Dunia Keris – Dalam sejarah Pajang, Ki Ageng Pamanahan serta Sutawijaya bareng-sama dengan Ki Juru Martani serta Ki Panjawi, sangat berjasa kepada Sultan Pajang Hadiwijaya (Jaka Tingkir atau Mas Karebet) sebab telah berhasil membunuh Arya Panangsang, musuhnya dari Jipang. Selanjutnya atas jasa tersebut, Sultan Hadiwijaya memberi anugerah tanah Pati kepada Ki Panjawi, serta tanah Mataram kepada Ki Ageng Pamanahan. Sedang kepada Ki Ageng Enis dianugerahi tanah perdikan di Laweyan. Karena ketaatan para kawulanya, Ki Ageng Enis mendapatkan sebutan Ki Ageng Luwih, makamnya di Astana Lawiyan. Adapaun istilah Lawiyan berasal dari kata Luwih (sakti) dari Ki Ageng Enis tersebut.
Baca di sini Di Balik Mitos Kutukan Aryo Penangsang
Serat Kandha menyebutkan bahwa Ki Ageng Ngenis dengan seluruh keluarganya mendapat pekerjaan pada raja Pajang (Sultan Hadiwijaya) yg begitu bahagia padanya, sebagai akibatnya ia diberi tanah Laweyan (di Surakarta, ada hingga kini) sebagai hadiah. Ki Ageng Ngenis meninggal di sana. Setelah meninggalnya, Ki Pemanahan serta Ki Panjawi menjadi lurah para prajurit tamtama Pajang.
Ki Ageng Ngenis, kakek Panembahan Senapati (Danang Sutawijaya) ialah berasal dari Sela, karena ia ialah putra Ki Ageng Sela. Jadi, Ki Ageng Sela ialah kakek buyut Panembahan Senapati. Nama-nama Ki Gede (Ki Ageng) ialah menunjukkan bahwa ia ialah pembesar dari wilayah tersebut. Namun perlu diketahui, bahwa Sela yg disebut di sini bukanlah wilayah Sela yg terletak di antara gunung Merapi serta Merbabu, melainkan Sela yg ada di wilayah Grobogan. Ki Ageng Sela kakek buyut dari Panembahan Senapati inilah yg diceritakan dalam cerita legenda turun-temurun memiliki kesaktian bisa menangkap petir itu. Saya masih ingat sedikit di masa kecil orang tua-tua cerita bahwa kami sebagai orang Mataram bila saat petir menyambar bisa menyahutnya dengan bilang, Gandrik! Putune Ki Ageng Sela! (Astaga! (Saya) cucu Ki Ageng Sela!). Dengan begitu, petir akan menghindar.
Baca di sini : Legenda Penangkap Petir dari Jawa
Asal usul
Ki Ageng Enis ialah putra dari Ki Ageng Sela dengan Nyai Bicak putri Ki Ageng Ngerang / Sunan Ngerang I keturunan Maulana Maghribi II. Ki Ageng Enis berputra Ki Ageng Pemanahan serta Ki Ageng Pemanahan berputra Sutawijaya atau Mas Ngabehi Loring Pasar atau Senapati pendiri kerajaan Mataram Islam.
Ki Ageng Enis ialah putra bungsu dari tujuh bersaudara, dimana semua saudaranya ialah perempuan.
