Pada edisi tulisan napak tilas ini aku ingin mengajak kerabat perkerisan mengunjungi Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Di sana disamping kita bisa melihat kemegahanIstana Sultan Kutaiterletak pada Tenggarong, bunda kota kabupaten Kutai Kartanegara. Namun, pada kesempatan ini aku akan mengajak ke loka sejarah yang lain, yakni; Makam Kelambu Kuning. Sayangnya ketika aku berkunjung ke Tenggarong 2 tahun yang kemudian tidak sempat menyaksikan Festival Erau meski hanya tinggal beberapa hari kedepan.
Seperti pada umumnya, hampir pada setiap sejarah kesultanan pada Indonesia didalamnya terdapat peran vital ulama,mereka berperan bukan saja sebagai pengajar ilmu ilmu agama,melainkan juga berpengaruh bertenaga menunjukkan masukan kepada penguasa atas kebijakan yang akan dikeluarkan demi kemaslahatan umat, fatwa & masukan ulama itu didengar oleh para sultan, untuk kemudian dijadikan acuan umum yang mendasari kebijakan sultan dalam menjalankan roda pemerintahan,tidak sporadis kedekatan itu berlanjut pada interaksi pertalian pernikahan diantara mereka.
Kesultanan Kutai Kartanegara pada masa pemerintahan Aji Sultan Alimuddin (1899-1910)tersebutlah seorang ulama yang menjadi Mufti dikesultanan & banyak mendampingi sultan pada masa itu,dikemudian hari ulama tersebut Habib Muhammad bin Yahya lebih dikenal dengan gelar yang disematkan sultan kepadanya yaitu Pangeran Noto Igomo.
Habib Muhammad bin Yahya adalah seorang wulaiti yang artinya beliau kelahiran Hadhralmaut Yaman Selatan,meskipun keluarga Habib Muhammad ada pada Indonesia,ia & kakaknya Habib Thaha bin Ali bin Yahya dilahirkan pada kota Masilah Hadhralmaut, beliau dilahirkan tahun 1260 H/1844 M.ayah dari kakeknya Habib Thaha bin Muhammad bin Yahya adalah leluhurnya yang pertama kali masuk ke Nusantara, Habib Thaha ini belajar ilmu agama kepada ayahnya sendiri yang sangat alim yaitu Habib Muhammad Al-Qadhi bin Thaha bin Yahya yang seorang Qadhi pada Hadhralmaut.
Ia pertama kali masuk Indonesia melalui Pulau Penang Malaysia,sewaktu pada Penang beliau dikenal dengan As-Sayyid Ath-Thahir,pada ketika dipenang inilah beliau bertemu dengan Sultan Hamengkubuwono II (1750-1828) yang diasingkan Belanda,Sultan pun memanfaatkan kesempatan ini dengan mengaji kepada beliau,dikemudian hari ia menikahkan putrinya dengan Habib Thaha ini,Habib Thaha wafat pada kota Semarang Jawa Tengah,sedangkan Habib Ali bin Hasan bin Thaha bin Muhammad Al-Qadhi bin Thaha bin yahya ayah dari Habib Muhammad ini wafat pada Ar-Raidhah Hadhralmaut tahun 1292 H/1875 M.
Keluarga Habib Muhammad bin Yahya ini dari pihak nenek berasal dari keluarga Alaydrus Al-Ar-Raidhah sedangkan ibunya Syarifah dari keluarga Bin Thahir dari Masilah Hadhralmaut.setelah beranjak dewasa ia bermaksud pergi ke Nusantara demi menyusul paman dari pihak ibunya yaitu Habib Abu Bakar Bin Thahir yang berada pada Batavia & menemui saudara sepupunya yaitu Habib Abdullah bin ali bin Abdurrahman bin Thahir yang berada pada Ambon.
Dalam perjalanan dari Masilah Hadramaut ke Indonesia beliau melewati kota Aden melalui kota Tarim,ia bermalam disebuah rumah yang pemiliknya menginap penyakit kusta,pemilik rumah tersebut diobati oleh beliau & dengan perkenan Allah ia pun sembuh dari penyakitnya,sebagai ungkapan rasa syukur & rasa hormat kepada Habib Muhammad beliaupun akhirnya dinikahkan dengan anaknya sekalipun ia memahami bahwa Habib Muhammad hanya singgah untuk sementara kemudian meneruskan perjalanannya ke Indonesia,dalam perkawinan ini beliau tidak memperoleh keturunan.
