Dunia Keris Selamat tiba kerabat perkerisan. Berkaitan beserta posting yang akan saya bagikan ini saya jadi teringat beserta almarhum Pak Dhe (abang laki-laki bapak) yang kebetulan merupakan seseorang pengamal dan menguasai homogen ilmu ini, meski namanya berbeda. Semua bukan tanpa alasan dan bukan imbasan jempol semata, karena saya dan abang sepupu saya (anaknya) menyaksikan sendiri kegaiban ilmu homogen ini. Sekedar kerabat perkerisan ketahui, Pak Dhe dalam riwayatnya merupakan seseorang dogdeng (jadug). Yang kala itu pada awal 80 an di kampung loka saya lahir segala urusan lelaki yang menyangkut prestise dan harga diri diselesaikan beserta darah dan senjata, dan Pak Dhe melawati fase adu fisik ini hingga 3 kali dan kesemuanya berakhir beserta kematian lawan-lawanya. Kesemuanya dari cerita yang saya dapat tidak terdapat unsur ekonomi, semua dipicu oleh harga diri dan prestise famili.
Baik, narasi diatas bukan bermaksud membanggakan atau semacamnya. Saya hanya memberi suatu gambaran dan yang pernah beliau ucapakan semasa masih hidup saat bercerita tentang ilmu kajadugan. Bahwa, suatu ilmu sengaja diciptakan untuk dicoba, dijalani, dan berhasil. Itulah prinsip dasar seseorang ngangsu kawruh (prinsip belajar) olah batin. Bagaimanapun pula diciptakannya poly ragam ajian oleh leluhur kita tidak hanya untuk menjadi dongeng pengantar tidur atau sekedar perbendaharaan ilmu kejadugan saja. Namun, berbagai ragam ajian yang poly jenisnya itu diciptakan agar dilakoni/dijalani dan menaruh kemanfaatan. Mekipun toh, pada perjalanannya poly yang tergelincir oleh kemampuan yang dimilikinya.
Hingga pada satu kurun waktu, merupakan sauatu jalan hidup atau suratan takdir kalau seseorang harus mengalami kejadan yang tidak diharapkan. Misalnya, apa yang dialami oleh alm. Pak Dhe yang saya narasikan di awal goresan pena ini. Bisa jadi, mungkin beliau akan mengarah hidup di jaman sekarang yang semua serba gampang. Namun, karena jalan takdir akhirnya beliau harus dilahirkan pada jaman yang kekerasan fisik, jaman sengsara, jaman dimana seleksi alam masih sangat berlaku : yang kuat akan menang dan yang lemah akan kalah.
Baik sekarang kita eksklusif ke inti dari postingan pagi hari ini yakni dalam khasanah ilmu kadigdayan Jawa, dalam hal ini merupakan Aji Panglimunan. Pemilik ajian ini sungguh dapat menghilang dari pandangan mata sehingga tidak dapat dideteksi keberadaannya. Ibarat istilah, terhalang oleh selembar daun saja tidak dapat kita tangkap beserta mata telanjang. Para pemilik ilmu ini dapat dipastikan sudah pada tatar tingkat keilmuannya yang cukup tinggi. Sebab ajian ini sejatinya untuk njangkepi/melengkapi semua ngelmu kejadugan yang sudah terdapat.
Ajian Panglimunan merupakan jenis ajian yang tidak dipakai untuk menyerang, namun untuk menghindar dari agresi fisik dan metafisik. Maka sifat Aji Panglimunan ini merupakan untuk bertahan dan menjauh tanpa diketahui oleh pihak lawan. Meskipun begitu, Aji Panglimunan pula dapat dipakai untuk memasuki wilayah-wilayah musuh untuk mencuri isu penyerangan. Maka ajian ini cocok untuk para telik sandi namun dilarang dipakai untuk mencuri. Sebab, kalau dipakai untuk mencuri untuk kepentingan pribadi, maka si pemiliknya akan mendapatkan celaka.
Untuk menebus ajian langka ini, kondisi-syaratnya harus melaksanakan laris menjadi berikut:
Puasa ngebleng 7 hari 7 malam, dimulai pada hari Selasa Kliwon.
Mantra ajian ini menjadi berikut:
Sir ora katon, sirep berkat saking nabi Muhammad la illaha illallahu yahu anta anta hem, iyo iyo hum nasrum hu allah
Setelah usai menjalani laris, pagi harinya saat surya terbit harus merapalkan mantra Aji Panglimunan dan menandakan apakah mereka sudah dapat menghilang beserta cara melihat bayangannya sendiri. Tanda-tanda ajian ini sudah bekerja beserta baik merupakan kalau tubuhnya sudah tidak terdapat bayangannya lagi. Ini artinya mata insan biasa sudah tidak dapat melihat dirinya lagi.
Namun, kalau belum berhasil menghilangkan tubuh, itu berarti dia masih belum menguasai Aji Panglimunan dan harus pulang menjalani laris puasa ngebleng dari awal.
Jila sudah berhasil menguasai ajian hebat ini, oleh para leluhur kita di weling untuk menggunakannya beserta bijaksana yang disertai beserta sikap rendah hati dan bisa menguasai emosi sebaik-baiknya. Bhirawa Anoraga: Perkasa tapi rendah hati. Sebab sebaik-baik insan merupakan insan yang berbudi luhur beserta memberi kemanfaatan pada sesama, mengayomi/melindungi mereka yang lemah dan tidak menebar permusuhan. Kebaikan mutlak akan mengalahkan kejahatan. Suradira jayadiningrat, lebur dening pangastuti..
Nuwun.