Silsilah Ki Ageng Enis versi Mangkunegaran
Silsilah Keturunan Lengkap :
Ki Ageng Enis (? – 1503) memiliki 2 orang putra :
Ki Ageng Pemanahan / Kyai Gede Mataram (Membuka Kota Gede Mataram pada tahun 1558 sebagai hadiah dari Raja Pajang), wafat pada tahun 1584, menikah dengan Nyai Sabinah (putri Ki Ageng Saba) mempunyai putra-putri 26 orang :
Adipati Manduranegara
Kanjeng Panembahan Senopati / Raden Sutawijaya (Sultan Mataram ke 1, pendiri, 1587-1601) menikah dengan 3 istri melahirkan putra-putri 14 orang :
Gusti Kanjeng Ratu Pambayun / Retna Pembayun
Pangeran Ronggo Samudra (Adipati Pati)
Pangeran Puger / Raden Mas Kentol Kejuro (Adipati Demak)
Pangeran Teposono
Pangeran Purbaya / Raden Mas Damar
Pangeran Rio Manggala
Pangeran Adipati Jayaraga / (Raden Mas Barthotot)
Panembahan Hadi Prabu Hanyokrowati/Panembahan Seda ing Krapyak (Sultan Mataram ke 2, 1601-1613) menikah dengan Ratu Tulung Ayu serta Dyah Banowati / Ratu Mas Hadi (Cicit dari Raden Joko Tingkir & Ratu Mas Cempaka), menurunkan putra-putri 12 orang :
Sultan Agung / Raden Mas Djatmika (1593-1645), Sultan Mataram ke 3 (1613-1645) menikah dengan Permaisuri ke 1 Kanjeng Ratu Kulon / Ratu Mas Tinumpak (putri Panembahan Ratu Cirebon ke 4 setelah Sunan Gunung Jati), permaisuri ke 2 Kanjeng Ratu Batang / Ratu Ayu Wetan / Kanjeng Ratu Kulon mempunyai 9 orang putra-putri :
Raden Mas Sahwawrat / Pangeran Temenggong Pajang
Raden Mas Kasim / Pangeran Demang Tanpa Nangkil
Pangeran Ronggo Kajiwan
Gusti Ratu Ayu Winongan
Pangeran Ngabehi Loring Pasar
Pangeran Ngabehi Loring Pasar
Sunan Prabu Amangkurat Agung / Amangkurat I / Raden Mas Sayidin (Sultan Mataram ke 4, 1646-1677) wafat 13 Juli 1677 di Banyumas.
Sunan Prabu Mangkurat II / Sunan Amral / Raden Mas Rahmat (Sunan Kartasura ke 1, 1677-1703)
Sunan Prabu Amangkurat III (Sunan Kartasura ke 2, 1703-1705)
Susuhunan Pakubuwono I / Pangeran Puger / Raden Mas Drajat (Sunan Kartasura ke 3, 1704-1719)
Raden Mas Sengkuk
Prabu Amangkurat IV (Mangkurat Jawi) wafat 20 April 1726
Kanjeng Pangeran Arya Mangkunegara (Mangkunegara I, 1757-1795)
Gusti Raden Ayu Suroloyo, di Brebes
Gusti Raden Ayu Wiradigda
Gusti Pangeran Hario Hangabehi
Gusti Pangeran Hario Pamot
Gusti Pangeran Hario Diponegoro
Gusti Pangeran Hario Danupaya
Sri Susuhunan Pakubuwono II / Raden Mas Prabasuyasa (Sunan Surakarta ke 1, 1726-1742)
Gusti Pangeran Hario Hadinagoro
Gusti Kanjeng Ratu Maduretno, Garwa Pangeran Hindranata
Gusti Raden Ajeng Kacihing, Dewasa Sedho
Gusti Pangeran Hario Hadiwijoyo
Gusti Raden Mas Subronto, Wafat Dalam Usia Dewasa
Gusti Pangeran Hario Buminoto
Pangeran Hario Mangkubumi Hamengku Buwono I (Sultan Yogyakarta Ke 1, 1717-1792)
Sultan Dandunmatengsari
Gusti Raden Ayu Megatsari
Gusti Raden Ayu Purubaya
Gusti Raden Ayu Pakuningrat di Sampang
Gusti Pangeran Hario Cokronegoro
Gusti Pangeran Hario Silarong
Gusti Pangeran Hario Prangwadono
Gusti Raden Ayu Suryawinata di Demak
Gusti Pangeran Hario Panular
Gusti Pangeran Hario Mangkukusumo
Gusti Raden Mas Jaka
Gusti Raden Ayu Sujonopuro
Gusti Pangeran Hario Dipawinoto
Gusti Raden Ayu Adipati Danureja I
Pangeran Diposonto / Ki Ageng Notokusumo
Raden Ayu Lembah
Raden Ayu Himpun
Raden Suryokusumo
Pangeran Blitar
Pangeran Dipanegara Madiun
Pangeran Purbaya
Kyai Adipati Nitiadiningrat I Raden Garudo (groedo)
Raden Suryokusumo
Tumenggung Honggowongso / Joko Sangrib (Kentol Surawijaya)
Gusti Raden Ayu Pamot
Pangeran Martosana
Pangeran Singasari
Pangeran Silarong
