Dunia Keris Selamat tiba kerabat perkerisan. Suka tidak suka, atau siap atau tidak siap, globalisasi memabawa tuntutan perubahan sosial budaya ditengah tengah kehidupan kita. Dan ini tidak terbantahkan. Pada era sedigital ini, segala sesuatu yang berbau perubahan bisa masuk dalam berbagai sendi kehidupan, termasuk kepada dalamnya pertunjukan hiburan bagi masayarakat.
Sesuatu yang kekinian, terbarukan, atau ungkap jaman kini up to date dalam kebudayaan lazim dipertentangkan. Asumsi ini kepada akhirnya mendudukan suatu kontradiksi bahwa yang tradisonal akhirnya dianggap kuno, katrok, serta ketinggalan jaman. Sedangkan yang berbau modern selalu berkait erat dengan tren kekinian serta sesuai dengan jamannya. Pada akhirnya, kita terima atau tidak, kesenian modern kepada akhirnya sebagai pemenangnya atas kesenian tradisional. Dan salah satu yang terancam tewas suri alasannya perluasan masuknya budaya asing kepada Indonesia yaitu Kesenian Langen Tayub kepada Kabupaten Tuban.
Langen Tayub, bisa jadi bagi sebagian kerabat perkerisan masih asing dengan nama yang merujuk kepada kesenian tradisional ini. Namun aku percaya, bagi panjenengan yang berasal dari Jawa Timur serta sebagian Jawa Tengah bagian timur tentu sudah sangat familiar. Langen Tayub ini kepada dasa warsa 80an sebagai primadona tanggapan ketika warga Tuban serta Bojonegoro sedang mengadakan hajatan. Namun dalam berbagai kegiatannya, Langen Tayub pula mentas kepada acara manganan atau sedekah bumi.
Memang diakhir tahun 90an serta sampai kini, Langen Tayub mulai kehilangan pamornya. Warga lebih menentukan nanggap huburan organ tunggal atau tarling yang relatif lebih murah serta tentu lebih diminati anak belia jaman kini. Namun demikian, hal ini tidak berlaku bagi warga Desa Wangi, Kecamatan Jatirogo, Tuban.
Pagelaran Langen Tayub ialah kesenian tradisional warisan nenek moyang sejak zaman kerajaan Singasari serta terus berlangsung turun temurun sebagai tradisi serta budaya lokal warga Jawa. Pada awalnya Langen Tayub sebagai seni gambyong istana dengan perbedaan makna religi serta magis. Seiring dengan perkembangan jaman serta pasang surut kesenian ini dimata warga, Tayub lebih dikenal sebagai tari pergaulan yang berubah fungsi sebagai hiburan rakyat, tontonan serta kadang kala dipergunakan untuk upacara selamatan, perkawinan, khitanan, serta higienis desa, tetapi ada pula beberapa kelompok yang tampil keliling atau ngamen.
Di Kabupaten Tuban, Desa Wangi inilah sentra atau pusatnya para penari Tayub yang seringkali diklaim pula dengan waranggana. Bahkan sampai kini, profesi waranggana bagi gadis warga Desa Wangi tetaplah sebagai pilihan yang primer. Kehidupan waranggana kepada Desa Wangi ini bisa dikatakan cukup terpandang dibandingkan dengan warga sekitarnya. Bisa bayangkan, untuk satu pertunjukkan, penari tayub atau waranggana bisa mengantongi tak kurang dari 4 5 juta rupiah. Dan penghasilan tersebut bisa didapatkan mereka bisa 10 kali dalam sebulan, dana akan membengkak jikalau kepada musim hajatan.
Dengan penghasilan sebanyak tadi, para waranggana memang hidup berkecukupan dibanding warga lain. Mulai dari berhektar sawah, beberapa kendaraan dari kendaraan beroda empat serta motor, serta bangunan rumah yang terbilang megah untuk ukuran warga sekitarnya dapat dibangun melalui keringat dari lenggokannya.
Tapi, memang segala sesuatu memang tidak semudah yang kita bayangkan, pun demikian untuk sebagai penari tayub atau waranggana ini. Beberapa ketika yang lalu ketika ada tetangga aku yang nanggap kesenian Langen Tayub ini, waranggananya numpang rias dirumah bunda aku. Dari obrolan kami dengan 3 waranggana yang akan tampil kepada hajatan tersebut mereka mengatakan, sebagai penari tayub ternyata tidak semudah yang dibayangkan orang umum.
