Dunia Keris Selamat malam kerabat perkerisan, ketika Anda membaca tulisan ini ialah edisi revisi. Kebetulan saya baru dapatkan sumber-suber acum yang sangat relevan. Menyambung tulisan saya sebelumnya Sejarah Gajah Mada Dalam Balutan Misteri yang sedikit membincang tentang Perang Bubat. Pada kesempatan kali ini kita akan mengulasnya sedikit lebih panjang tentang perang yang berbuah mitos antara Jawa & Sunda. Khususnya Jawa Timur.
Perang Bubat. Bagi orang Jawa Timur tentulah tidak asing. Perang yang kemudian melahirkan mitos, seandainya orang Jawa (jawa timur) pamali menikah dengan orang Sunda. Meskipun toh kemudian itu ialah ulah belanda yang mengadu domba yang mangatasnamakan perang bubat. Agar bangsa Indonesia ini tidak bersatu. Sebuah peristiwa, yang pada mulanya sama sekali tidak akan diramalkan terjadi peperangan. Hanya karena kesalahpahaman & mungkin keserakahan Sang Mahapatih ketika itu. Peristiwa dap tmanten Sang Maharaja dengan putri seberang negeri yang jelita yang sebenarnya digadang-gadang akan berlangsung meriah menjadi peristiwa tragis berujung sedih.
Perang yang mengawali kehancuran Majapahit itu menyisakan luka yang amat dalam bagi Jawa & Sunda. Ini ialah puncak ketegangan Kerajaan Majapahit & Kerajaan Sunda-Galuh, sekaligus kesalahan fatal Mahapatih Gajah Mada di akhir karier-nya yang gilang gemilang.
Perang Bubat ialah perang yang terjadi pada tahun 1279 Saka atau 1357 M pada abad ke-14, yaitu di masa pemerintahan Prabu Rajasanegara alias Hayam Wuruk. Perang terjadi akibat perselisihan antara Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit dengan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat, yang membuahkan tewasnya seluruh rombongan Sunda. Sumber-sumber acum tertua mengenai adanya perang ini terutama ialah Serat Pararaton serta Kidung Sunda & Kidung Sundayana yang berasal dari Bali.
Peristiwa Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit; yang dilukis secara diam-diam oleh seorang artis pada masa itu, bernama Sungging Prabangkara.
Sumber permasalahan sebenarnya ialah kecantikan yang membawa luka. Adalah seorang sekar kedaton Sunda bernama Dyah Pitaloka Citraresmi mempunyai kecantikan yang luar biasa yang terdengar hingga pelosok nusantara. Pada ketika itu pula, Prabu Hayam Wuruk sudah relatif umur untuk mempunyai seorang permaisuri. Tim intelijen serta duta-duta pilihan dikerahkan untuk mencari gadis cantik yang cocok dijadikan isteri sang raja, & salah satunya ialah Dyah Pitaloka. Namun demikian, ketika antar keluarga saling menyetujui, Mahapatih Gajah Mada mempunyai pemikiran lain. Ia memandang bahwa Sunda-Galuh harus takluk ketika itu juga & Dyah Pitaloka dianggap sebagai putri seserahan, bukan sebagai calon isteri sang raja. Perang berkobar yang berujung pada bunuh dirinya Dyah Pitaloka, membuahkan konflik pribadi Prabu Hayam Wuruk dengan Gajah Mada.
Atas restu dari keluarga kerajaan Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar Dyah Pitaloka. Upacara pernikahan rencananya akan dilangsungkan di Majapahit. Pihak dewan kerajaan Negeri Sunda sendiri sebenarnya keberatan, terutama Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati. Ini karena menurut istiadat yang berlaku di Nusantara pada ketika itu, tidak lazim pihak pengantin perempuan tiba kepada pihak pengantin lelaki.
Selain itu ada dugaan bahwa hal tersebut ialah jebakan diplomatik Majapahit yang ketika itu sedang melebarkan kekuasaannya, diantaranya dengan cara menguasai Kerajaan Dompu di Nusa Tenggara. Linggabuana memutuskan untuk tetap berangkat ke Majapahit, karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur 2 negara tersebut. Linggabuana berangkat bareng rombongan Sunda ke Majapahit & diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.