Pangeran Notoprojo
Pangeran Satoto
Pangeran Hario Panular
Gusti Raden Ayu Adip Sindurejo
Raden Ayu Bendara Kaleting Kuning
Gusti Raden Ayu Mangkuyudo
Gusti Raden Ayu Adipati Mangkupraja
Pangeran Hario Mataram
Bandara Raden Ayu Danureja / Bra. Bendara
Gusti Raden Ayu Wiromenggolo / R.Aj. Pusuh
Gusti Raden Ayu Wiromantri
Pangeran Danupoyo/Raden Mas Alit
Pangeran Mangkubumi
Pangeran Bumidirja
Pangeran Arya Martapura / Raden Mas Wuryah (1605-1688)
Ratu Mas Sekar / Ratu Pandansari
Kanjeng Ratu Mas Sekar
Pangeran Bhuminata
Pangeran Notopuro
Pangeran Pamenang
Pangeran Sularong / Raden Mas Chakra (wafat Desember 1669)
Gusti Ratu Wirokusumo
Pangeran Pringoloyo
Gusti Raden Ayu Demang Tanpa Nangkil
Gusti Raden Ayu Wiramantri
Pangeran Adipati Pringgoloyo I (Bupati Madiun, 1595-1601)
Ki Ageng Panembahan Djuminah/Pangeran Djuminah/Pangeran Blitar I (Bupati Madiun, 1601-1613)
Pangeran Adipati Martoloyo / Raden Mas Kanitren (Bupati Madiun 1613-1645)
Pangeran Tanpa Nangkil
Pangeran Ronggo
Nyai Ageng Tumenggung Mayang menikah dengan Kyai Ageng Tumenggung Mayang berputra 1 orang :
Raden Pabelan (wafat 1587)
Pangeran Hario Tanduran
Nyai Ageng Tumenggung Jayaprana
Pangeran Teposono
Pangeran Mangkubumi
Adipati Sukawati
Bagus Petak Madiun
Pangeran Singasari/Raden Santri
Pangeran Blitar
Raden Ayu Kajoran
Pangeran Gagak Baning (Adipati Pajang, 1588-1591)
Pangeran Pronggoloyo
Nyai Ageng Haji Panusa, ing Tanduran
Nyai Ageng Panjangjiwa
Nyai Ageng Banyak Potro, ing Waning
Nyai Ageng Kusumoyudo ing Marisi
Nyai Ageng Wirobodro, ing Pujang
Nyai Ageng Suwakul
Nyai Ageng Mohamat Pekik ing Sumawana
Nyai Ageng Wiraprana ing Ngasem
Nyai Ageng Hadiguno ing Pelem
Nyai Ageng Suroyuda ing Kajama
Nyai Ageng Mursodo ing Silarong
Nyai Ageng Ronggo ing Kranggan
Nyai Ageng Kawangsih ing Kawangsen
Nyai Ageng Sitabaya ing Gambiro
Ki Ageng Karatongan
Ki Ageng Enis Sebagai Perintis Kesultanan Mataram
Perkembangan sejarah masuknya Agama Islam di Surakarta, tidak bisa dipisahkan dengan sejarah Ki Ageng Henis. Mulanya Laweyan merupakan perkampungan masyarakat yg beragama Hindu Jawa. Ki Ageng Beluk, sahabat Ki Ageng Henis, ialah tokoh masyarakat Laweyan saat itu. Ia menganut agama Hindu, tetapi karena dakwah yg dilakukan oleh Ki Ageng Henis, Ki Ageng Beluk menjadi masuk Islam. Ki Ageng Beluk kemudian menyerahkan bangunan pura Hindu miliknya kepada Ki Ageng Henis untuk diubah menjadi Masjid Laweyan.
Kerajaan Mataram Islam dirintis oleh tokoh-tokoh keturunan Raden Bondan Kejawan putra Bhre Kertabhumi. Tokoh primer Perintis Kesultanan Mataram ialah Ki Ageng Pamanahan, Ki Juru Martani serta Ki Panjawi mereka bertiga dikenal dengan "Tiga Serangkai Mataram" atau istilah lainnya ialah "Three Musketeers from Mataram". Disamping itu banyak perintis lainnya yg dipercaya berjasa akbar terhadap terbentuknya Kesultanan Mataram mirip : Bondan Kejawan, Ki Ageng Wonosobo, Ki Ageng Getas Pandawa, Nyai Ageng Ngerang serta Ki Ageng Ngerang, Ki Ageng Made Pandan, Ki Ageng Saba, Ki Ageng Pakringan, Ki Ageng Sela, Ki Ageng Enis serta tokoh lainnya dari keturunanan masing-masing. Mereka berperan sebagai leluhur Raja-raja Mataram yg mewarisi nama akbar keluarga keturunan Brawijaya majapahit yg keturunannya menduduki tempat terhormat dimata masyarakat dengan menyandang nama Ki, Ki Gede, Ki Ageng' Nyai Gede, Nyai Ageng yg memiliki arti : tokoh akbar keagamaan serta pemerintahan yg dihormati yg memiliki kelebihan, kemampuan serta sifat-sifat kepemimpinan masyarakat.
