Dunia Keris Selamat tiba kerabat perkerisan. Sebenarnya ini atas permintaan anak aku untuk menuliskan sejarah perang Jawa, bisa jadi dia terinspirasi saat Agustus-an kemarin dia kebetulan di dapuk sebagai Pangeran Diponegoro dalam karnaval tahunan tersebut. Dengan berbekal literatur-literatur yg aku kumpulkan asal berbagai blog aku kemudian mirip yg sedang panjenengan baca ini.
Ada satu adagium yg menyatakan, siapa yg melupakan sejarah, tamatlah riwayatnya. Masih ingat kan adagium yg berkait erat dengan sejarah ini. Di masa ini, hampir seluruh umat manusia mengaminkan adagium tersebut yg menunjuk pada sebuah pernyataan yg ditanamkan sang diri masing-masing manusia mengenai orang yg belajar asal sejarah akan terhindar asal konflik/kontradiksi.
Akan namun, nir semata-mata hal tersebut benar karena bisa saja orang belajar asal sejarah akan memulai konflik baru karena mereka mengetahui alurnya. Sudah poly kejadian-kejadian sejarah yg dimulai asal kontradiksi, konflik, perang, kerjasama, kontradiksi, begitu seterusnya. Dimulai asal perang antara kaum Theis & Pagan, Perang Salib, penaklukan Anglo Saxon, namun mengapa masih saja terdapat kontradiksi? Sebab pertentanganlah yg menyelamatkan umat manusia.
Baik, sebelum kita membicarakan lebih jauh seputaran Perang jawa, ayo sejenak membincang tentang tentang tokoh-tokoh utama asal perang Jawa ini. Setidaknya bisa memberikan gambaran menegenai corak perang yg menggetarkan keberadaan kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia kala itu.
Sebagai seseorang pahlawan nasional, loka Diponegoro dalam sejarah negerinya telah niscaya, namun apa nilai-nilai yg lebih mendalam yg diwariskan sang Sang Pangeran? Apa yg dapat kita pelajari asal kehidupannya? Apa pemaknaan yg lebih luas asal kehidupan sang pangeran ini?
Pangeran Diponegoro, dari Babad Diponegoro yg ditulisnya sendiri di Penjara Menado, menceritakan bahwa ia semenjak muda telah mengabdi pada agama, mengikuti jejak hidup moyangnya yg sangat taat pada agama. Moyangnya itu tinggal di Tegalrejo. Untuk menghindari diri asal pengaruh kraton Yogyakarta, ia tinggal bareng neneknya di Tegalrejo.
Selain asal para wanita hebat, Diponegoro dibesarkan sang para kyai desa. Setelah nenek buyutnya meninggal, Diponegoro mengintensifkan hubungannya dengan para kyai desa. Bahkan Diponegoro menikahi anak seseorang Kyai Desa. Istri pertama Diponegoro, Raden Ayu Retno Madubrongto ialah anak asal Kyai Gedhe Dadapan, seseorang ulama terkemuka asal Desa Dadapan.
Selain herbi Kyai Gedhe Dadapan, Diponegoro juga herbi beberapa kyai, diantaranya: Kyai Muhammad Bahwi yg kemudian dikenal dengan nama Muhammad Ngusman Ali Basah, Haji Badarudin, komandan Korps Suranatan, Kyai Taptojani yg pakar penterjemah teks-teks Islam, serta Syekh Abdul Ahmad bin Abdullah al-Ansari seseorang ulama asal Arab.
Pada waktu ia berumur 20 tahun telah berhasrat hidup sebagai fakir (sufi), sehingga acapkali keliling mengunjungi masjid, di mana ia dapat bergaul dengan para santri. Di bagian lain asal bukunya itu, Diponegoro bercerita, ketika ia sedang berada di gua Secang, ia dikunjungi sang seseorang berpakaian haji yg mengaku dirinya utusan Ratu Adil, yg meminta pada Diponegoro untuk menemuinya di zenit gunung yg bernama gunung Rasamani, seseorang diri.