Raja Sunda tiba ke Bubat beserta permaisuri & putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit. Menurut Kidung Sundayana timbul niat Mahapatih Gajah Mada untuk menguasai Kerajaan Sunda. Gajah Mada ingin memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta, sebab dari banyak sekali kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan Majapahit, hanya kerajaan Sunda lah yang belum dikuasai.
Dengan maksud tersebut, Gajah Mada memproduksi alasan oleh untuk menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat ialah bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit. Gajah Mada mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai menunjukan takluk Negeri Sunda & pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri disebutkan bimbang atas permasalahan tersebut, mengingat Gajah Mada ialah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada ketika itu.
Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada. Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk menunjukkan menunjukan takluk & mengakui superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula.
Belum lagi Hayam Wuruk menunjukkan putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukannya (Bhayangkara) ke Pesanggrahan Bubat & mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu. Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah akbar, melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat & menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Linggabuana, para menteri, pejabat kerajaan beserta segenap keluarga kerajaan Sunda. Raja Sunda beserta segenap pejabat kerajaan Sunda dapat didatangkan di Majapahit & binasa di lapangan Bubat.
Putri Dyah Pitaloka dengan hati berduka melakukan bela pati, bunuh diri untuk membela kehormatan bangsa & negaranya. Sebilah kujang ia gunakan untuk meninggalkan dunia, & Sang Hayam Wuruk untuk selama-lamanya. Tindakan ini mungkin diikuti oleh segenap perempuan-perempuan Sunda yang masih tersisa, baik bangsawan ataupun abdi. Menurut tata perilaku & nilai-nilai kasta ksatria, tindakan bunuh diri ritual dilakukan oleh para perempuan kasta tersebut seandainya kaum laki-lakinya telah gugur. Perbuatan itu diperlukan dapat membela harga diri sekaligus untuk melindungi kesucian mereka, yaitu menghadapi kemungkinan dipermalukan karena pemerkosaan, penganiayaan, atau diperbudak.
Tradisi mengungkapkan bahwa Hayam Wuruk meratapi kematian Dyah Pitaloka. Hayam Wuruk menyesalkan tindakan ini & mengirimkan utusan (darmadyaksa) dari Bali – yang ketika itu berada di Majapahit untuk menyaksikan pernikahan antara Hayam Wuruk & Dyah Pitaloka – untuk berkata permohonan maaf kepada Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati yang menjadi pejabat sementara raja Negeri Sunda, serta berkata bahwa semua peristiwa ini akan dimuat dalam Kidung Sunda atau Kidung Sundayana (di Bali dikenal sebagai Geguritan Sunda) supaya diambil hikmahnya.Tinggal Prabu Hayam Wuruk yang termenung sendirian. Ia memang telah dibakar oleh cinta pada pandangan pertama.
Bagaimana pun juga, ia ialah negarawan yang masih berusia pemuda. Masih bergejolak. Itulah awal kesenjangan hubungannya dengan Gajah Mada. Dan mundurnya Gajah Mada dari kancak politik memproduksi Majapahit tidak menemukan negarawan sehebat dirinya. Itulah awal kemunduran kejayaan Majapahit yang akhirnya runtuh & digantikan rezim kerajaan-kerajaan Islam (Demak Bintoro). Raja Hayam Wuruk di kemudian hari akhirnya menikahi sepupunya sendiri, Paduka Sori.
Tindakan keberanian & keperwiraan Raja Sunda & putri Dyah Pitaloka untuk melakukan tindakan bela pati (berani mangkat) dihormati & dimuliakan oleh rakyat Sunda & dianggap sebagai teladan. Raja Lingga Buana dijuluki "Prabu Wangi" (Bahasa Sunda: raja yang harum namanya) karena kepahlawanannya membela harga diri negaranya. Keturunannya, raja-raja Sunda kemudian dijuluki Siliwangi yang berasal dari kata Silih Wangi yang berarti pengganti, pewaris atau penerus Prabu Wangi.