Ada beberapa fakta yg menguatkan mereka dipercaya sebagai perintis Kesultanan Mataram yaitu :
Fakta 1 : Tokoh-tokoh perintis tersebut ialah keturunan ke 1 sampai dengan ke 6 raja Majapahit terakhir Bhre Kertabhumi yg bergelar Brawijaya V, yg sudah bisa dipastikan masih memiliki pengaruh baik serta kuat terhadap Kerajaan yg memerintah maupun terhadap masyarakat luas;
Fakta 2 : Tokoh-tokoh tersebut ialah keturunan Silang/Campuran dari Walisongo beserta leluhurnya yg terhubung langsung kepada Imam Husain bin Ali bin Abu Thalib, yg sudah bisa dipastikan mendapatkan bimbingan ilmu keagamaan (Islam) berikut ilmu pemerintahan ala khilafah / kekhalifahan islam jajirah Arab. Hal ini terbukti dalam aktivitas keseharian mereka juga tak jarang berdakwah dari daerah satu ke daerah lainnya dengan mendirikan banyak Masjid, Surau serta Pesantren;
Fakta 3 : Para perintis tersebut pada dasarnya ialah "Misi" yg dipersiapkan oleh para Seikh serta para Wali (Wali-7 serta Wali-9) termasuk para Al-Maghrobi yg bertujuan "mengislamkan Tanah Jawa" secara sistematis serta berkelanjutan dengan cara menyatu dengan garis keturunan kerajaan.
Fakta 4 : Suksesi Kesultanan Demak ke Kesultanan Pajang kemudian menjadi Kesultanan Mataram pada dasarnya ialah kesinambungan dari "Misi" sesuai Fakta 3, mirip juga yg terjadi dengan Kerajaan Pajajaran, Kerajaan Sumedang Larang, Kerajaan Talaga Majalengka serta Kerajaan Sarosoan Banten, di luar adanya perebutan kekuasaan.
Dengan demikian dari keempat fafta di atas, jelas sudah bahwa terbentuknya Kesultanan Mataram pada khususnya serta Kesultanan Islam di Jawa pada umumnya merupakan strategi yg dipersiapkan oleh para Syeikh serta para Wali untuk mempercepat menyebarnya Islam di Tanah Jawa, sebagai akibatnya salah satu persyaratan pembentukan Kesultanan Islam baik di Jawa maupun di daerah lainnya harus mendapatkan "Legitimasi/Pengesahan" dari Mekah serta/atau Turki, jalur untuk keperluan tersebut dimiliki oleh para "Ahlul Bait" mirip para Seikh serta para Wali.
Ki Ageng Henis ialah putera Ki Ageng Sela, keturunan dari Brawijaya V seseorang raja Kerajaan Majapahit. Ki Ageng Henis ialah seseorang punggawa Keraton Pajang semasa Jaka Tingkir menjadi Adipati.
Kilas tentang Saudagar Laweyan
Laweyan merupakan kampung tradisional yg sudah ada semenjak sebelum tahun 1500 M. Kelurahan/Kampung Laweyan, Surakarta Jawa Tengah merupakan kawasan sentra industri batik yg unik, spesifik serta bersejarah.
Berdasarkan buku yg ditulis oleh RT. Mlayadipuro, desa Laweyan (sekarang wilayah Kelurahan Laweyan) sudah ada sebelum munculnya kerajaan Pajang. Sejarah kawasan Laweyan masih bisa dirunut dengan fakta artefak makam maupun letak geografisnya yaitu setelah dasa warsa Kyai Ageng Ngenis yg bermukim di desa Laweyan pada tahun 1546 M, tepatnya di sebelah utara pasar Laweyan (sekarang Kampung Lor Pasar Mati), era sebelumnya sangat sulit dilacak kecuali hanya dari dongeng serta tutur lisan saja. Letak pasar Laweyan membelakangi jalan yg menghubungkan antara Mentaok dengan desa Sala (sekarang jalan Dr. Rajiman).
