Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Raden Wijaya, tentu kita setuju bahwa dia artinya pendiri Majapahit. Tidak ada perdebatan perihal ini. Namun akan sebagai lain soal jika Raden Wijaya dikaitakan kekerabatannya dengan kerajaan Sunda, misalnya banyak diyakini selama ini. Ya, karakteristik-karakteristik tokoh pendiri Majapahit ini masih kelabu, meski ada klaim beliau berdarah Sunda.
Secara pribadi, seringkali aku mendengar klaim ini dari kerabat istri aku dalam berbagai kesempatan. Berangkat dari sinilah aku mencoba mencari susur galur ihwal kemisterian sosok Wijaya. Dari banyak literasi yang aku dapatkan, baik dari buku atau pun berbagai blog, bisa aku simpulkan orang Sunda secara awam meyakini jika Raden Wijaya artinya satu dari leluhurnya yang mengangkat dinasti Rajasa-Singhasari dalam singgasana baru kerajaan Majapahit yang bersinar kepada Nusantara.
Kisahnya terukir dalam beberapa inskripsi prasasti kepada tempat Jawa, ditulis jua kepada berbagai catatan para pujangga dari masa ke masa. Kesuksesan Raden Wijaya bagi urang Sunda misalnya melanjutkan kejayaan Sanjaya yang perkasa, trah kerajaan Galuh yang terlebih dulu mewarnai tanah Jawa dengan panji Mataram-nya yang berkibar hingga Philipina.
Namun catatan riwayat kekerabatan Raden Wijaya dengan kerajaan Sunda, tidak diterima begitu saja oleh sebagian besar kalangan sejarawan. Sumber sejarah dari Sunda dianggap menyangsikan. Tidak relatif bukti jika Raden Wijaya memiliki trah kerajaan Sunda. Dan problem ini akhirnya sebagai polemik.
Sehingga kepada kalangan pemerhati sejarah khususnya Sunda & Jawa, seolah terjadi kesenjangan peresepsi dalam mengintrepretasikan asal-asal sejarahnya. Pada akhirnya meruncing & memunculkan kesan ego-superioritas antara suku Sunda & Jawa dalam memperebutkan riwayat Raden Wijaya.
Persolan ihwal perbedaan presepsi sejarah antara Sunda & Jawa memang selalu mencuat & terwarisi hingga ketika ini. Menurut aku peristiwa Bubat artinya satu dari polemik yang paling terkenal diperbincangkan, sebagai insiden kontroversial yang diyakini ada, atau sama sekali tidak pernah terjadi. Tidak adanya asal primer yang menjelaskan insiden tersebut membuatnya tetap langgeng diperdebatkan. Sementara itu kalangan ahli sejarah lebih bersikap pasif, keilmuan mereka tidak mengizinkan buat sembarangan mengeluarkan pendapat tanpa didukung dengan kajian ilmiah yang bertenaga.
Tulisan yang sedang kisanak baca ini mencoba mengulas & menganalisa balik substansi masalah yang sering diperdebatkan mengenai sosok Raden Wijaya & Dyah Lembu Tal. Namun sebelumnya masing-masing kita wajib meletakkan kesadaran bahwa sejarah bukanlah ilmu niscaya, maka menelisik masa kemudian pun sebagai semakin terbuka buat dikaji & dianalisa, terutama menyangkut asal-asal sejarah yang masih terselimuti kabut rahasia buat dikompromikan balik dalam argumentasi yang menunjukkan banyak kemungkinan.
Yang akan dianalisa kepada bawah ini ihwal problem klasik Dyah Lembu Tal sebagai sosok kunci yang menjelaskan riwayat Raden Wijaya sinkron terjemahan ilmiah Negarakertagama karya Prof Dr. Slamet Muljana khususnya pupuh 46 (bait2) & 47 (bait 1). Tanpa bermaksud menyangsikan kredibilitas karya & jasanya yang besar dalam dunia pustaka sejarah Indonesia, tulisan ini hanya mengkritisi terjemahan dua pupuh kepada atas yang selama ini sebagai polemik.
Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara, Naskah yang Tidak Diakui
Menurut Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara (selanjutnya akan aku sebut PRRBN, naskah sejarah sunda yang ketika ini dijadikan rujukan bagi biasanya pemerhati sejarah kepada sunda), Raden Wijaya artinya pendiri Kerajaan Majapahit, ayahnya bernama Rahiyang Jayadarma (Rahiyang Jayagiri) dari Kerajaan sunda & Ibunya bernama Dyah Lembu Tal keturunan Ken Arok pendiri Singasari.