Akibat peristiwa Bubat ini, dikatakan dalam catatan tersebut bahwa kontak Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri menghadapi tentangan, kecurigaan, & kecaman dari pihak pejabat & bangsawan Majapahit, karena tindakannya dianggap ceroboh & gegabah. Ia dianggap terlalu berani & lancang dengan tidak mengindahkan hasrat & perasaan sang Mahkota, Raja Hayam Wuruk sendiri.
Peristiwa yang penuh kemalangan ini pun menandai mulai turunnya karier Gajah Mada, karena kemudian Hayam Wuruk menganugerahinya tanah perdikan di Madakaripura (kini Probolinggo). Meskipun tindakan ini nampak sebagai penganugerahan, tindakan ini dapat ditafsirkan sebagai anjuran halus supaya Gajah Mada mulai mempertimbangkan untuk pensiun, karena tanah ini letaknya jauh dari ibu kota Majapahit sehingga Gajah Mada mulai mengundurkan diri dari politik kenegaraan istana Majapahit. Meskipun demikian, menurut Negarakertagama Gajah Mada masih disebutkan nama & jabatannya, sehingga ditafsirkan Gajah Mada sendiri tetap menjabat Mahapatih hingga akhir hayatnya (1364).
Beberapa reaksi tersebut mencerminkan kekecewaan & kemarahan masyarakat Sunda kepada Majapahit, sebuah sentimen yang kemudian menjelma semacam rasa persaingan & permusuhan antara suku Sunda & Jawa yang dalam beberapa hal masih tersisa hingga kini. Antara lain, tidak seperti kota-kota lain di Indonesia, di kota Bandung, ibu kota Jawa Barat sekaligus sentra budaya Sunda, tidak ditemukan jalan bernama "Gajah Mada" atau "Majapahit". Meskipun Gajah Mada dianggap sebagai tokoh pahlawan nasional Indonesia, kebanyakan rakyat Sunda menganggapnya tidak pantas akibat tindakannya yang dianggap tidak terpuji dalam tragedi ini.
Kidung Sunda
Sejarah kelabu ini ditorehkan sebagai pengingat anak-cucu (kita kini) dalam sebuah puisi sejarah, yaitu Kidung Sunda, & Kidung Sundayana.
Secara garis akbar dapat dikatakan bahwa cerita yang dikisahkan di sini, gaya bahasanya lugas & lancar. Tidak berbelit-belit seperti karya sastra sejenis. Kisahnya memadukan unsur-unsur romantis & dramatis yang memikat. Dengan penggunaan gaya bahasa yang hidup, para protagonis cerita ini dapat hidup. Misalkan adegan orang-orang Sunda yang memaki-maki patih Gajah Mada dapat dilukiskan secara hidup, meski kasar. Lalu Prabu Hayam Wuruk yang meratapi Putri Sunda dapat dilukiskan secara cantik yang memproduksi para pembaca terharu.
Cuplikan :
Prabu Hayam Wuruk yang meratapi Putri Sunda yang telah tewas (bait 3.29 3. 33)
Sireanira tinaan, unggwani sang rajaputri, tinuduhakn aneng made sira wontn aguling, mara sri narapati, katmu sira akukub, permas natar ijo, ingungkabakn tumuli, kagyat sang nata dadi atmah laywan.
Wnsning muka angraras, netra dumling sadidik, kang lati angrawit katon, kengisning waja amanis, anrang rumning srigading, kadi anapa pukulun, ngke pangeran marka, tinghal kamanda punyaningsun pukulun, mangke prapta angajawa.
Sang tan absah aneng swacita, ning rama rena inisti, marmaning parng prapta kongang mangkw atmah kayki, yan si prapta kang wingi, bangiwen pangeraningsun, pilih kari agsang, kawula mangke pinanggih, lah palalun, pangdaning Widy angawasa.
Palar-palarn ing jmah, pangeran sida kapanggih, asisihan eng paturon, tan kalangan ing duskrti, sida kptining rawit, mwang rena kalih katuju, lwir mangkana panapanira sang uwus alalis, sang sinambrama lnglng amrati cita.
