Dunia Keris Piye kabare ndaaaa! Begitulah sapaan keakraban anak muda Tuban. Jujur memang harus diakui, memperbincangkan kota yang sejatinya tua ini lebih banyak kita dapatkan dari foklor daripada yang telah tersusun dalam lembaran referentif.
Namun demikian, jikalau kita menelisik labih jauh di kota tua yang banyak julukan ini, terdapat aneka macam bukti bukti sejarah silam akan kebesaran kota yang cukup panas ini. Sejarah dalam bingkai relijius, nasionalisme, bahkan kedigdayaan Nusantara masa silam.
Alun-alun merupakan identitas kota Tuban dimasa lampau. Dari kehadiran alun-alun serta bangunan yang terdapat disekitarnya, kita bisa melihat kembali sejarah masa lalu kotanya. Pengaruh kerajaan antik Hindu Jawa (alun-alun, tempat kerja Kabupaten), impak jaringan perdagangan Asia (kelenteng & Pecinan), impak jaringan perdagangan Asia lainnya dengan masuknya agama Islam (mesjid & makam Sunan Bonang), serta impak birokrasi kolonial (tempat kerja pengadilan, penjara, tempat kerja pos & sebagainya), semuanya merupakan bukti perjalanan sejarah kotanya dimasa lampau.
Sebagai sebuah kota pelabuhan antik di pesisir Utara Jawa, Tuban pernah mengalami pasang surut. Pada abad ke 15, kota ini pernah menjadi salah satu pelabuhan paling vital kerajaan Majapahit. Tapi pada abad ke 17, kotanya mengalami keterpurukan dampak pelabuhannya yang mengalami pendangkalan serta pencaplokan kerajaan Mataram. Pada masa kolonial, Tuban menjadi sebuah kota Kabupaten kecil yang kurang berarti. Tapi alun-alun Tuban (salah satu alun-alun yang terluas di Jawa) tetap berdiri sebagai sisa-sisa kemegahan kotanya dimasa lampau. Kini, kota tua yang bayak julukan ini sedang menapaki jati diri kotanya.
Mengetahui sejarah Tuban belum lengkap tanpa mengetahui nama-nama bupati yang pernah memimpin Kabupaten Tuban. Periode kepemimpinan di Kabupaten Tuban dapat dikelompokkan menjadi dua periode yaitu sebelum kemerdekaan & setelah kemerdekaan. Khusus pada tulisan kali ini aku aku hanya akan membagikan periode yang pertama, yakni periode sebelum kemerdekaan.
Bupati ke-1: Arya Dandang Wacana Sepeninggal ayahnya, Arya Dandang Wacana segera melaksanakan wasiat itu. Beliau diikuti oleh para prajurit & rakyatnya yang setia meninggalkan Lumajang. Mereka bekerja keras membuka hutan Papringan yang membentang dari lereng perbukitan hingga ke tepi pantai utara Pulau Jawa. Setelah berhasil, tempat itu diberi nama Tuban karena di daerah itu banyak sumber air.
Jadi nama Tuban tersebut berasal dari kata = metu banyu = tubanyu = Tuban). Dari hari kehari hutan Papringan yang telah berubah menjadi Tuban itu semakin ramai saja sehingga terbentuklah sebuah kabupaten. Arya Dandang Wacana sendiri menorehkan nama sebagai adipati pertama di Kadipaten Tuban dengan gelar Kyai Ageng Papringan. Setelah menjadi adipati selama tiga tahun kemudian mendirikan pesanggrahan yang di sekitarnya terdapat sungai & sendang. Di sekitar sendang banyak ditumbuhi pohon akbar, sehingga udaranya sangat sejuk. Pesanggrahan tersebut diberi nama Bekti.
Nama Bekti diambil dari kata pangabekti, karena pada waktu Raden Dandang wacana sedang beristirahat di tempat itu, rakyat datang berduyun-duyun untuk menunjukkan rasa pengabdian kepada junjungannya (sowan ngabekti). Bekas pesanggrahan tersebut sekarang menjadi Desa Bektiharjo. Kyai Gedhe Papringan menjadi adipati Tuban selama 30 tahun kemudian meninggal & dimakamkan di Kali Gunting, Desa Prunggahan, Kecamatan Semanding.
