Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Hidup bareng pasangan yang tidak sinkron suku kadang selalu mendapati hal hal yang baru, terlepas dari kecenderungan ethnosentris kepada masing masing individunya. Tapi itulah seninya, disparitas meski acapkali disalahpahami tetapi sejatinya sebanding lurus antara hikmah serta kontradiksinya.
Tulisan ini sejatinya terinspirasi oleh dialog bareng istri saya yang kebetulan orang Sunda beberapa hari yang kemudian. Obrolan kami tidak jauh dari sejarah serta mitos mitos antara orang Sunda serta Jawa, salah satunya orang Jawa dilarang menikah bareng orang Sunda terkait bareng bencana bubat yang melegenda itu. Selengkapnya bisa kerabat perkerisan baca kepada sini Perang Bubat : Romantisme serta Kekuasaan, Dyah Pitakoka : Korban Ambisi Gajah Mada, serta Pemberontakan Dipati Ukur : Membuka Lama Tragedi Bubat.
Bisa jadi sebab kami pelaku kehidupan yang melawan mitos tersebut, absah-absah saja toh kami nir mempercayai mitos tersebut. Pendek istilah kami nir mengamini mitos mengenai bencana bubat tersebut. Obrolan berlanjut, ketika istri tanpa sengaja membaca sebuah artikel mengenai dari-usul orang Sunda serta mitos bahwa tanah parahiyangan adalah pusat peradaban global yang hilang. Termasuk kepada dalamnya, artikel – artikel tersebut yang mengungkapkan bahwa bahasa Jawa banyak mengadopsi dari Sunda, serta Raden Wijaya adalah dari Sunda. Bika kami teruskan dialog yang dekat bareng debat tersebut, bisa jadi akan terjadi perang bubat beneran yang bukan hanya mitos semata, kan!
Tapi kali ini saya nir hendak membicang hal yang sifatnya ethnocentris, tapi mencoba menelisik dari usul urang Sunda. Artinya saya berdiri ditengah, nir berpijak kepada kepada kaki sebelah. Membincang mengenai dari usul urang Sunda ini sangat menarik, sebab ada satu literatur yang menyakan bahwa orang Sunda adalah adalah pendatang dari daerah Yunan? Kaget! Rasah kaget, baraya, dianggap saja dongeng pengantar tidur.
Penasaran, ayo kita lanjutkan lagi. Baik, kita bincang hipotesa mengenai dari usul urang Sunda terlebih dahulu. Hipotesa mengenai dari usul urang Sunda ini bermula dari suatu loka dataran tinggi (plateau) yang bernama Iran-venj, penduduknya dianggap bangsa Aria, nir asing kan. Dataran tinggi Iran-venj ini letaknya antara Pegunungan Hindukusj serta Pegunungan Himalaya, memahami sendiri kan, dalam riwayat bangsa Aria yang mengagungkan ras-nya. Salah satu alasannya adalah mereka beranggapan bahwa tanah airnya adalah serupa Taman Surga sebab saking dekatnya bareng alam gaib.
Dalam perjalannya, saking dekatnya budaya mereka bareng alam gaib, kemudian bangsa Aria dari Iran-venj ini mendapatkan wangsit dalam Ugaya, bahwa kepada suatu saat nanti bagsa Iran-venj akan musnah atau musanah dalam peradaban. Tak ayal, konon bareng adanya wangsit ini kemudian bangsa Aria berbondong bondong ngungsi serta menyebar ke banyak sekali daerah.
Nah, dalam satu gerombolan yang menyebar itulah ada satu gerombolan yang dikepalai oleh warga Achaemenide yang menyebut dirinya bagsa parsa yang dikemudian hari mereka ini kita kenal bareng bangsa Persi yang membangun kota Persi-Polis. Pemimpin bangsa Achaemenide ini mempunya gelar Kurush (Cyrus, Yunani).