Berbagai ritual supranatural harus dijalankan. Terkadang, upacara yang mengharuskan para calon penari mengikat janji dengan alam mistik terpaksa harus dilakukan. Hal ini menurutnya, dikarenakan terkadang himpitan ekonomi membuat para calon penari tidak peduli bahkan tidak mengerti akan semua ucap sumpah yang mereka lantunkan lewat mantera serta motilitas tari persembahan buat para arwah!
Lebih lanjut mereka mengatakan, sebagai waranggana itu seperti panggilan jiwa. Bahkan dari mini mereka-mereka ini sudah bercita-cita untuk sebagai penari ledek. Bahkan kalau memungkinkan mereka akan menari serta nembang sampai tua. Seperti penuturan salah satu dari mereka, sebagai ledek atau waranggana itu banyak sekali godaannya. Terlebih label kurang menyenangkan yang tersemat kepada mereka, wanita yang suka kawin cerai.
Keberadaan kaum perempuan sebagai pihak penari atau tledek dalam Langen Tayub sebagai salah satu sumbu dari kesenian tradional yang pernah sebagai primadona kepada Tuban ini. Apakah mereka mengikuti arus sebagaimana layaknya para tledek kepada masa-masa sebelumnya yang lekat dengan kehidupan prostitusi atau sebaliknya mereka bisa beradaptasi dengan perubahan serta menempuh solusi alternatif sebagai akibatnya dapat meminimalisir pandangan miring warga terhadapnya.
Bagaimanapun, keberadaan kesenian tradisional Langen Tayub kepada Kabupaten Tuban sangat bergantung kepada generasi penerus yang akan mengelola kesenian tradisional tersebut kepada kemudian hari. Aika regenerasi tidak berjalan dengan baik, terutama untuk kepada para pelakunya, masa depan kesenian tradisional tersebut akan terancam punah serta tentunya akan merubah ciri-ciri kesenian tersebut, khususnya para tledek.
Waranggana identik dengan memiliki ciri-ciri sebagai penari wanita yang sumeh, luwes, menarik, memiliki bentuk tubuh yang ideal serta wajah manis. Waranggana (tledek) ialah bagian dari kesenian Langen Tayub yang terdiri dari penabuh alat musik serta sinden (penyanyi).
Kesenian Tayub ialah kesenian tradisional warisan nenek moyang sejak zaman kerajaan Singasari serta terus berlangsung turun temurun sebagai tradisi serta budaya lokal warga Jawa. Menurut ahli bahasa, Tayub dimaknai dengan kasukan jejogedan nganggo dijogedi ing tledek. Maksudnya, bersukaria menari dengan diiringi dengan tledek, yaitu penari yang menari kepada acara Tayuban.
Selain itu disampaikan pula bahwa Tayub ditemukan dalam Kakawin Bharata Yudha karya Mpu Sedah serta Mpu Panuluh kepada zaman Jayabaya kepada Kediri. Dalam buku itu tertulis ungkap sapannddawanayub yang memiliki arti mereka (pandhawa) menari-nari. Hal ini berarti ungkap Tayub bermakna tari atau menari-nari.
Dari beberapa sumber kepada atas dapat ditegaskan bahwa Tayub dipadankan artinya dengan tledek serta gambyong, yaitu sebuah pertunjukan hiburan yang selalu menghadirkan penari wanita (tledek) serta mengajak penikmat (laki-laki) untuk menari dengan.
Awal mula timbulnya kesenian Langen Tayub kepada Kabupaten Tuban belum dapat diketahui secara niscaya. Dalam dinamikanya, Langen Tayub diwarnai kontradiksi nilai-nilai yang berkembang kepada warga. Sebagian warga mengkonotasikan Langen Tayub sebagai kesenian negatif yang lekat dengan portitusi serta pelecehan seksual, khususnya bagi waranggana.
Anggapan Langen Tayub sebagai tarian vulgar (mesum) ialah penilaian yang keliru. Sebab, tidak seluruh Tayub identik dengan hal-hal yang negatif. Dalam Langen Tayub, ada kandungan nilai-nilai positif yang adiluhung. Selain itu, Langen Tayub pula sebagai simbol yang kaya makna tentang pemahaman kehidupan serta punya bobot filosofis tentang jati diri insan. Nuwun.
Artikel ini sebelumnya sudah aku publish kepada kompasiana