Bupati ke-2: Raden Haryo Ronggolawe Adipati Tuban pertama, Kyai Gedhe Papringan dikaruniai dua putri yaitu Nyai Ageng Lanang Jaya & Nyai Ageng Ngesa. Perkawinan antara Nyai Ageng Lanang Jaya & Arya Wiraraja dikarunia seorang putra bernama Raden Haryo Ronggolawe. Raden Haryo Ronggolawe dilantik sebagai adipati Tuban pada tahun 1215 Saka atau 12 Nopember 1293, bersamaan dengan penobatan Raden Wijaya sebagai raja Majapahit. Peristiwa inilah yang kemudian dijadikan titik tumpu untuk menetapkan hari jadi Kota Tuban.
Sejarah telah mencatat bahwa ketidakpuasan Raden Haryo Ronggolawe atas putusan Raden Wijaya yang melantik Nambi sebagai Patih Amangkubumi memantik terjadinya pertumpahan darah di Sungai Tambak Beras. Penegakan keadilan dengan cara Raden Haryo Ronggolawe tersebut, mengakibatkan dirinya gugur di medan pertempuran. Menurut Suwardjan & Siti Alfiah (1987:18) Beliau wafat pada tahun 1217 Saka atau 1295 M.
Bupati ke-tiga: Raden Sirolawe Serat Dhamarwulan (Hikayat Tanah Jawa) menandakan bahwa Raden Haryo Ronggolawe memiliki dua orang putra: 1. Raden Buntaran & 2. Raden Watangan. Padahal di dalam serat Babad Tuban diterangkan bahwa putra Ronggolawe hanya semata wayang bernama Raden Sirolawe, beliau inilah yang menggantikan ayahanda sebagai adipati Tuban. Mungkin karena sesuai etika garis keturunan, putra tertualah yang berhak menjadi adipati (penguasa). Bisa jadi Raden Buntaran merupakan Raden Sirolawe yang menjalankan pemerintahan hingga 15 tahun hingga meninggal global.
Bupati ke-4: Raden Haryo Sirowenang Sepeninggal Raden Sirolawe yang menggantikan sebagai adipati merupakan puteranya bernama Raden Haryo Sirowenang. Lama pemerintahannya 43 tahun.
Bupati ke-5: Raden Haryo Lena Adipati Tuban ke-5 merupakan Raden Haryo Lena, putera Raden Haryo Sirowenang. Lama pemerintahannya 52 tahun.
Bupati ke-6: Raden Haryo Dikara Raden Haryo Dikara menggantikan ayahnya, Raden Haryo Lena. Lama pemerintahannya 18 tahun. Adipati ke-6 ini dikarunia dua putrera yaitu Raden Ayu Haryo Tedjo & Kyai Ageng Ngraseh. Raden Ayu Aryo Tedjo diperistri oleh Syeh Ngabdurrahman, putra Syeh Ngali = Syeh Jalaludin ( Kyai Makam Dowo).
Bupati ke-7: Raden Haryo Tedjo Pengganti Raden Haryo Dikara merupakan menantunya (suami Raden Ayu Haryo Tedjo) yaitu Syeh Ngabdurachman, putera Syeh Djalaludin dari Gresik. Setelah menjabat adipati ke-7, Syeh Ngabdurachman bergelar Raden Haryo Tedjo. Lama pemerintahannya 41 tahun.
Bupati ke-8: Raden Haryo Wilatikta Sepeninggal Raden Haryo Tedjo, penggantinya merupakan puteranya bernama Raden Haryo Wilatikta. Lama pemerintahan Raden Harya Wilatikta 40 tahun. Pada masa pemerintahannya, terdapat sesuatu yang patut menjadi bahan diskusi ihwal sosok Raden Haryo Wilatikta ini. Suwardjan & Siti Alfiah (1987:19) dengan merujuk keterangan Tome Pires ketika berkunjung ke Tuban menuliskan, Keluarga rajanya sekalipun beragama Islam, sejak pertengahan abad ke-15 tetap mengadakan hubungan baik dengan maharaja Majapahit di pedalaman. Sebagian penduduk kota Tuban pada jaman itu masih kafir (belum masuk Islam, red.). Menurut musafir itu, raja Tuban pada waktu itu disebut Pate Vira. Ia bukan seorang Islam yang taat meskipun kakaknya masuk Islam. Selanjutnya Suwardjan & Siti Alfiah menyebutkan bahwa kata Vira kita kenal dengan kata Wira, yang sering menjadi bagian dari nama Jawa. Tetapi, dapat juga Vira dihubungkan dengan Wilatikta. Jika