Ilustrasi Ratu Achaemenide
Singkat cerita, dalam perjalanan sejarahnya, bangsa Achaemenide ini membantu bangsa Media yang diserang oleh bangsa Darius. Bahkan bangsa Darius bareng pimpinan Alexander Macedonia pun kepada akhirnya menyerang Persi. Dan tidak lepas dari itu bangsa Persi, kepada jaman Islam pun diserang serta ditaklukkan. Begitu pula oleh Jengis Khan dari Mongol, serta kepada akhirnya diserang pula oleh bangsa Tartar yang dikepalai oleh Timur-Leng. Rentang perjalanan sejarah bangsa Persi ini, menyadarkan mereka buat balik kepada nama asalnya, yaitu Iran (dari Iran-Venj).
Kelompok yang lainnya lagi suku bangsa Aria yang menuju arah Selatan, sampai kepada sebuah pantai daratan Arab. Dari sana mereka terus menyebar yang kepada akhirnya sampai juga kepada tanah Sunda, tepatnya kepada Pelabuhanratu (sekarang).
Para pendatang itu disambut bareng ramah serta terjadi akulturasi budaya kepada antara mereka, pendatang serta pribumi (Sunda) saling menghormati satu sama lainnya. Proses akulturasi budaya ini dapat kita lihat dalam sistem religi yang diterapkan. Pendatang mengalah bareng keadaan serta situasi serta tatanan yang ada. Batara Tunggal atau Hyang Batara sebagai pusat sesembahan orang Sunda tetap menempati loka yang paling tinggi, sedangkan dewa-dewa yang menjadi sesembahan pendatang ditempatkan kepada bawahnya.
Hal itu dapat dicermati dalam stratifikasi sistem sesembahan yang ada kepada daerah Baduy, dikatakan bahwa Batara Tunggal atau Sang Rama mempunyai tujuh putra keresa, lima dewa kepada antaranya adalah Hindu, yaitu :
Batara Guru kepada Jampang
Batara Iswara (Siwa)
Batara Wisnu
Batara Brahma
Batara Kala
Batara Mahadewa (kepada akhirnya menjadi Guriang Sakti serta menjelma jadi Sang Manarah atau Ciung Manara)
Batara Patanjala (yang dianggap cikal bakal Sunda Baduy)
Akulturasi ini, nir saja dalam lingkup budaya, melainkan dalam perkawinan, sehingga melahirkan tujuh putra pokok, yaitu :
Prabu Tanduran Gagang (bagi mereka yang merasa keturunannya, nir menyebut tandur, tapi melak pare)
Prabu Ranggapupuk
Prabu Ranggasena
Prabu Emudsari
Prabu Tetegan Wangi (yang bertanggungjawab mengenai sejarah)
Prabu Angga Waruling
Prabu Siliwangi
Sebagai jembatan keledai buat memudahkan mengingatnya bagi orang Sunda, yaitu : Tandurangagang – gagangna; ranggapupuk – cupat; Ranggasena – cangkangna; Emudsari – kulumudna; Tetegan Wangi – dagingna; Anggawaruling – sikina; Siliwangi – seungitna. Siliwangi mempunyai tugas mengurus negara ngaheuyeuk dayeuh ngolah nagara kepada Pakuan Pajajaran. Prabu Siliwangi ini beristri Kentrimanik Mayang Sunda, serta mempunyai anak :
1. Aci Solenggang Pakuan
2. Munding Sanggawati
3. Aci Malati
Ketiga putra ini mempunyai tugas buat mencari tanah Parahiangan (Iran-Venj). Rombongan pertama dapat singgah kepada Bali serta mendirikan kerajaan. Rombongan kedua singgah kepada Kutai (Kalimantan), kepada sini pun mendirikan kerajaan. Sedangkan rombongan ketiga singgah kepada Polynesia serta diteruskan sampai ke Beutimelik , bagi orang Mauri dianggap Selandia Baru.
Wanita Suku Arya
Waktu itu kepada jaman Siliwangi peradaban yang dimiliki sudah cukup tinggi, sampai ada perubahan dari jaman megalitik ke jaman logam, dari sistem pemerintahan Daleum ke pemerintahan kerajaan. Pada waktu itu, penduduknya sudah mengenal sistem metalurgi yang cukup tinggi, hal itu terbukti dari sistem teknologi dalam pembuatan keris, sekin, badi, serta lain-lain. Tata cara pembuatannya memang nir mirip sekarang, dalam bentuk keris, badi, atau sekin akan terlihat gurat-gurat serta garis tangan si pembuatnya. Hal itu tidak sinkron bareng jaman Majapahit, kepada mana cara membuat kerisnya bareng cara melebur serta dibakar (pandai).
