Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Sudah 2 bulan berlalu memang, tapi residu gegap gempitanya masih teronggok pada dapur. Terompet. Punya anak kolega yg tertinggal pada tempat tinggal sehabis melewatkan tahun baru pada sini, Jogja.
Tak terdapat pesta yg tidak usai. Pesta kembang api, meski nir boleh, tampaknya kurang afdol tahun baru tanpa terdapat kembang api. Menggaduhkan langit. Tidak hanya pada Jogja saya rasa, mungkin terjadi dimana-mana, diseluruh global. Berhentinya pesta, apapaun bentuknya, setelahnya adalah terdapat jarak yg dinamakan hening. Ya, hening.
Belajarlah untuk hening, dan engkau akan mengetahui dirimu telah terlalu banyak bicara.
Jadilah bajik, dan engkau akan menyadari, bahwa dirimu telah terlalu keras menghakimi orang lain. ~ Pepatah Tiongkok Kuno
Begitu terkesan dan mendalami ketika membaca 2 bait kearifan antik dari negeri Tiongkok ini, lantaran begitu pas beserta keadaan yg terjadi pada kita umumnya dan khususnya diri saya sendiri.
Bait pertama berbicara perihal belajar keheningan. Sadar nir sadar manusia sulit untuk mengheningkan dirinya lantaran nafsu yg bergelora. Pada jaman sekarang yg serba ramai dan hiruk pihaknya global, berapa banyak diantara kita yg bisa menikmati keheningan?!
Bukannya kita belajar untuk bisa mengheningkan diri, justru kita semakin terjebak dalam hiruk pikuk global yg penuh info ini. Tanpa sadar kita menjadi bagian dari pelaku info beserta terlalu banyak bicara. Bahkan adakalanya tidak tabah untuk menjadi yg terdepan berbagi info. Berbicara sesuatu hal, membicarakan kejelekan orang lain misalnya, yg sia-sia nir mendatangkan manfaat. Tetapi justru merugikan bukan hanya diri sendiri tetapi juga orang lain.
Dalam hiruk pikuknya global yg dipenuhi terlalu banyaknya orang-orang yg berbicara hal-hal yg nir perlu, terdapat baiknya sejenak kita belajar menjadi hening. Belajar hening tidaklah perlu sampai melarikan diri ke tengah hutan dalam penyunyian secara spesifik. Tetapi kita sanggup mengarah setiap waktu menjadi waktu terbaik untuk menjadi hening.
Sejatinya manusia lahir dari hening, saya jadi teringat dari ungkapan ini. Tiap hari, manusia membutuhkan hening menjadi wujud persembahan terindah kepada Sang Maha Karya. Seperti halnya ketika saya menulis artikel ini, dini hari yg hening. Benar-betul hening, bisa jadi barusan hujan mengguyur sampai melelapkan penghuninya.
Selanjutnya adalah bajik. Setiap manusia intinya memiliki kebajikan. Tetapi beserta seiring berjalannya waktu, kebajikan itu mulai tertutup oleh kekotoran batin, menjadi akibatnya nir lagi menjadi karakternya. Walaupun masih terdapat tetapi sporadis bisa dipakai dalam kehidupan keseharian.
Orang bajik memang sudah sulit ditemukan lagi. Seiring menipisnya kebajikan pada dalam diri kita, maka sifat bijak kita sulit dimunculkan. Tak heran, kemudian kita menjadi langsung yg begitu suka menghakimi orang lain. Kita lebih sibuk mengurusi orang lain dan menjadi hakim yg sangat hebat bagi orang lain. Sampai-sampai lupa beserta keadaan diri sendiri yg sesungguhnya tidak beda beserta orang yg sedang dihakimi. Malahan terkadang lebih nir baik lagi, tetapi kita nir menyadari dan terus berusaha menjadi hakim dalam kebanggaan.
Bila saja, kita sejenak sadar dan mau menjadi bajik, niscaya kita akan menjadi menghasilkan malu sendiri lantaran sesungguhnya yg lebih layak untuk dihakimi adalah diri kita sendiri. Menghakimi orang lain, tidak terdapat gunanya sama sekali. Selain menyakiti perasaan orang lain, sanggup juga menyakiti nurani sendiri. Jadi, sangatlah bijak bila dikatakan, "Jadilah bajik, maka engkau akan menjadi bijak, menjadi akibatnya tidak lagi berselera menghakimi orang lain!" Sepertinya kalimat ini pas bagi saya yg sok bijak dan masih mbeling ini.