itu benar Wilatikta, maka perlu kita bertanya, mengapa putra seorang ulama akbar Syeh Ngabdurrachman yang bergelar Raden Haryo Tedjo menjadi seorang muslim yang tidak taat? Pada bagian lain Suwardjan & Siti Alfiah (1987:20) dengan mengutip pendapat H.J. de Graaf mengemukakan, bahwa sulit dibayangkan bagaimana bisa terjadi Aria dari Tuban yang beragama Islam itu, sebagai pejabat terkemuka di wilayah kerajaan Majapahit yang sebagian akbar belum memeluk agama Islam. Keberatan ini tampaknya cukup beralasan karena setiap tahun pada waktu yang ditetapkan, adipati Tuban harus tinggal untuk beberapa lama di Majapahit & tidak mungkin membebaskan diri dari upacara-upacara ritual non-Islam. Upacara-upacara itu merupakan bagian dari politik Kerajaan Majapahit. Tampaknya, Wilatikta merupakan abdi yang lebih setia kepada rajanya daripada kepada agamanya. Sangat masuk akal jikalau perbedaan paham ini hingga membuat putranya yaitu Raden Said meninggalkan Tuban untuk tinggal di Demak. Suwardjan & Siti Alfiah (1987:20) mempertegas, Jelas antara R. Harya Wilatikta & R. Sahid terdapat pertentangan akbar. Analisis ini diperkuat dengan kondisi objektif di Makam Sunan Bonang. Sebelah kiri Makam Sunan Bonang antara lain bersemayam Kyai Ageng Ngraseh & Pangeran Balewot. Sedangkan di sebelah kanan bersemayam Kyai Ageng Botobang & Kyai Ageng Gegilang. Lalu, di manakah makam Raden Harya Wilatikta? Raden Harya Wilatikta dimakamkan di bagian pelataran makam induk Sunan Bonang & keempat tokoh Tuban yang dipercaya dekat dengannya. Jadi, dapat diterima keempat bupati yang dimakamkan dengan Sunan Bonang di atas merupakan para bupati yang masih erat dengan impak para wali khususnya Sunang Bonang (Suwardjan & Siti Alfiah,1987:21).
Bupati ke-9: Kyai Ageng Ngraseh Pengganti Raden Haryo Wilatikta merupakan menantunya yaitu Kyai Ageng Ngraseh yang juga putera adipati ke-6, Raden Haryo Dikara. Lama pemerintahannya 40 tahun.
Bupati ke-10: Kyai Ageng Gegilang Sepeninggal Kyai Ageng Ngraseh, jabatan adipati Tuban digantikan oleh puteranya bernama Kyai Ageng Gegilang. Lama pemerintahannya 38 tahun.
Bupati ke-11: Kyai Ageng Batabang Pengganti Kyai Ageng Gegilang merupakan Kyai Ageng Batabang. Lama pemerintahannya 14 tahun.
Bupati ke-12: Raden Haryo Balewot Adipati Tuban ke-12 merupakan putera Kyai Ageng Batabang bernama Raden Haryo Balewot. Beliau dikaruniai dua putera yaitu Pangeran Sekartandjung & Pangeran Ngangsar. Lama pemerintahannya 56 tahun.
Bupati ke-13: Pangeran Sekartandjung Raden Haryo Balewot kemudian digantikan putera sulungnya bernama Pangeran Sekartandjung. Adipati ke-13 ini mengalami nasib tragis karena meninggal di tangan saudara kandungnya yaitu Pangeran Ngangsar. Pada waktu Pangeran Sekar Tanjung Sholat Jumat di masjid dalam posisi rukuk Pangeran Sekar Tanjung ditikam dari belakang oleh adiknya sendiri yaitu Pangeran Ngangsar. Pangeran Ngangsar dalam mimpinya mendapat wasiat maka dengan senjata keris yang bernama Kyai Layon ditikamlah Pangeran Sekar Tanjung. Pangeran Sekar Tanjung menjadi adipati selama 22 tahun. Pangeran Sekartandjung dikarunia dua putera yaitu Pangeran Haryo Permalat & Haryo Salempe. Namun, pada waktu ayahnya meninggal global keduanya masih kecil/ masih muda.
Bupati ke-14: Pangeran Ngangsar Setelah berhasil membunuh saudaranya, Pangeran Ngangsar menjadi adipati Tuban ke-14. Lama pemerintahannya hanya 7 tahun.