Berikutnya PRRBN mengungkapkan bahwa Rahiyang Jayadarma artinya putra Prabuguru Darmasiksa, sedangkan ibunya artinya Dewi Suprabha Wijayatunggadewi, putri dari Prabu Sanggramawijayattungawarman yang berkuasa kepada Sriwijaya tahun 1018-1027 M. Dengan kata lain, Prabuguru Darmasiksa adalah menantu penguasa kerajaan Sriwijaya. Dan sekaligus menegaskan bahwa Raden Wijaya, melalui ayahnya (Pangeran Jayadarma) memiliki interaksi darah dengan Sriwijaya dari buyutnya itu.
Dyah Lembu Tal, artinya putri Mahisa Cempaka dari Jawa Timur. Dyah Lembu Tal dari PRRBN adalah gelar sedangkan nama aslinya artinya Dewi Naramurtti. Mahisa Cempaka, adalah nama yang diklaim dalam Kitab Pararaton, PRRBN, & Babad Tanah Jawi. Sedangkan abhisekanya bernama Batara Narasinghamurti.
Sumber primer yang mencatat nama Narasinghamurti artinya Piagam Penampihan (1269 M), Naskah rontal/lontar Desawarnnana (Negara Kertagama) yang ditulis tahun 1365 M & Prasasti Mula Manurung yang dimuntahkan atas perintah Wishnuwardhana (1255 M). Sebenarnya Prasasti Mula Manurung hanya menyebut nama Narajaya, tetapi dari Selamet Muljana, Narajaya artinya nama asli Narasinghamurti.
Dari fakta diatas, tidak ada problem antara PRRBN & asal-asal lain kepada Jawa mengenai keakuratan Raden Wijaya & Mahisa Cempaka sebagai tokoh sejarah klasik, tetapi polemik mencuat manakala memperdebatkan jenis kelamin Dyah Lembu Tal. Apakah sebagai ayah ataukah sebagi mak Raden Wijaya?
Hal inilah yang sebagai perdebatan klasik antara PRRBN, Babad Tanah Jawi yang menulis Dyah Lembu Tal artinya seseorang wanita & mak Raden Wijaya, bertentangan dengan Naskah Negarakertagama yang mengungkapkan bahwa Dyah Lembu Tal artinya seseorang lelaki sekaligus ayah Raden Wijaya. Aika Dyah Lembu Tal seseorang wanita, maka hubungannya dengan Sunda sebagai terang. Namun jika ternyata seseorang lelaki, maka naskah PRRBN bisa dianggap dusta.
Sampai ketika ini rujukan sejarah tetap mengacu kepada Negarakertagama, karena naskah yang ditulis oleh mpu Prapanca ini adalah asal primer yang telah ditetapkan oleh UNESCO tahun 2008 sebagai The Memory of The World Regional for Asia/Pasific.
Naskah ini dipandang sebagai memori dunia yang mencatat sejarah interaksi Kerajaan Majapahit dengan kerajaan-kerajaan kepada Asia Tenggara. Sedangkan PRRBN adalah naskah yang disusun oleh Pangeran Wangsakerta (Abdulkamil Muhammad Nasaruddin) output dari Gotrasawala tahun 1677 M yang bertujuan menyusun sejarah kerajaan-kerajaan kepada Nusantara.
Namun eksistensi naskah PRIBN yang banyak menyingkap tabir sejarah Nusantara itu diragukan karena sinkron penelitian bahwa bukti fisik naskah ini ternyata tidak otentik. Disebabkan baik media tulis, bentuk hurup, tekhnik penulisaan juga cara penyusunan kronologis sejarahnya dianggap hal yang baru.
Sehingga Prof. Dr. Hj. Nina lubis, M.S menyatakan dalam artikelnya kepada Pikiran Rakyat bahwa Naskah Wangsakerta bukan bukti yang otentik, artinya tergolong sebagai asal sekunder, yang tidak ditulis sezaman. Dan sebagai asal sekunder, hanya diperlukan dalam prosedur koroborasi. Misalnya saja, buat mencari kepastian ihwal nama raja-raja Salakanagara ataupun raja-raja Tarumanagara. Karena yang ditulis oleh PRRBN begitu rinci & dilengkapi dengan angka tahun pemerintahanyang berkhasiat buat kepada koroborasi dengan asal sejarah lain.