Kyai Ageng Ngenis ialah putra dari Kyai Ageng Selo yg merupakan keturunan raja Brawijaya V. Kyai Ageng Ngenis atau Kyai Ageng Laweyan ialah juga manggala pinituwaning nagara kerajaan Pajang semasa Jaka Tingkir menjadi Adipati Pajang pada tahun 1546 M.
Kyai Ageng Ngenis meninggal serta dimakamkan di pesarean Laweyan (tempat Sunan Kalijaga istirahat selama lelaku menyusuri sungai Bengawan Solo). Rumah tempat tinggal Kyai Ageng Ngenis kemudian ditempati oleh cucunya yg bernama Bagus Danang atau Mas Ngabehi Sutowijaya. Kemudian Sutowijaya lebih dikenal dengan sebutan Raden Ngabehi Loring Pasar (pasar Laweyan), Sutowijaya pindah ke Kota Gede serta dalam perjalanannya kemudian menjadi raja pertama Dinasti Mataram Islam dengan sebutan Panembahan Senopati yg kemudian menurunkan raja-raja Mataram.
Mitos Laweyan
Ada folklor yg menjadi mitos membangun kesan komunitas Laweyan teralienasikan. Hal ini mendorong Drs. Soedarmono, SU (Sejarahwan Surakarta – alm) menulis dalam upaya meluruskan sejarah. Wong laweyan pada zaman dahulu, ditengah peradaban dominannya budaya feodal kerajaan, agak tidak disukai oleh kalangan bangsawan kerajaan di kota Solo.
Karena komunitas Laweyan lebih mencerminkan gaya hidup yg praksis dalam dunia ekonomi industri serta perdagangan batik. Wacana prilaku ekonomi perdagangan serta industri batik di Solo ini dipercaya kurang pantas terlibat dalam pergaulan masyarakat feodalistik kerajaan. Sebagian akbar bangsawan kerajaan yg gaya hidupnya lebih mencerminkan pola hidup establish pada system ekonomi feodom, agak kurang bahagia hidup berdampingan dengan wong Laweyan yg mencerminkan gaya hidup sebagai entrepreuner yg dipercaya egois, kikir, serta dipercaya cenderung pamer kekayaan. Bangsawan kerajaan takut bersaing dalam hal meraih ethos hedonis Jawa: drajad, semat serta pangkat, maka dengan segala cara, orang Laweyan dialienasikan, diasingkan dari pergaulan masyarakat Jawa. Folklore yg muncul untuk mengalienasikan ethos pedagang serta industriawan batik kaum perempuan ini diantaranya,
Eksistensi komunitas dagang Laweyan di zaman Pajang, dialienasikan dalam folklor Raden Pabelan yg melakukan perselingkuhan dengan putri raja Ratu Sekar Kedhaton. Peristiwa itu membuahkan dijatuhkannya eksekusi mati atas Raden Pabelan bertempat di Laweyan. Folklor ini seolah-olah menjadikan wacana memori kolektif orang Jawa dalam Babad minor Pajang, untuk akses pembenaran (legitimasi) bahwa sudah layak serta sepantasnya orang yg melanggar tata-krama adat istana harus di-eksekusi hukum "Lawe" (digantung dengan tali = lawe), serta yg sangat disengaja eksekusi itu dijatuhkan di Laweyan.
Folklor Kyai Ageng Ngenis, ini ialah folklore yg sangat tendensius untuk mengklaim bahwa kawasan Laweyan ialah bagian dari ekologi cultural kraton, bukan ekologi pedagang lawe yg telah lama ada (Pajang). Konon menurut cerita lokal, dari usul nama tempat laweyan sangat berafiliasi erat dengan nama tokoh lokal yg disakralkan, yaitu Kyai Ageng Ngenis. Di era pemerintahan Sultan Hadiwijoyo di Pajang, Kyai Ageng Ngenis, putra Kyai Ageng Selo, ialah tokoh cikal-bakal Mataram. Karena jasanya yg akbar atas berdirinya kasultanan Pajang, ia diberi hadiah tanah perdikan. Tanah itu diberi nama luwihan, folklor ini menggeser etimologi kata 'luwihan' seolah berubah sebutan menjadi laweyan, karena kekaguman rakyat Pajang atas keluwihan (kesaktian) Kyai Ageng Ngenis.
Disarikan dari wikipedia