Bupati ke-15: Pangeran Haryo Permalat Sepeninggal Pangeran Ngangsar, penggantinya merupakan Pangeran Haryo Permalat. Adipati Tuban ke-15 ini merupakan menantu Sultan Pajang, Raden Djaka Tingkir. Pangeran Haryo Permalat memang berseteru dengan Penguasa Mataram yaitu Panembahan Senapati. Selama pemerintahannya, Tuban pernah diserang oleh Mataram yaitu pada tahun 1598 & 1599. Namun, serangan-serangan Mataram itu gagal karena Tuban pada waktu itu memiliki pertahanan sangat kuat. Lama pemerintahannya 38 tahun. Beliau memiliki seorang putera bernama Pangeran Dalem.
Bupati ke-16: Haryo Salempe Ketika Pangeran Haryo Permalat mangkat, yang menggantikannya merupakan Haryo Salempe yang juga putera dari adipati ke-13. Hal ini disebabkan, Pangeran Dalem masih kecil. Lama pemerintahannya 38 tahun.
Bupati ke-17: Pangeran Dalem (1614-1619) Berakhirnya pemerintahan Adipati Haryo Salempe, yang menggantikannya merupakan Pangeran Dalem. Pada tahun 1619, Tuban diserang oleh Mataram. Terjadi pertempuran sengit yang mengakibatkan Benteng Kumbakarna jatuh ke tangan musuh. Siasat infiltrasi kekuatan Mataram ke dalam tubuh pemerintahan Tuban berbuah kemenangan Mataram atas Tuban. Hal ini mengakibatkan Pangeran Dalem harus menyingkir ke Bawean. Istri Pangeran Dalem bernama Kumalarena juga meninggal di Bawean. Sepeninggal istrinya, Pangeran Dalem menuju ke Rajekwesi, Bojonegoro hingga mangkat & dimakamkan di Kadipaten, Bojonegoro. Mengapa Pangeran Dalem justru menuju ke Bojonegoro yang begitu dekat dengan Tuban? Ternyata salah satu alasan yang masuk akal merupakan karena Pangeran Dalem memiliki saudara bernama R. Ayu Djamus yang sangat berpengaruh di Bedander, Bojonegoro. Makam Buyut Dalem berada di dalam sebuah cungkup yang terawat dengan baik. Namun, di samping makam utama tersebut bersemayam pula seorang tokoh perempuan pujaan hati Buyut Dalem bernama Srihuning yang mendapat julukan Mustika Tuban karena semangatnya labuh tresna sabaya pati. Bersumber dari keterangan pihak Dinas Pariwisata Kabupaten Bojonegoro & dua orang juru kunci makam Buyut Dalem, Di makam ini selalu diadakan semacam sedekah bumi yaitu jatuh pada setiap hari Rabu Wage, bulan September. Kegiatan ritual ini diawali pada hari Rabu Pahing dengan mayu alang-alang yaitu mengganti atap cungkup yang terbuat dari alang-alang. Selain itu juga dilakukan penggantian pasir yang terdapat di dalam makam. Di dalam buku Kumpulan Cerita Rakyat Daerah Bojonegoro (2003:20) dijelaskan: Payon cungkup saka makam Pangeran Dalem saben tahun ajeg didandani (saka alang-alang), nanging sing ngerjakake sawijinging nom-noman lan kudu kramas dhisik. Sing ngresiki platarane kudu tandhak, nanging ora oleh diganggu. Artinya: Atap cungkup dari makam Pangeran Dalem setiap tahun selalu diganti baru (dari alang-alang), namun yang mengerjakan merupakan seorang pemuda & harus keramas terlebih dahulu. Yang membersihakan pelatarannya harus seorang tandak, akan tetapi dia dilarang diganggu. Kegiatan ritual utama jatuh pada hari Rabu Wage. Kegiatan yang dilakukan merupakan sedekah bumi dengan menggelar uyon-uyon & langen tayub di sekitar makam.