Sangsaya lara kagagat, ptng rasanikang ati, kapati sira sang katong, kang tangis mangkin gumirih, lwir guruh ing katrini, matag pandng ing santun, awor swaraning kumbang, tangising wong lanang istri, arrb-rrb pawraning glung lukar.
Alihbahasa:
Maka ditanyalah dayang-dayang di manakah gerangan tempat Tuan Putri. Diberilah tahu berada di tengah ia, tidur. Maka datanglah Sri Baginda, & melihatnya tertutup kain berwarna hijau keemasan di atas tanah. Setelah dibuka, terkejutlah sang Prabu karena sudah menjadi mayat.
Pucat mukanya mempesona, matanya sedikit membuka, bibirnya cantik ditinjau, gigi-giginya yang tak tertutup terlihat manis, seakan menyaingi estetika sri gading. Seakan-akan ia menyapa: Sri Paduka, datanglah ke yuk. Lihatlah kekasihnda (?), berbakti, Sri Baginda, tiba ke tanah Jawa.
Yang senantiasa berada di pikiran ayah & ibu, yang sangat mendambakannya, itulah alasannya mereka ikut tiba. Sekarang jadinya malah seperti ini. Jika tiba kemarin dulu, wahai Rajaku, mungkin hamba masih hidup & kini dinikahkan. Aduh benar-benar kejamlah kuasa Tuhan
Mari kita harap wahai Raja, supaya berhasil menikah, berdampingan di atas ranjang tanpa dihalang-halangi niat jelek. Berhasillah kemauan bapak & ibu, keduanya. Seakan-akan begitulah ia yang telah tewas menyapanya. Sedangkan yang disapa menjadi gundah & merana.\
Semakin lama semakin sakit rasa penderitaannya. Hatinya terasa gelap, beliau sang Raja semakin merana. Tangisnya semakin keras, bagaikan guruh di bulan Ketiga*, yang membuka kelopak bunga untuk mekar, bercampur dengan bunyi kumbang. Begitulah tangis para pria & wanita, rambut-rambut yang lepas terurai bagaikan kabut.
*Bulan Ketiga kurang lebih jatuh pada bulan September, yang masih merupakan musim kemarau. Jadi bunyi guruh pada bulan ini merupakan suatu hal yang tidak lazim.
Analisis
Menilik kisah pilu dalam sejarah diatas, sangat ketara bahwa peristiwa kelam tersebut merupakan awal kemunduran karier Patih Gajah Mada. Dapat dipastikan bahwa Raja Hayam Wuruk sangat sedih, memproduksi malu, & marah atas peristiwa itu. Dan Gajah Mada-lah yang 'didaulat' oleh Sang Raja sebagai satu-satunya dalang peristiwa itu.
Adanya nafsu manusia, baik materi juga apa segalanya, sangat sulit, & memang sulit untuk dikendalikan. Bagi seorang manusia, benar-benar mulia derajatnya jikalau ia dapat mengendalikan bahkan meredam hawa nafsu (jelek) tersebut. Patih Gajah Mada juga seorang manusia biasa. Mungkin, kala itu keangkuhan sedang menguasai pikirannya, bahwa namanya akan semakin bersinar, seandainya negeri Sunda, yang ketika itu sebagai satu-satuna negeri yang bebas merdeka dari pengaruh Majapahit, akan dapat ditaklukkan. Apalagi, kondisi geografis Sunda-Galuh yang berbatasan eksklusif dengan teritorial utama Majapahit di Jawa. Mungkin sangat memalukan bagi Gajah Mada, ia berhasil menaklukkan seluruh negeri seberang yang jauhnya bermil-mil, tetapi menaklukkan negeri yang hanya berbatasan dengan sungai (Ci Pamali, atau Kali Brebes kini) saja tidak dapat.
Dan akhirnya, nafsu juga yang membawa Gajah Mada meredup kaperbawane, surut kadigdayane. Memang semua itu layak Sang Patih tanggung & rasakan, sebagai karma, atau eksekusi, juga bentuk tanggung jawab, atas kecerobohannya mengabaikan hawa nafsu.