Habib Muhammad adalah seorang yang sangat tekun dalam menuntut ilmu & selalu menyempatkan diri belajar dengan para pengajar sepanjang perjalanannya yang memakan waktu panjang,ia sangat berhati hati didalam memelihara kehormatan dirinya sinkron dengan tuntunan Allah & Rasulnya,sikapnya ini tetap terjaga hingga akhir hayatnya.
Setelah bertemu dengan pamannya pada Jakarta beliau melanjutkan perjalanan ke Surabaya disini beliau menimba ilmu dengan habib Syaikh bin Ahmad Bafaqih Boto-putih,pada Surabaya beliau menikah & mempunyai anak perempuan yang diberi nama Syarifah fathmah yang mana setelah dewasa dinikahkan dengan putra saudaranya yaitu Habib Umar bin Thaha bin Ali bin Yahya yang berjuluk Habib Umar Kendi ,selanjutnya beliau melanjutkan perjalanannya ke Ambon menemui saudara sepupunya yaitu Habib Abdullah bin Ali bin Abdurrahman Bin Thahir,disini beliau menikah lagi dengan seorang gadis bernama Sangaji & mempunyai anak yang bernama Habib Ali bin Muhammad Bin Yahya,kemudian beliau kembali ke Surabaya & kemudian beliau melanjutkan perjalanan ke Tenggarong Kalimantan Timur hingga akhir hayatnya,pada ketika ke Tenggarong lebih kurang tahun 1877 ketika itu usia beliau 33 tahun.
Saat hingga pada Tenggarong beliau sudah dikenal sebagai seorang ulama,ia kemudian diminta oleh Sultan Kutai Kartanegara yaitu Sultan Alimuddin untuk mengobati putrinya yang sedang sakit alhamdulillah dengan izin Allah SWT sang putri sembuh.dengan penuh rasa syukur & senang hati Sultan Aji Alimuddin kemudian menikahkan putrinya tersebut dengan Habib Muhammad,putri tersebut bernama Aji Aisyah dengan gelar Aji Raden Resminingpuri (Aji Aisyah ini saudara tertua dari Sultan Kerajaan Kutai yang terakhir yaitu Aji Sultan Muhammad Parikesit),dari perkawinan ini beliau mempunyai 10 orang anak enam laki laki empat perempuan.
Di Kerajaan kutai Habib Muhammad diberi jabatan penghulu,yang berwenang dalam pengaturan yang berkenaan dengan urusan urusan keagamaan,awalnya Sultan memberi gelar Raden Syarief Penghulu dikemudian hari ia mendapat gelar Pangeran Noto Igomo semacam Mufti yang mengeluarkan fatwa fatwa agama atas berbagai permasalahan yang ada.
Sewaktu pada Kalimantan inilah beliau bertemu kembali dengan sahabat beliau waktu pada Hadhralmaut yaitu Habib Alwi bin Abdullah Al-Habsy yang tinggal pada Barabai Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan,walaupun tinggal didaerah berbeda & jarak cukup jauh persahabatan mereka terjalin dengan bertenaga,diceritakan semenjak pada Hadhralmaut Habib Alwi mengakui kedalaman ilmu Habib Muhammad,keduanya juga bahu membahu menyebarkan agama Islam pada Kalimantan,pada ketika Habib Alwi membangun Pasar Batu Habib Muhammad mengirimkan bantuan berupa semen & batu,Pasar Batu adalah bangunan beton pertama pada Hulu Sungai yang adalah loka pasar getah (karet) diparuh pertama abad kemudian.
Habib Muhammad bin husain Ba'bud Lawang Jawa Timur pernah memberi kan ijazah doa yang didapatnya dari Habib Alwi bin Abdullah Al-Habsy Barabai,Habib Alwi mendapatkannya dari Habib Muhammad bin Ali Bin Yahya tenggarong & Habib Muhammad mendapatkan ijazah ini dari gurunya Habib Syaikh bin Ahmad Bafaqih Botoputih Surabaya.