Diponegoro segera mengikuti utusan itu hingga hingga di zenit gunung. Di sana ia berjumpa dengan Ratu Adil yg memakai serban (ikat ketua contoh Arab) hijau & jubah (pakaian khas Arab yg panjang dengan lengan tangan lebar juga) asal sutera; dengan celana asal sutera juga. Ratu Adil mengatakan kepada Abdul Hamid (Diponegoro) bahwa sebabnya ia memanggil Diponegoro ialah karena ia mewajibkannya untuk memimpin prajuritnya untuk menaklukkan Pulau Jawa. Kalau terdapat orang yg menanyakan padanya, tutur Ratu Adil, siapa yg memberi kuasa padanya? Diponegoro harus menjawab, bahwa: yg memberi kuasa padanya ialah Al-Quran.
Di bagian lain Diponegoro menceritakan, bahwa pada suatu waktu, ketika ia duduk di bawah pohon beringin, ia mendengar suara yg mengatakan bahwa ia akan diangkat menjadi Sultan Erucakra, Sayidina Panatagama, Khalifah daripada Rasulullah.
Oleh karenanya Diponegoro dalam memimpin Perang Jawa ini senantiasa diwarnai sang ajaran Islam & bahkan berusaha agar syariat Islam itu tegak di dalam wilayah kekuasaannya.
Hal ini dapat dilihat asal surat Diponegoro yg ditujukan kepada penduduk Kedu, yg ditulis dalam bahasa Jawa, antara lain berbunyi Surat ini datangnya asal aku Kanjeng Gusti Pangeran Diponegoro bareng dengan Pangeran Mangkubumi di Yogyakarta Adiningrat kepada sekalian sahabat di Kedu, menyatakan bahwa sekarang kami telah minta tanah Kedu. Hal ini harus diketahui sang semua orang baik pria maupun perempun, besar atau mungil nir usah kami sebutkan satu demi satu. Adapun orang yg kami suruh bernama Kasan Basari. Jikalau telah dari surat undangan kami ini, segeralah sediakan senjata, rebutlah negeri & betulkan agama Rasul. Jikalau terdapat yg berani nir mau percaya akan bunyi surat aku ini, maka dia akan kami penggal lehernya Kamis lepas lima bulan Kaji tahun Be (31 Juli 1825).
Kiai Mojo ialah seseorang ulama terkenal asal wilayah Mojo Solo. Ia ialah seseorang penasehat keagamaan Diponegoro yg memberikan corak & jiwa Islam kepada perjuangan yg dipimpinnya. Disamping penasehat Diponegoro, ia juga memimpin pasukan bareng-sama anaknya di wilayah Solo.
Sebelum perang Jawa pecah, ia telah berkenalan erat dengan Diponegoro, sehingga tatkala perang dicetuskan ia bareng anaknya Kiai GazaIi & para santrinys bergabung dengan pasukan Diponegoro.
Alibasah Abdul Mustafa Prawiradirja (Sentot) ialah putera Raden Rangga Prawiradirja III yg gugur di dalam pertempuran melawan pasukan Belanda. Ibu Prawiradirja (nenek Alibasah) ialah puteri Sultan Hamengku Buwono I. Jadi andai saja dilihat asal silsilah keturunannya, ia ialah keturunan kraton Yogyakarta yg mempunyai hubungan darah dengan Diponegoro. Dilihat asal namanya, ia ialah seseorang muslim.
Pada saat perang Jawa pecah, Alibasah masih muda sekali yaitu berumur 16 tahun. Sebagai remaja yg penuh semangat perjuangan yg diwarisi asal ayahnya, pengaruh agama Islam juga sangat besar asal tokoh utama perang Jawa, yaitu Diponegoro & Kiai Mojo.
Dilihat asal para pelaku utama dalam Perang Jawa ini dapat disimpulkan bahwa Islam memegang peranan vital dalam memberikan motivasi & wangsit untuk menentang kezaliman & tirani yg bertitik klimaks dengan meletusnya petang tersebut. Kesimpulan ini sejalan dengan tulisan W.F. Wertheim yg antara lain menyatakan bahwa faktor baru muncul pada abad ke-19, di mana wilayah-wilayah di Indonesia rakyat tani poly yg masuk Islam. Hal ini memperkuat posisi para kiai, karena sekarang mereka dapat mengandalkan untuk mendapatkan dukungan kuat asal rakyat.
Para penguasa kolonial Belanda terus menerus pertikaian dengan sultan-sultan Indonesia mendorong mereka untuk mempersatukan.diri dengan para kiai serta mengibarkan bendera Istam, sultan-sultan itu dapat mengobarkan pemberontakan awam. Ini dapat disaksikan dalam perang Jawa, perang Bonjol, perang Aceh. Lebih daripada itu keadaan perang ternyata menambah prestise & kekuatan para ekstremis di antara kiai itu untuk memakai senjata Perang Sabil.