Selain pepatah Tiongkok Kuno pada atas. Kata hening ini saya jadi teringat ketika ziarah pada makam Sunan Drajat, Paciran, Lamongan. Tak begitu jauh dari tanah lahir saya, Tuban. Sejam perjalanan nyampai. Di makamnya, Sunan Drajat mewasiatkan pesan atau nasihat, kalau nir keliru terdapat tujuh pesan yg beliau wasiatkan kepada kita seluruh. Petuah-nasihat perihal falsafah kehidupan dan kearifan budi pekerti dan kesemuanya ditulis dalam bahasa Jawa yg sangat halus.
Tetapi dari tujuh pesan itu terdapat satu yg sangat menarik untuk dibahas dan dikupas, dan kita jadikan menjadi bahan renungan, yaitu nasihat yg berbunyi: Heneng, Hening, Huning, Hanung atau kalau dalam terjemahan bahasa Indonesia-nya sekitar berarti :
"Dengan kesabaran dan kenyamanan dalam mensucikan diri dan menjernihkan pikiran dan selalu ingat atas ke-Adilan dan nikmat-nikmat Allah maka kita sanggup menemukan jalan keluar yg terbaik".
Filsafat Heneng, Hening, Huning dan Hanung, adalah filsafat perihal pengendalian diri. Tata cara pengendalian diri kita dalam menghadapi gempuran-gempuran propaganda nafsu. Mengendalikan diri dari godaan-godaan syahwat duniawi yg terlalu hiperbola, mirip misalnya: ambisi dan keserakahan atas kekuasaan, kerakusan dan ketamakan atas harta benda, hasrat dan impian yg menggebu-nggebu atas sanjung puji dan kemasyuran, dan kesombongan dan kepongahan atas kemampuan diri.
Heneng artinya adalah Sabar, pasrah dan tawakal dalam menerima kehendak Gusti Allah atau dalam bahasa Jawanya Nrimo Ing Pandum lan tansah Sumeleh marang Peparinge Gusti Allah. Sifat tabah dan selalu tawakal dalam menerima kehendak atau takdir Allah adalah adalah senjata pamungkas dalam menghadapi ribetnya, ruwetnya, dan sesaknya beban hidup yg menghimpit dalam perjalanan waktu yg mesti kita lalui.
Kemudian Hening, hening dalam pengertian sederhananya adalah mensucikan hati dan menjernihkan pikiran marang Gusti Kang Akaryo Jagad. Berdzikir, bermeditasi dan berkontemplasi kepada-Nya akan menghasilkan hati kita menjadi tentram, terasa sejuk segar, selaksa menghirup udara pada pagi hari yg jernih.
selanjutnya Huning, huning artinya adalah bersyukur atas karunia-karunia-Nya, dan menyadari akan keadilan-keadilan-Nya. Bersyukur mengandung makna bahwa seluruh karunia dan hibah yg dicurahkan Gusti Allah kepada kita hendaknya nir menghasilkan kita lalai atau arogan dari mengingat-Nya.
Hanung, hanung mengandung makna bahwasanya kita mesti memakai akal kita, memanfaatkan pikiran kita untuk selalu merenung, dan berfikir dan mentafakuri keindahan-keindahan karya cipta-Nya. Betapa banyak karya cipta-Nya yg gumelar pada alam semesta. Sebagai makhluk yg berakal tentunya kita wajib memikirkannya, merenungkannya, menjadi akibatnya kita bisa mendapatkan ibrah atau pelajaran daripadanya.
Belajar tidak mengenal waktu dan usia, menyidik sikap alam semesta, mengamati sifat-sifat manusia, supaya kita bisa memperoleh hikmah dan fungsinya. Toh kita nir perlu meminum racun untuk memahami bahwa racun itu mematikan. Tak perlu menyayat diri sendiri untuk memahami bagaimana cita rasanya sakit.
Hidup terlalu singkat untuk melakukan segala macam kesalahan kemudian merogoh pelajaran dari semuanya. Kita nir hidup sendiri, mengapa nir belajar dari kesalahan orang lain? Itu juga apabila kita nir cukup kurang pandai untuk mengulang kesalahan yg telah dilakukan orang lain.
Orang yg selamat adalah orang yg sanggup menyidik keadaan, sanggup membaca situasi dan kondisi, membuat peluang dan kesempatan sendiri, tanpa wajib menunggu kesempatan itu datang menghampiri. Sak beja-bejane wong kang lali isih beja wong kang tansah eling lan waspada. Nuwun kisanak. Saatnya saya mapan turu.