Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Hakekat yang tersembunyi dari perempuan adalah kelembutannya, yang melahirkan adanya kekuatan tanpa batas yang membawahi para lelaki. Ya, perempuan memang lembut dan nampak nir berdaya tetapi mematikan selayaknya Rajawali yang memangsa apa pun jua.
Hal ini menyiratkan perihal sesuatu yang berlebih dan tak terbiasa, kekuatan yang begitu banyaknya pada balik kelembutan perempuan yang kita kira lemah selama ini. Perempuan itu selayaknya api, meski pijarnya kecil sekalipun tetapi bisa beranak pinak dan menghanguskan apa pun jua yang ada pada sampingnya, meskipun itu adalah tumpukan besi baja akan lebur waktu bersentuhan memakai kekuatannya. Atau pun, beliau kita peremisalkan air yang gemericik tetapi tiba-tiba meluap buat menyapu dan menghanyutkan setiap hal yang ada pada jalannya.
Barangkali hal ini jua pantas kita sematkan pada Putri Harisbaya perihal hakekat akan kelembutan dan kecantikan. Sebagai perempuan barang tentu seseorang Harisbaya membawai sifat lemah lembut dan kecantikan, yang dikemudian hari membawanya pada pusaran zenit kekuasan lengkap memakai intrik dan asmara segitiga pada dalamnya.
Tidak ada data yang saksama perihal Harisbaya ini, tetapi ada satu pendapat yang tampaknya pada-amin-kan oleh para sejarawan, yakni perempuan yang kita bincang ini berasal dari Madura (hal ini sangat mungkin andai ungkap merujuk pada nama satu wilayah pada Madura, yakni Arosbaya). Harisbaya ini pada masa gadisnya pernah tinggal pada keraton Pajang. Tidak diketahui bagaimana ceritanya sehingga gadis cantuk ini dapat berada pada keraton. Apakah diserahkan menjadi upeti oleh penguasa madura ataukah sebaliknya perempuan yang sengaja dibawa dari Madura menjadi perempuan pingitan.
Singkat cerita, Harisbaya ini kemudian dihadiahkan oleh penguasa Jawa (Jawa Tengah) waktu itu kepada Panembahan Ratu (penguasa Cirebon antara tahun 1570-1650 M, yang beristana pada Pakungwati) menjadi isteri kedua. Panembahan Ratu, lahir tahun 1547 dan meninggal tahun 1650, beliau adalah cucu Fatahillah/Fadillah atau Faletehan.
Panembahan Ratu (Pangeran Emas) adalah anak kedua Pangeran Suwarga dari isterinya Wanawati Raras. Anak-anak Pangeran Suwarga dan Wanawati Raras lainnya adalah Ratu Ayu Sakluh (abang Panembahan Ratu dan mertua Sultan Agung), Pangeran Manis (adik Panembahan Ratu) dan Pangeran Wirasuta (adik Panembahan Ratu). Panembahan Ratu yang kelak dipusarakan pada Gunung Sembung / Gunung Jati, Cirebon – pernah tinggal pada Pajang dan berguru pada Sultan Pajang Hadiwijaya selama 16 tahun.
Suatu waktu, tahun 1585 M, Geusan Ulun Sumedang / Pangeran Angkawijaya (1558-1608 M), penguasa Sumedanglarang sejak tahun 1580, beserta pengawalnya pulang dari ibukota kerajaan pada Jawa Tengah (kalau nir Demak, mungkin Pajang) dan mampir pada Keraton Pakungwati pada Cirebon. Geusan Ulun Sumedang ini menggantikan ayahnya, Pangeran Santri, yang wafat tahun 1579.
Di situlah beliau bersua memakai Putri Harisbaya. Gadis elok yang pernah ditemuinya waktu beliau berada pada lingkungan keraton Pajang atau Demak beberapa waktu sebelumnya. Di waktu itulah sesungguhnya telah terjalin cinta tetapi nasib memilih lain karena Putri Harisbaya dihadiahkan kepada Panembahan Ratu. Sementara itu Gesan Ulun kembali ke Sumedang. Cinta usang bersemi kembali, istilah anak muda jaman kini.
Baik, supaya nir membingungkan dan dapat utuh dalam membaca kisah asmara segitiga Harisbaya kita tengok lebih dahulu keadaan tatap Pasundan pada masa akhir kerajaan Pakuan Pajajaran.