Kisah Lontar Negarakertagama
Penting rasanya menelusuri riwayat Naskah Negarakertagama buat menimbang hingga sejauh mana originalitas fakta yang terkandung didalamnya. Ini misalnya halnya menakar naskah PRRBN yang dianggap menyangsikan dari sisi fisiknya. Dalam deskripsi awam ihwal Negarakertagama yang judul aslinya Desa Warnnana, isinya menguraian ihwal interaksi famili raja, para pembesar negara, jalannya pemerintahan, tata cara istiadat, candi makam para leluhur, keadaan mak kota & nama dan keadaan desa-desa perdikan, yang dikisahkan oleh Mpu Prapanca tatkala menemani Sang Prabu Hayam Wuruk napak tilas dari Majapahit ke Lumajang kepada 1359 M.
Naskah tersebut ditulis oleh Mpu Prapanca dalam bentuk pujasastra buat menghormati prabu Hayam Wuruk & kejayaan Majapahit. Prapanca menulisnya kepada pelosok Desa Kamalasana, disaat dirinya diasingkan oleh pihak kerajaan. Nama Prapanca artinya nama samaran yang artinya galau, nama aslinya dari Slamet Muljana artinya Dang Acarya Nada Indra, putra dari Mpu Narendra yang memegang jabatan sebagai Dharmadyaksa ring kasogatan, atau Ketua dalam urusan kepercayaan Budha.
Naskah Negarakertagama yang dijadikan rujukan sejarahwan juga para penulis buku sejarah selama ini memakai terjemahan & tafsir Bahasa Indonesia karya Prof DR Slamet Muljana (dicetak tahun 1979) sinkron karya Dr NJ Krom yang diterbitkan tahun 1919.
Sebelum NJ Krom, penterjemah Belanda lainnya yaitu Dr JHC Kern kepada tahun 1905-1914 juga melakukan upaya yang sama, menindak lanjuti terjemahan Dr JLA Brandes (1902) yang hanya sebagian menterjemahkan dalam bahasa Bali. Tahun 1974 Zoetmulder menterjemahkannya dalam bahasa Inggris, demikian jua Theodor Pigeaud (1960-1963), & terjemahan teranyar dalam bahasa inggris dilakukan oleh Stuart Robson kepada Leiden yang menggarapnya semenjak 1979.
JLA Brandes artinya penemu naskah Negarakertagama kepada November 1894 kepada antara puing-puing Istana Cakranegara, Lombok, Setelah sebelumnya tentara Belanda meluluhlantakan Keraton Raja Karangasem. Diterbitkan olehnya dalam judul Nagarakretagama, Lofdicht van Prapanca op koning Rajasanagara, Hayam Wuruk van Majapahit, uitgegeven naar het eenige daarvan bekende handschrift aangetroffen in de puri te Tjakranegara op Lombok.
Dan Brandes jua yang mengganti judul pujasastra gubahan Mpu Prapanca itu sebagai Negarakertagama, sehabis dirinya menambahi kolofon dalam terbitannya dengan kalimat Iti Nagarakretagama samapta (inilah Negarakratagama terselesaikan dikisahkan) sinkron kata epilog dari Arthapamansah sebagi penyalin naskah yang terselesaikan ditulis kepada 20 Oktober 1740. Padahal Mpu Prapanca menamakan kakawinya itu Desa Warnnana.
Naskah yang ditemukan Brandes sebelum diserahkan ke Indonesia oleh Ratu Juliana tahun 1973, sempat sebagai koleksi Perpustakaan Universitas Leiden Belanda dengan nomor koleksi kode L Or lima.023. Dan sekian usang naskah tersebut sebagai satu-satunya naskah Negarakertagama yang ada. Namun seiring waktu, akhirnya mulai ditemukan Naskah rontal Negarakertagama lainnya. Setidaknya Di Bali & lombok ditemukan balik lima naskah Negara Kertagama yang disimpan kepada beberapa tempat, yaitu kepada ;
Antapura Lombok (ditemukan tahun 1978),
Grya Pidada Karangasem Bali (1978),
Grya Pidada Klungkung (1 turunan naskah), &
Grya Carik Sideman (2 turunan naskah).
Berarti ketika ini ditambah dengan yang ditemukan oleh Brandes, semuanya berjumlah lima naskah Negarakertagama/Desa Warnnana. Adanya temuan tersebut bukanlah hal yang aneh, mengingat kegiatan menulis lontar/rontal & menyalin naskah memang telah sebagai tradisi kepada Bali & Lombok. Selain sebagai upaya pelestarian juga berkaitan dengan tradisi kepercayaan & budayanya.