Bupati ke-18: Pangeran Podjok Terusirnya Pangeran Dalem dari singgasana Kadipaten Tuban menandai pergantian garis keturunan penguasa Tuban yakni dari garis keturunan Kyai Ageng Papringan ke tangan garis keturunan Mataram. Siapa sebenarnya Pangeran Podjok itu? Menurut H. Abdul Sarpin, Ketua Yayasan Sunan Podjok, Pangeran Podjok menurut Mbah Sabib, Menganti, Bugel, Jepara memiliki nama kecil Benun. Ia juga dikenal dengan nama Syekh Abdul Rachim. Setelah meninggal baru dijuluki dengan nama Pangeran Podjok. Alasannya karena meninggal di Desa Podjok, Blora. Gatot Pranoto, S.E., ketua Yayasan Mahameru yang juga tokoh sejarawan Blora dengan merujuk Babad Mentawis menandakan bahwa pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645) memiliki semacam skala prioritas antara lain Kadipaten Tuban yang selama ini menjadi batu ganjalan bagi Mataram harus segera ditakhlukkan. Oleh karenanya, Sultan Agung mengeluarkan Kekancing (semacam surat perintah tugas) kepada Benun yang saat itu menjabat sebagai Surobahu; setingkat dengan tumenggung. Inti dari Kekancing itu merupakan tugas untuk memadamkan pemberontakan Tuban. Misi dari Surobahu Abdul Rachim ternyata berhasil dengan baik (1619). Pergantian penguasa di Tuban ini tentunya menempatkan Surobahu Abdul Rachim untuk menjaga stabilitas Tuban. Adipati Tuban ke-18 ini menjalankan tugasnya 42 tahun. Menurut R. Soeparmo (1972:85) Pada hari grebeg maulud tahun Dal semua bupati di seluruh tanah Jawa datang ke Mataram untuk menghadap Sri Sultan. Demikian pula halnya dengan bupati Pangeran Podjok. Tetapi ketika perjalanan beliau menuju Mataram hingga Blora, beliau mendadak sakit & mangkat di situ juga. Menurut Asmoengin TA., Kasi Kebudayaan Departemen Pendidikan & Kebudayaan Kabupaten Blora (1982:25) Pangeran Surobahu Abdul Rachim merupakan perwira dari Mataram yang berhasil memadamkan kerusuhan di pesisir utara (Tuban). Sepulang dari Tuban di perjalanan jatuh sakit & meninggal global di Desa Pojok (Blora). Oleh putranya dipindahkan di tempat yang sekarang. Pada waktu berziarah ke makam tersebut, tim penggali sejarah mendapatkan fakta bahwa di kompleks Makam Gedong/Pagedongan yang terletak di Kauman, sebelah selatan alun-alun Kota Blora bersemayam antara lain: 1. Pangeran Surobahu Abdul Rachim, 2. Pangeran Joyodipo (putra Pangeran Surobahu Abdul Rachim yang juga Bupati Blora I), tiga. Joyodiwiryo (adipati Blora), 4. Pangeran Joyokusuma (adipati Blora), Istri Pangeran Joyokusuma & kerabat kadipaten lainnya.
Bupati ke-19: Pangeran Anom Setelah Pangeran Podjok meninggal, yang menggantikan merupakan adiknya bernama Pangeran Anom. Lama pemerintahannya 12 tahun. Beliau diberhentikan dari jabatan adipati Tuban atas perintah Sultan Agung Mataram. Menurut R. Soeparmo (1972:84) di Kabupaten Tuban sementara waktu waktu jabatan bupati ditiadakan. Konsekuensinya, Tuban diberikan semacam perwakilan yang disebut dengan istilah Umbul (setingkat kademangan) sebanyak empat orang yaitu: 1) Umbul Wongsoprodjo yang ditempatkan di Jenu 2) Umbul Wongsohito yang ditempatkan di Gesikharjo (Palang) tiga) Umbul Wongsotjokro yang ditempatkan di Kidul Ngardi (Sebelah selatan gunung = Rengel) 4) Umbul Joedoputro yang ditempatkan di Singgahan.
Bupati ke-20: Arya Balabar Adipati Tuban ke-20 merupakan Arya Balabar atau Arya Blender yang juga berasal dari keturunan Mataram. Lama pemerintahannya 39 tahun. Salah satu yang dilakukan pada waktu memerintah di Tuban merupakan membuat masjid terletak sebelah barat makam Sunan Bonang.
Bupati ke-21: Pangeran Soedjonopuro Setelah Pangeran Arya Balabar mangkat, penggantinya merupakan Pangeran Soedjonopuro yang semula menjabat Bupati Japanan (Mojokerto). Lama pemerintahannya 10 tahun hingga beliau wafat.
Bupati ke-22: Pangeran Joedonegoro Pengganti Pangeran Soedjonopuro merupakan puteranya yaitu Pangeran Joedonegoro. Lama pemerintahannya 15 tahun.
Bupati ke-23: Raden Arya Surodiningrat Pangeran Joedonegoro setelah wafat yang menggantikan menjadi Bupati merupakan Raden Aryo Surodiningrat yang berasal dari Pekalongan. Pada waktu memerintah, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh R. Arya Diposono. Pemberontakan ini dibantu oleh orang Madura bernama Kyai Mangundjojo. Raden Aryo Surodiningrat tewas dalam peperangan. Lama pemerintahannya 12 tahun.