Bangsa Mauri dicermati secara tipologinya, mereka berkulit kuning (sawo matang), Postur tubuh hampir sama bareng orang Sunda. Begitu pula bareng nama-nama yang dipergunakannya, mirip Dr. Winata (seseorang ketua Musium kepada Auckland). Nama ini nir dibaca Winetou atau Winoto tapi Winata. Dari orang inilah estimasi serta teori bahwa orang Mauri berasal dari Pelabuhanratu tersebut. Hal yang lebih aneh lagi adalah kepada Selandia Baru nir masih ada hewan buas, apalagi bareng harimau maung, tapi sima maung dipakai sebagai lambang agar musuh-musuh mereka merasa takut.
Memang nir banyak yang memberitahuakn bahwa orang Indonesia (Sunda) yang datang ke pulau ini, kecuali implisit dalam Encyclopedia Americana Vol 22 Hal 335. Bangsa kita selain membawa suatu tatanan rapikan – subita yang lebih tinggi, kebiasaan gotong royong, teknik menenun, juga membawa budaya tulis menulis yang kemudian menjadi Kohao Rongo-rongo fungsinya sebagai mnemo-teknik (jembatan keledai) buat mengingat agar nir ada bait yang terlewat. Nah, selanjutnya kita bincang mengenai hipotesa yang menyatakan bahwa Parahiangan adalah Atlantis yang hilang.
Untuk menyingkat waktu menjawab hipotesa diatas, menjawabnya pun tentu kita harus berhipotesa toh, dalam bahasa Jawa, digothak-gathoke (dikait-kaitkan yang hampir didasarkan ). Salah satu karya dari Tatar Sunda buat menjawab hopotesa kepada atas adalah limas bertangga (trappenpyramide). Tahu kan?
Bagi orang Baduy, limas bertangga ini adalah berfungsi sebagai loka peribadatan. Selengkapnya kerabat perkerisan bisa membacanya lebih jauh kepada tautan ini Arca Domas Baduy. Bahkan dalam hal limasan ini, masyarakat Karawang yang masih berpegang bertenaga dalam tata cara tatali karuhun adalah sebuah pamali buat membangun tempat tinggal suhunan lilimasan.
Gadis Suku Arya
Bagi orang Jawa Tengah, dari Dr. H.J De Graaf bareng adanya candi-candi Hindu yang sudah sangat kental percampurannya, sehingga nir lagi terlihat jati diri Jawa Tengahnya. Sedangkan candi-candi kepada Jawa Timur bentuk-bentuknya masih kentara keasliannya, sebab tempelan budaya luar hanya sebagai aksesoris saja. Yang lebih terang lagi kepada Bali, sebab keasliannya sangat kentara.
Balik ke daerah Polynesia, bangunan-bangunan purba (trappenpyramide) beredar kepada pulau Paska sampai ke Amerika Selatan yaitu kepada Peru. Apa ada hubungannya bareng Sunda?
Salah satu ekspedisi Kontiki Dr. Heyerdahl, tanda serta memunculkan teorinya bahwa hal tersebut kepada atas adalah output kebudayaan dari insan putih berkulit merah (sawo matang). Walaupun teori ini banyak dibantah para pakar lainnya, tetapi dapat kita tarik satu estimasi bahwa insan putih berkulit merah ini adalah insan Atlantis yang hilang oleh daya magis.
Seperti uraian benarkah orang Sunda pendatang atau benarkah Parahiangan pusat Atlantis ? Di sini, silahkan kerabat perkerisan buat menilai lebih jeli kebenaran yang ada, sebab benar adalah benar ia harus mutlak nir nisbi. Akhir istilah, sampai disini dulu sampai jumpa pata tulisan yang lainnya. Nuwun.
Referensi :
Sebagian artikel dari blog padjadjaran anyar bareng melalui proses editing penyelarasan bahasa