Dalam sejarah tatar Pasundan, Jaya Perkosa adalah seseorang senopati terakhir sebelum kerajaan Pakuan Pajajaran. Senopati terakhir ini diceritakan berhasil menyelamatkan mahkota kerajaan (binokasih) dan beberapa pusaka utama kerajaan Pakuan Pajajaran. Mahkota dan pusaka tadi kemudian diserahkannya kepada raja Sumedang Larang dan semenjak itu jua Jaya Perkosa diangkat menjadi senopati kerajaan Sumedang Larang.
Pada waktu yang sama, problem Putri Harisbaya memakai Pangeran Geusan Ulun mengakibatkan perselisihan antara Cirebon dan Sumedang Larang, sehingga Cirebon mengirim pasukannya menyerang Kutamaya. Namun pasukan Cirebon nir berhasil mencapai sasarannya karena dihadang oleh pasukan Sumedang Larang yang berada dibawah pimpinan senapati Jaya Perkosa.
Konon sebelum Jaya Perkosa pergi menghadang pasukan Cirebon, beliau menanam pohon Hanjuang pada Kutamaya dan meninggalkan amanat : Aika Pohon hanjuang ini masih segar, pertanda aku masih hidup dan jangan tinggalkan Kutamaya.
Syahdan menurut cerita pada waktu pertempuran, Jaya Perkosa terpisah dari ketiga saudaranya yang turut dalam pertempuran itu. Salah satu dari saudaranya yang bernama Nangganan, menerka bahwa Jaya Perkosa telah gugur dalam pertempuran tadi, sehingga mereka memutuskan kembali ke Kutamaya buat menyarankan kepada Pangeran Geusan Ulun supaya memindahkan sentra pemerintahan Sumedang Larang dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur menjadi basis pertahanan yang sangat strategis.
Pemindahan sentra pemerintahan ini dibarengi memakai penyerahan wilayah Sindangkasih (Majalengka) menjadi pembayaran talak kepada raja Cirebon dan perkawinan Harisbaya memakai Geusan Ulun telah mendamaikan perselisihan antara Cirebon dan Sumedang Larang.
Senapati Jaya Perkosa yang oleh saudaranya dikira telah tewas tadi akhirnya kembali dari medan perang dan menemukan Kutamaya telah ditinggalkan. Tentu saja beliau sangat kecewa dan sangat menyesalkan tindakan Geusan Ulun, kemudian beliau menyusul ke Dayeuh Luhur. Di sini beliau berselisih memakai adiknya, Nangganan, yang kemudian berakhir memakai terbunuhnya Nangganan, saudaranya atas kesalahannya meninggalkan Kutamaya tadi.
Konon kekecewaan Jaya Pekosa yang sebenarnya adalah keinginan buat mengembalikan kebesaran dan kejayaan kerajaan Pakuan Pajajaran melalui kerajaan Sumedang Larang telah gagal. Sementara pohon Hanjuang yang ditanam oleh Jaya Perkosa hingga waktu ini masih tumbuh subur pada Kutamaya , tepatnya pada Desa Padasuka Kecamatan Sumedang Utara.
Dendam dan kebencian Jaya Perkosa terhadap musuh jua diisyaratkan kepada keturunannya kelak jikalau berziarah ke makamnya dilarang berpakaian batik yang menurut pendapatnya menjadi ciri istimewa busana musuh-musuhnya.
Nah, ini dia sekalian aku sisipkan sejarah singkat Sumedang Larang yang aku kutip dari bulek wikipedia.
Seperti yang kita ketahui beserta, Kerajaan Sumedang Larang kini Kabupaten Sumedang adalah galat satu dari beberapa kerajaan pada tatar Sunda yang ada pada provinsi Jawa Barat, Indonesia. Terdapat kerajaan Sunda lainnya mirip kerajaan Pajajaran yang jua masih berkaitan erat memakai kerajaan sebelumnya yaitu, Kerajaan Sunda-Galuh.
Namun, keberadaan kerajaan Pajajaran berakhir pada wilayah Pakuan, Bogor, karena agresi aliansi kerajaan-kerajaan Cirebon, Banten dan Demak (Jawa Tengah). Sejak itu, Sumedang Larang dianggap menjadi penerus Pajajaran dan menjadi kerajaan yang mempunyai otonomi luas buat memilih nasibnya sendiri.
Berikut ini adalah sejarah Sumedang dari masa ke masa
Kerajaan Sumedang Larang 900 – 1601
Pemerintahan Mataram II 1601 – 1706
Pemerintahan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) 1706 – 1811
Pemerintahan Inggris 1811 – 1816
Pemerintahan Belanda / Nederland Oost-Indie 1816 – 1942
Pemerintahan Jepang 1942 – 1945
Pemerintahan Republik Indonesia 1945 – 1947
Pemerintahan Republik Indonesia / Belanda 1947 – 1949
Pemerintahan Negara Pasundan 1949 – 1950
Pemerintahan Republik Indonesia 1950 kini
Asal Mula Nama
Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang bercorak Hindu, yang didirikan oleh Prabu Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Seiring memakai perubahan jaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan.