Bupati ke-24: Raden Aryo Diposono Raden Arya Surodiningrat yang gugur di medan pertempuran melawan pemberontak, akhirnya digantikan oleh Raden Aryo Diposono. Tercatat dalam sejarah, waktu memegang pemerintahan terjadi pertempuran dengan orang-orang Madura yang dahulu mendukungnya. Pertempuran itu terjadi di Desa Singkul atau Sedayu. Raden Aryo Diposono juga gugur dalam medan pertempuran. Lama pemerintahannya 16 tahun.
Bupati ke-25: Kyai Reksonegoro Jabatan adipati Tuban berikutnya digantikan oleh Patih Kyai Reksonegoro. Setelah menjabat adipati bergelar Kyai Tumenggung Tjokronegoro. R. Soeparmo (1972:86) memberikan penjelasan bahwa pada tahun 1773 Gubernur Van der Burgh mengusulkan kepada Sultan Agung Mataram agar bupati Tuban dipecat karena kebijakan pemerintahannya memberatkan penduduk & tidak dapat memenuhi tugasnya yaitu membayar upeti kepada Belanda. Lama pemerintahan Kyai Tumenggung Tjokronegoro 47 tahun.
Bupati ke-26: Kyai Poerwonegoro Sepeninggal Kyai Reksonegoro, penggantinya merupakan puteranya yaitu Kyai Poerwonegoro. Setelah memerintah selama 24 tahun, beliau menderita sakit & merogoh perlop atau cuti. Oleh karenanya, beliau terkenal dengan sebutan Bupati Perlop.
Bupati ke-27: Kyai Lieder Soerodinegoro Pengganti Kyai Poerwonegoro merupakan Kyai Lieder Soerodinegoro. Lama pemerintahannya hanya tiga tahun.
Bupati ke-28: Raden Poerjoadiwidjojo Setelah Kyai Lieder Soerodinegoro mangkat, yang menggantikan sebagai adipati Tuban merupakan puteranya Raden Poerjoadiwidjojo atau Raden Tumenggung Soerojodinegoro . Lama pemerintahannya 12 tahun. Setelah itu beliau berhenti dari jabatan bupati.
Bupati ke-29: Pangeran Tjitrosomo VI (1800-1836) Ketika Raden Poerjoadiwidjojo berhenti dari jabatan adipati Tuban yang menggantikan merupakan Pangeran Tjitrosomo VI dari Jepara. Tim penggali sejarah mendapatkan kesempatan untuk melacak silsilah Pangeran Tjitrosomo di Jepara. Atas kontribusi Dinas Pariwisata & Dinas Pendidikan Kabupaten Jepara, tim penggali berhasil bertemu dengan salah satu keturunan Tjitrosomo. Beliau bernama Raden Moeh Akrom Wijanarko yang tinggal di Purwogondo, Kecamatan Pecangakan, Jepara. Bukti bahwa beliau keturunan Tjitrosomo merupakan dengan diperolehnya Piagam Mangkunegaran, Surakarta tertanggal 13 Juni 1988. Bersumber dari data koleksi pribadi yang dibukukan dalam Silsilah Citrosoman inilah tim penggali sejarah mendapatkan sumber yang sangat berharga. Siapakah sebenarnya Pangeran Tjitrosomo VI itu? Pangeran Tjitrosomo VI merupakan putra ke-8 dari R.M.A.A. Citrosomo V, Bupati Jepara yang semula menjadi bupati di Kudus dengan nama & gelar R.M.A.A. Mangkuwidjojo. Nama asli dari Tjitrosomo VI merupakan R.M.Ng. Notowidjoyo I. Sepeninggal ayahnya, beliau menggantikan kedudukan sebagai adipati Jepara. Beliau kemudian ditugaskan untuk menjadi adipati Tuban. Jasanya selama memerintah di Tuban merupakan membangun rumah kabupaten pada tahun 1821 yang menjadi tempat kediaman bupati hingga sekarang. Setelah memerintah selama 6 tahun, beliau dipindahkan ke Lasem. Masa pemerintahannya di Lasem berjalan tiga tahun & akhirnya kembali menjadi adipati Jepara dalam masa Perang Diponegoro (1825-1850). Pada makam beliau yang terletak di Desa Sendang, Kecamatan Kalinyamatan, Jepara tertulis masa pemerintahannya di Jepara yaitu tahun 1800-1836.