat problem. Roh yg berhasil mengelola tenaga empat problem itulah yg diklaim Roh yg mempunyai Cahaya. Dalam konsep Kejawen diklaim manunggaling kawulo lan Gusti. Dan Cahaya yg berada dalam diri kita itu tidak lain artinya Sang Pemberi Hidup, Gusti Alloh SWT. Tuhan berada dalam diri kita merupakan terjemahan bebas sumber konsep ngelmu iku kelakone kanthi laris. Kita tidak bakal mempunyai cahaya tanpa nglakoni perang. Nuwun.