Yang pertama yaitu kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad XII). Kemudian pada masa Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam. Prabu Tajimalela pernah menjelaskan Insun medal; Insun madangan. Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi.
Kata Sumedang diambil dari ungkap Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada jua yang beropini berasal dari ungkap Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang nir ada tandingnya. Demikian liputan dari bulek wiki. Nah, kini kita balik ke Geusan Ulun.
Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) dinobatkan buat menggantikan kekuasaan ayahnya, Pangeran Santri. Ia memutuskan Kutamaya menjadi ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya pada bagian Barat kota. Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis).
Kerajaan Sumedang Larang pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat pada bidang sosial, budaya, agama, militer dan politik pemerintahan. Setelah mangkat pada tahun 1608, putera angkatnya, Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol I, yang dikenal memakai nama Raden Aria Suradiwangsa menggantikan kepemimpinannya.
Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun, kerajaan Pakuan Pajajaran sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh kesultanan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dan didukung oleh Cirebon dan Demak dalam ekspansinya membuatkan Agama Islam. Akibat dari penyerangan adonan tadi kerajaan Pajajaran hancur.
Pada waktu-waktu akhir menjelang kekalahan kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sebelum meninggalkan keraton beliau mengutus empat prajurit pilihan buat pergi ke kerajaan Sumedang yang disertai rakyat Pajajaran buat mencari konservasi yang disebut Kandaga Lante. Kandaga Lante tadi menyerahkan mahkota emas (binokasih) simbol kekuasaan raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, dan perhiasan lainnya mirip benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tadi masih tersimpan pada Museum Prabu Geusan Ulun pada Sumedang).
Kandaga Lante yang menyerahkan tadi empat orang yaitu Sanghyang Hawu atau Jaya Perkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Terong Peot. Meskipun waktu itu daerah penobatan raja direbut oleh pasukan Banten (wadyabala Banten) tetapi mahkota kerajaan terselamatkan.
Dengan diberikannya mahkota tadi kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat dianggap bahwa kerajaan Pakuan Pajajaran menjadi bagian kerajaan Sumedang Larang, sehingga wilayah kerajaan Sumedang Larang menjadi luas. Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai Cipamali (kecuali Cirebon dan Jayakarta), batas sebelah utaranya Laut Jawa, dan batas sebelah selatannya Samudera Hindia.
Secara politik kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga musuh: yaitu kesltanan Banten yang merasa terhina dan nir menerima memakai pengangkatan Prabu Geusan Ulun menjadi pengganti Prabu Siliwangi; pasukan VOC pada Jayakarta yang selalu stabilitas ekonomi dan politik; dan Kesultanan Cirebon yang ditakutkan bergabung memakai kesultanan Banten.
Pada masa itu kesultanan Mataram sedang pada masa kejayaannya, poly kerajaan-kerajaan kecil pada nusantara yang menyatakan bergabung kepada Mataram. Dengan tujuan politik jua akhirnya Geusan Ulun menyatakan bergabung memakai kesultanan Mataram dan beliau pun pergi ke Demak memakai tujuan buat mendalami agama Islam memakai diiringi empat prajurit setianya (Kandaga Lante). Setelah dari pesantren pada Demak, sebelum pulang ke Sumedang beliau mampir ke Cirebon buat bertemu memakai Panembahan Ratu penguasa Cirebon, dan disambut memakai gembira karena mereka berdua sama-sama keturunan Sunan Gunung Jati.
Dengan sikap dan perilakunya yang sangat baik dan wajahnya yang indah, Geusan Ulun disenangi oleh penduduk pada Cirebon. Permaisuri Panembahan Ratu yang bernama Ratu Harisbaya, perempuan yang pernah beliau temui sebelumnya pada Jawa. Cinta usang bersemi kembali. Nah, waktu Geusan Ulun dalam bepergian pulang ke Sumedang, tanpa sepengetahuannya Harisbaya ikut dalam rombongannya.
Karena Harisbaya adalah istri orang maka Geusan Ulun melarangnya dan menyuruhnya buat balik. Namun, justru Harisbaya mengancam akan bunuh diri andai ungkap nir diajak ke Sumedang. Nah, karena insiden ini, Panembahan Ratu marah akbar dan eksklusif mengirim pasukan buat merebut kembali Harisbaya, sehingga perang antara Cirebon dan Sumedang pun tidak terelakkan.