Sedangkan yang ditemukan Brandes kepada Puri Cakranegara penyalinnya bernama Arthapamansah. Dan kemungkinan Arthapamansah ini menyalinnya dari naskah induk yang dibawa famili kerajaan Kediri ke Lombok yang ketika itu berada dibawah kekuasaan Kediri. Naskah tersebut kemungkinan bukan naskah rontal asli yang ditulis oleh Mpu Prapanca. Karena hingga sejauh ini tidak ada fakta niscaya yang menjelaskan eksistensi rontal asli Negarakertagama yang ditulis langsung oleh Mpu Prapanca. Sedangkan yang tersimpan kepada Musium Mpu Tantular adalah salinan yang dilakukan oleh Ida I Dewa Gde Catra dari lontar induk milik Ida I Wayan Pidada dari Griya Pidada Amlapura Karangasem.
Terkait dengan Mpu Prapanca, Desa Kamalasana artinya nama sangsekerta dari Karangasem. Tempat Mpu Prapanca mengasingkan diri buat menulis naskah Desa Warnnana. Kamal artinya asam & sana bermakna tempat, maknanya sama dengan Karangasem.
Pertanyaannya, mengapa Mpu Prapanca menulisnya kepada Bali tidak kepada Majapahit?
Kemungkinan besar Mpu Prapanca, termasuk beberapa pujangga dari Majapahit pindah dari Majapahit ke Bali seiring dengan perubahan situasi politik kepada Majapahit yang memburuk ditambah terjadinya bala alam. Selain itu Bali adalah tempat kekuasaan Majapahit sehabis ditaklukan Gajah Mada tahun 1343 M yang perkembangan keagamaan maju pesat termasuk kegiatan tulis menulis.
Berdasarkan hal diatas, wajar jika naskah induk yang ditemukan tanggal 7 Juli 1978 ini diduga turunan naskah asli Mpu Prapanca. Karena ketika ditemukan judulnya artinya Desa Warnnana, bukan Negarakertagama. Dan setidaknya Naskah ini belum tercemar oleh kecurigaan adanya pupuh/wirahma yang dirubah dari aslinya, misalnya dugaan terhadap naskah Negarakertagama yang disimpan Brendes kepada Belanda.
Indikasi adanya pemalsuan relatif beralasan tatkala Brendes mengganti Desa Warnnana sebagai Negarakertagama. Tidak ada yang memahami apa yang terjadi dengan naskah ini selama tersimpan kepada Belanda. Tidak tidak mungkin terjadi peroses penggubahan ulang. Karena bukan rahasia lagi, politik Belanda kerap memakai asal sejarah bangsa Indonesia buat kepentingan memecah belah.
Selain daya tahan naskah yang terbatas, Naskah rontal memiliki kelemahan juga dalam hal keotentikan. Prof. Dr. P. J. Zoetmulder, seseorang sarjana yang ahli kepada bidang bahasa & sastra Jawa Kuno menyatakan bahwa kepada ketika penyalinan naskah rontal, resiko adanya perubahan & penggubahan kemungkinan besar selalu terjadi yang akan terjadi ketidakfahaman bahasa rontal, kesalahan membaca, terlewati satu dari bagian, atau menafsirkan sendiri bagian yang rusak.
Selain itu daya tahan daun rontal yang terpelihara karena sering dibaca bisa awet hingga 200 tahun. Aika sporadis dibaca & disimpan tidak kepada tempatnya (kropak) maka akan cepat ringkih. 200 tahun adalah waktu yang singkat dibandingkan inskripsi kepada prasasti atau logam yang memiliki daya tahan lebih usang.
Aika Negarakertagama terselesaikan ditulis tahun 1365 M & ditemukan tahun 1894 M, terdapat jeda 529 tahun. Rasanya mungil kemungkinan lontar yang ditulis oleh Mpu Prapanca bisa bertahan selama itu.
Kemungkinan besar terjadi proses penyalinan nurun rontal selama beberapa periode. Sedangkan parameter buat mengkaji keotentikan rontal setidaknya memenuhi unsur adanya Guru (pengajar yang telah mumpuni bertempat kepada Surya atau Griya), Sadhu (ajaran/ucapan orang suci) & Sastra (isi/sastra weda). Apakah parameter tersebut juga dipakai Brandes ketika menterjemahkan naskah itu kepada Belanda? Tidak ada yang memahami.