Sering kita mendengar bahwa Diponegoro memberontak kepada Belanda karena tanah pertaniannya di Tegalrejo diberi patok untuk pembuatan jalan sang Belanda. Diponegoro sangat tersinggung dengan pematokan tanahnya tersebut. Untuk memberitahuakn ketersinggungannya Diponegoro mengganti patok-patok tersebut dengan tombak.
Beberapa penyebab pemberontakan Diponegoro diantaranya ialah budaya keraton yg telah bermetamorfosis kebarat-baratan. Hamengku Buwono III lebih suka memakai pakaian Mayor Jenderal Belanda daripada memakai pakaian Jawa. Keraton dijadikan loka mesum sang Belanda & para punggawa. Perselingkuhan di keraton antara Belanda dengan para pengageng keraton & kebalikannya terjadi begitu konkret. Sebagai seseorang yg memegang Islam & menjunjung budaya Jawa tentu saja Diponegoro sangat kecewa dengan keadaan ini. Bahkan Diponegoro ingin menghancurkan keraton tersebut hingga nir terdapat satu batupun yg masih tinggal. Diponegoro ingin mendirikan keraton baru yg Islami.
Penyebab ke 2 ialah nir pedulinya Keraton dengan kemiskinan rakyat. Keraton terlalu tunduk dengan tuntutan Belanda. Penerapan pajak & diijinkannya orang Eropa & orang Timur Jauh untuk menyewa lahan membuahkan kemiskinan di wilayah Keraton Jogja menjadi semakin hebat. Demikian juga dengan peraturan penebangan pohon jati di wilayah mancanegara (Madiun & Sukawati) yg menghasilkan rakyat nir punya akses terhadap bisnis pohon jati ini. Hal ini telah membuahkan pemberontakan Raden Ronggo di Madiun (yg kemudian menjadi mertua Diponegoro). Pemberontakan Raden Ronggo ini ditulis sang Diponegoro agak panjang dalam babadnya. Pemberontakan raden Ronggo menginspirasi Diponegoro untuk melawan Belanda.
Penyebab ketiga ialah perubahan peraturan tentang sewa lahan. Belanda mengganti peraturan penyewaan lahan kepada orang Eropa & Timur Jauh, dimana mereka nir boleh lagi menyewa lahan-lahan yg dulunya dikerjakan sang rakyat. Namun demikian keraton harus serta-merta memberikan ganti rugi kepada sang penyewa. Sedangkan harga ganti rugi ditentukan secara sepihak sang penyewa/Belanda. Akibatnya keraton terancam bangkrut. Diponegoro telah menyatakan ketidak setujuannya dengan anggaran ini. Namun Ibu Ratu menentukan untuk menyetujui anggaran ini karena ingin memberitahuakn kesetiaannya kepada Belanda. Sejak kasus itu Diponegoro nir mau lagi menjadi wali Sultan & menentukan untuk pulang ke Tegalrejo.
Ketika patok-patok jalan itu dipasang di tanahnya, saat itulah Diponegoro merasa bahwa takdir yg harus dijalani telah tiba waktunya. Maka pemberontakan segera dikobarkan. Diponegoro mendapatkan poly dukungan asal para ulama, rakyat & beberapa kerabat keraton yg kecewa.
Tentang kelemahannya dengan wanita, Diponegoro mengakuinya secara terbuka. Sebagai orang yg mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh pewayangan Arjuno, Diponegoro sangat menyukai wanita. Kasus yg dianggap memalukan ialah saat beliau herbi wanita Tionghoa yg menjadi tukang pijitnya. Hubungan yg nir senonoh itu diyakini menjadi penyebab mengapa tentara Diponegoro kalah di Gawok saat berupaya menyerang Keraton Kasunanan. Bahkan Diponegoro tertembak. Pengakuannya secara terbuka ini memberitahuakn bahwa Diponegoro ialah seseorang ksatria. Bahkan saat di pengasingan di Manado, Diponegoro berminat menikahi anak ulama setempat, meski lamaran Diponegoro ini ditolak..
Bersambung..
Referensi :
Carey, Peter. 2011. Kuasa Ramalan : Pangeran Diponegoro & Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785 1855 Jilid 1. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia.
Sebagian artikel asal sini