Akhirnya Sultan Agung dari Mataram meminta kepada Panembahan Ratu buat berdamai dan menceraikan Harisbaya yang aslinya dari Pajang-Demak dan dinikahkan oleh Sultan Agung memakai Panembahan Ratu. Panembahan Ratu bersedia memakai kondisi Sumedang menyerahkan wilayah sebelah barat Sungai Cilutung (kini Majalengka) buat menjadi wilayah Cirebon. Karena peperangan itu jua ibukota dipindahkan ke Gunung Rengganis, yang kini disebut Dayeuh Luhur.
Prabu Geusan Ulun sendiri mempunyai tiga orang istri: yang pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru, putri Sunan Pada; yang kedua Ratu Harisbaya dari Cirebon, dan yang ketiga Nyi Mas Pasarean. Dari ketiga istrinya tadi beliau mempunyai lima belas orang anak:
Pangeran Rangga Gede, yang adalah cikal bakal bupati Sumedang
Raden Aria Wiraraja, pada Lemahbeureum, Darmawangi
Kyai Kadu Rangga Gede
Kyai Rangga Patra Kalasa, pada Cundukkayu
Rd. Aria Rangga Pati, pada Haurkuning
Raden Ngabehi Watang
Nyi Mas Demang Cipaku
Raden Ngabehi Martayuda, pada Ciawi
Rd. Rangga Wiratama, pada Cibeureum
Raden Rangga Nitinagara, pada Pagaden dan Pamanukan
Nyi Mas Rangga Pamade
Nyi Mas Dipati Ukur, pada Bandung
Rd. Suridiwangsa, putra Ratu Harisbaya dari Panemabahan Ratu
Pangeran Tumenggung Tegalkalong
Rd. Kyai Demang Cipaku, pada Dayeuh Luhur.
Prabu Geusan Ulun adalah raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang, karena selanjutnya menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati (bupati).
Catatan kaki dan pelajaran yang dapat kita peroleh dari kisah Putri Harisbaya pada antaranya adalah;
Kemungkinan cinta antara Geusan Ulun memakai Harisbaya telah terjalin sejak mereka belum kawin, yaitu sewaktu mereka masih pada Jawa Tengah. Namun rupanya nasib membawa masing-masing dalam keluarga dan urusannya sendiri-sendiri. Kenangan usang rupanya ada kembali waktu mereka bersua lagi sehingga terjadilah skandal yang dicermati dari kebiasaan-kebiasaan kehidupan memang memalukan.
Mungkin karena menjadi isteri kedua sementara jeda umur yang jauh antara Putri Harisbaya memakai Panembahan Ratu jua menjadi galat satu faktor penyebab terjadinya pelarian Putri Harisbaya.
Hakekat dari perempuan menjadi perhiasan adalah kelembutan yang ada pada dalamnya. Kelembutan pada sini nir lain adalah laku yang baik. Ia nir hanya menghiasi, selayaknya keberadaan lampu hias pada dalam Pendopo. Lampu hias ini jua perhiasan, tetapi sekaligus mengandung makna terdalam.
Sebagai perhiasan, karena keberadaannya menghiasi struktur estetika. Selain itu, andai ungkap kita melihat semua struktur pembangunnya, maka kita akan mendapat makna yang paling esensi dari keberadaan hiasan tadi, yakni menjadi pancer atau sentra.
Nilai ini menuntun kita pada jalan hidup rakyat Jawa perihal keyakinan adanya Empat Saudara, yaitu pandangan, indera pendengaran, penciuman, dan ucapan. Empat saudara ini dapat jua dimaknai menjadi kiblat papat (empat arah kiblat) kehidupan insan yang dilambangkan memakai empat tiang utama.
Empat arah kiblat yang dibangun jua menghadirkan lampu hias yang berada pada tengahnya. Lampu hias ini simmbol dari pancer (sentra) yang pertanda perihal sentra kehidupan. Peran menjadi hiasan menyembunyikan maknawi menjadi sentra, yang jikalau kita memahaminya akan mencapai rahasia kelembutan pada kutub Maha Kasih.
Perempuan, memakai demikian, membawa makna sentra pada dalamnya yang mengakibatkan dirinya menjadi panutan, meskipun membawa pada kekacauan. Sesosok maknawi yang hebat dikandung perempuan dalam kehidupan. Ia diciptakan menjadi pahala yang nir buat diikuti kehendaknya, karena jikalau diikuti, perempuan lebih poly mendatangkan penderitaan. Sekian. Nuwun. Urd2210