I Dwa Gde Catra menceritakan kepada I Ketut Riana bahwa Belanda tahun 1930 membagikan naskah Negarakertagama dalam hurup latin yang isinya sumbang dengan hurup aslinya, dan tidak sejalan dengan pengajar lagunya. Naskah tersebut disimpan kepada Puri Madura, Karangasem, Geria Pidada, Tabanan, Gianyar & Buleleng.
Oleh dirinya, berkat kontribusi dana dari Ida Bagus Oka, gubernur Bali kepada ketika itu, naskah tersebut dikumpulkan buat direvisi & ditulis ulang, hasilnya kemudian disimpan kepada Musium Mpu Tantular Sidoarjo, sedangkan formasi naskah asli hibahBelanda disimpan kepada Puri Kanginan Amlapura. Namun naskah tersebut bukan naskah yang terdapat kepada Griya Pidada yang kelak diterjemahkan oleh I Ketut Riana.
Perkembangan tafsir & analisa sejarah terus berkembang, Selain terjemahan output Slamet Muljana, juga terdapat terjemahan karya Kawurjan (2006) & Suhardana (2008) dengan teks Bahasa Jawa antik tetapi tanpa disertai teks asli dalam hurup Bali. Terjemahan modern dilakukan oleh Prof. Dr.Drs. I Ketut Riana, S.U. dibukukan dengan judul Kakawin Desa Warnnana Uthawi Negara Kretagama (2009) sinkron naskah rontal yang disalin oleh Ida I Dewa Gde Catra dari Naskah Desa Warnnana milik Gria Pidada Karangasem yang ditemukan kepada Grya Pidada itu.
Walau Kondisi lontar ketika disalin ulang dalam keadaan ringkih, tetapi proses penyalinan mengikuti naskah induknya. Bagian lontar induk yang bolong/rusak maka kepada salinannya pun dikosongkan agar tidak terjadi interpetasi baru. Penyalinan yang dilakukan I Dewa Gde Catra itu artinya buat memenuhi koleksi Musium Mpu Tantular, Sidoarjo.
Upaya penterjemahan oleh Ktut Riana tetap mengacu kepada terjemahan Slamet Muljana dengan beberapa koreksi. Kelebihan terjemahan I Ktut Riana dibandingkan terjemahan lainnya yaitu kepada cantumkannya hurup Bali sinkron dengan naskah aslinya. Adanya teks alfabet Bali ini akan meyakinkan pembaca buat turut menguji output terjemahan & penafsiran yang dilakukannya.
Selain itu, karya I Ketut Riana menyebut kata pujasastra dengan kakawin yang memakai wirama dengan pengajar lagu sebagai ritme nyanyian. Bukan pupuh misalnya karya Slamet Muljana atau karya lainnya. Dua kelebihan diatas sebagai vital buat menguji wirama (pupuh dari versi Slamet Muljana) yang berkaitan dengan Dyah Lembu Tal & Raden Wijaya. Secara awam buku terjemahan I Ketut Riana ini lebih kumplit karena mengoreksi jua beberapa candra sangkala.
Pupuh lazimnya dipakai dalam geguritan & macapat. Menurut Prof Dr I Nyoman Weda Kusuma MS, Guru Besar Bidang Ilmu Sastra kepada Fakultas Sastra Universitas Udayana Bali menjelaskan, geguritan lebih mirip mmacapat kepada sastra Jawa, sedangkan kakawin adalah kidung asli Pulau Dewata. Aika Mpu Prapanca menulis Desa Warnnana kepada Desa Kamalasana atau kepada Desa Karangasem Bali, maka logis jika karyanya kemudian diklaim Kakawin Desa Warnnana, bukan geguritan yang spesial sastra Jawa.
Kelemahan tafsir Negarakertagama karya Slamet Muljana & karya lainnya yaitu tidak disajikannya teks & alfabet aslinya. Sehingga dari apa yang diterjemahkan tidak menjamin isi naskah aslinya. Dengan demikian ada beberapa hal yang tentu sulit dibuktikan karena bisa saja terjadi salah penafsiran.
Hal inilah yang kemudian mengakibatkan dugaan-dugaan, spesifik buat ke 2 pupuh terjemahan Slamet Muljana ini terdapat kekeliruan dalam menafsirkan kata & kalimat yang berbuntut panjang terhadap status geneokologis Dyah Lembu Tal & Raden Wijaya. Untuk itu Terjemahan I Ketut Riana bisa dijadikan pembanding terhadap terjemahan Selamet Muljana. Maka dibawah ini, tersaji sajikan dua terjemahan dari pupuh yang sama dari ke 2 penterjemah diatas.