Suatu hari dimasa pendudukan jepang,Habib Qasim Baragbah dari Samarinda berkunjung ketempat Habib Muhammad bin Yahya,beliau menginap satu malam,dalam perbincangan ketika itu Habib Muhammad menanyakan kapan Habib Qasim kembali ke Samarinda,"besok ya Habib "jawab habib Qasim,mendengar jawaban Habib Qasim ,beliau termenung beberapa ketika & sepertinya beliau kurang berkenan dengan kepulangan Habib Qasim pada besok hari, habib Qasim pun menanyakan ada apa yang berakibat Habib Muhammad murung pada ketika itu, beliau kemudian mengatakan bahwa beliau mendapat isyarat seakan ia berada disebuah perahu diatas kota Samarina yang pada ketika itu gelap gulita, menurut Habib Muhammad itu pertanda kurang baik.
Habib Qasim sepertinya mempunyai keperluan yang vital sehingga ia tetap berketetapan hati untuk pulang,Habib Muhammad kemudian berpesan supaya Habib Qasim untuk hati hati dalam perjalanan,ternyata sekembali Habib Qasim ke Samarinda,penduduk Samarinda sedang mengalami kepanikan yang luar biasa karena pada ketika itu adaserangan dasyat dari tentara Sekutu.
Tahun 1945 Habib Qasim Baragbah datang lagi ketempat beliau,ketika itulah beliau mengatakan bahwa Insya Allah pendudukan tentara Jepang akan berakhir pada bulan puasa bertepatan dengan bulan Agustus 1945,benar saja pada tanggal 14 Agustus 1945 tentara Jepang akhirnya menyerah kepada Tentara Sekutu & pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya.
Beberapa hari kemudian beliau mengadakan acara syukuran atas kekalahan penjajahan Jepang ini,acara dihadiri tokoh tokoh masyarakat & Ulama dari Samarinda sebanyak 200 undangan,acara tersebut bertepatan dengan hari ke 2 hari raya,alhasil penduduk yang mendengar adanya acara itu berbondong bondong datang,yang hadir membludak hingga persediaan nasi tidak mencukupi sedangkan waktu menanak nasi tidak sempat lagi,perkara ini kemudian disampaikan kepada Habib Muhammad,kemudian ia menuju loka nasi tersebut yang berupa sebuah guci yang tertutup semacam kelambu tebal,sejenak ia tampak seperti sedang berdoa & membacakan sesuatu,kemudian ia memindahkan tasbihnya dari tangan kanan ketangan kirinya sambil menepuk tutup guci tersebut seraya memesankan kepada petugas yang menjaga nasi tersebut supaya setiap orang yang mengambil nasi tersebut jangan melihat kedalam guci & jangan mengatakan kata,subhanallah hingga akhir acara berapapun banyaknya nasi yang diambil ditempat itu seakan akan tidak pernah habis & Alhamdulillah akhirnya mencukupi kebutuhan semua tamu yang hadir.
Selain aktif memangku jabatannya beliau juga aktif mengajarkan masyarakat ilmu ilmunya dari ilmu syariat hingga ilmu tasawuf,semasa hidupnya beliau curahkan segenap kemampuannya untuk kemaslahatan umatdan masyarakat pada Kerajaan Kutai & sekitarnya.
Pada tanggal 26 Rabi'ul awwal 1366 H atau tgl 17 Februari 1947 M rohnya yang kudus kembali Keharibaan RobbNya dalam usia lanjut yaitu 103,jasadnya yang Mulia dimakamkan pada Pekuburan Jalan Gunung Gandek Tenggarong yang juga dikenal dengan Komplek Pemakaman Kelambu Kuning,makam Habib Muhammad bin Ali Bin Yahya berada dalam satu ruangan dengan istrinya, disamping ruangan Habib Muhammad bin Ali Bin Yahya Pangeran Noto Igomo terdapat ruangan yang sama besarnya disanalah dimakamkan Sultan Aji Muhammad Alimuddin Sultan Kutai periode 1899-1910 yang juga mertua dari Habib Muhammad bin Ali Bin Yahya.
Kedua ruangan utama makam tersebut pada bagian dalamnya diselubungi kain berwarna kuning seperti kebanyakan kubah kubah para aulia yang ada pada kalimantan,karena itu makam tersebut dikenal orang dengan sebutan Makam Kelambu Kuning. Akhir kata sekian dulu napak tilas kita & hingga jumpa lagi pada tulisan berikutnya. Matur nuwun
~disarikan dari beberapa asal~