Terjemahan Slamet Muljana kepada pupuh 46 bait 2 tertulis : ndan rakwekin atmwamintiga siran/ wwa sanak arddapar, apan rakwa bhatara wisnu mamisan/ parnnahniran tan madoh, versus/ ri narasinhamurtti wka ri dyah lmbu tal/ surama, sa wire laga sa dinarmma ri mirn boddapratistapagh.
Artinya : Perkawinan beliau dalam kekeluargaan taraf 3, Karena Batara Wisnu dengan Batara Narasingamurti, Akrab taraf pertama, Narasinga menurunkan Dyah Lembu Tal, Sang perwira yuda, dicandikan kepada Mireng dengan arca Buda.
Terjemahan Slamet Muljana kepada Pupuh 47 bait 1 : dyah lmbu tal/ sira maputra ri sa narendra, na donniran rsep amitiga len suputri, na lwir pawornni pakurn haji saikacitta, sajaniraja kinabehan aweh suken rat.
Artinya : Dyah Lembu Tal itulah bapa Baginda Nata, Dalam hayati atut runtun setuju sehati, Setitah raja diturut,menggirangkan pandang, Tingkah laris mereka seluruh meresapkan.
Umumnya sejarawan meyakini bahwa pupuh 46 menegaskan bahwa Narasinhamurtti artinya ayah Lembu Tal. Selanjutnya ditafsirkan bahwa Lembu Tal artinya perwira yuda (sang wireng laga) yang dicandikan kepada Mireng. Seorang perwira yuda identik dengan lelaki yang gagah perkasa.
Hal tersebut dipertegas dengan pupuh 46 yang mengungkapkan jua bahwa Dyah Lembu Tal artinya Bapa Baginda Nata. Maksud Baginda Nata disini artinya Kerta Rajasa Jaya Wardhana, nama resmi Raden Wijaya yang bernama lengkap Nararya Sanggramawijaya Sri Maharaja Kertarajasa Jayawardhana. Adanya kata bapa itu yang menegaskan Dyah Lembu Tal sebagai seseorang lelaki.
Alasan berikutnya yang mendukung pendapat Dyah Lembu Tal sebagai seseorang lelaki, ditinjau sinkron penafsiran kata Lembu yang lazim disandang oleh lelaki. Seperti halnya Lembu Sora, Lembu Peteng, Lembu Ijo, dll, semuanya artinya lelaki. Tidak ada tokoh sejarah klasik wanita memakai kata Lembu.
Dalam perdebatan, kata Lembu kerap dijadikan anggapan buat mendukung Dyah Lembu Tal sebagai lelaki. Sedangkan kata Dyah juga bukanlah nama yang merujuk kepada wanita. Kaum lelakipun memakai kata Dyah sebagai menandakan kebangsawanannya, misalnya Dyah Ranawijaya, Dyah Hayam Wuruk, Dyah Wijaya dll. Kata Dyah sepadan dengan kata Raden.
Negarakertagama dianggap asal benar, karena Mpu Prapanca tidak akan gegabah dalam menulis karyanya. Apalagi kakawin yang ditulisnya itu adalah pujasastra terhadap Majapahit yang mencapai kegemilangan kepada masa pemerintahan Hayam Wuruk. Jadi mungil kemungkinan terjadi kesalahan Prapanca dalam menuliskan jenis kelamin Dyah Lembu Tal.
Sumber lainnya yang secara tidak langsung mendukung bahwa Raden Wijaya tidak memiliki interaksi darah dengan Sunda termaktub dalam Prasasti Belawi. Disebutkan bahwa Raden Wijaya (Sri Maharaja Nararyya Sanggramawijaya) artinya keturunan Rajasa / Ken Arok. Kata Rajasawangsamaniwrndakastena memiliki arti pelindung permata Wangsa Rajasa.
Dengan demikian maka jelas bahwa Raden Wijaya tidak memiliki darah Sunda. Semua analisa diatas menganulir catatan Wangsakerta dalam PRRBN. Dan sebagai rujukan bagi penulisan buku-buku sejarah ihwal Majapahit. PRRBN terkecoh dengan kata Dyah yang dianggap wanita. Nuwun.
Disarikan dari berbagai asal