Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Banyak fakta-fakta sejarah yg sengaja disembunyikan dari pengetahuan rakyat luas. Mungkin alasannya adalah adanya keburukan atau kejahatan yg dilakukan oleh penguasa pada masa kemudian atau bisa jua buat menyembunyikan konspirasi-konspirasi dursila buat kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi kelompok-kelompok tertentu. Atau barangkali alasannya adalah terdapat kejadian yg memang tidak tercatat dengan baik.
Dalam khazanah sejarah Indonesia, khususnya Jawa, Pangeran Diponegoro menjadi satu sosok yg sangat menonjol. Bahkan pihak kolonial Belanda sendiri mengakui bahwa rakyat Jawa sulit ditaklukkan. Pada akhirnya, Perang Jawa (1825-1830) yg dikenal menjadi menjadi The Great War in Java ini, memakan waktu bertahun-tahun hingga membuat logistik Belanda menipis dan kedua belah pihak kelelahan. Berikut ini adalah rangkuman dari seri tulisan Perang Jawa sebelumnya.
Struktur Militer Utsmani dalam Laskar Diponegoro
Perlawanan Diponegoro disusun dengan struktur militer Turki. Nama berbagai kesatuannya adalah adaptasi dari nama kesatuan militer Khilafah Utsmani. Panglima tertingginya adalah Sentot Ali Basah, adaptasi dari gelar Ali Pasha bagi jenderal militer Turki. Sementara unit-unitnya antara lain bernama Turkiyo, Bulkiyo dan Burjomuah menerangkan dampak Turki. Bulkiyo adalah adaptasi pengecap jawa bagi Blk, struktur pasukan Turki dengan kekuatan setara resimen. Sementara jabatan komandannya adalah Bolukbashi.
Susunan militer Turki ini membedakan pasukan Diponegoro dengan pasukan Mangkunegaran Surakarta yg memakai struktur legiun (mengadopsi sistem Perancis). Juga tidak sama dengan kesultanan Yogyakarta yg memakai struktur bregodo (brigade, mengadopsi sistem Belanda).
Kiriman Senjata
Tak hanya struktur militer ala Turki, Belanda bahkan menyangsikan (Perang Jawa atas perintah Khilafah Utsmaniy di Turki) terdapat kiriman senjata dari Turki melalui pantai selatan Jawa. Karenanya pantai yg menghadap Samudera Hindia ini dijaga ketat. Deretan benteng kokoh dibangun Belanda menghadap samudera selatan. Sisanya antara lain masih bisa ditemukan di Cilacap, Jawa Tengah, dan Pangandaran, Jawa Barat. Penduduk lokal kini menyebutnya benteng pendhem (terpendam) alasannya adalah sebagian strukturnya terpendam di bawah tanah.
Tak relatif dengan benteng berbentuk tembok fisik, benteng mitos agaknya jua dibangun oleh Belanda. Termasuk dengan menanamkan mitos ihwal keramatnya pantai selatan. Belakangan muncullah mitos ihwal Ratu Kidul yg hingga kini masih disembah dengan berbagai ritual oleh keraton maupun penduduk pesisir selatan.
Mitos ihwal pantai selatan itu membuat penduduk lokal selalu dibayang-bayangi ketakutan pada kemurkaan Ratu Kidul. Mereka takut dan enggan mengeksplorasi potensinya. Termasuk potensinya menjadi gerbang rekanan internasional dengan global luar. Inilah yg diperlukan Belanda, perjuangan Muslim di Nusantara terisolir dari global Islam.
Fakta yg Disembunyikan dalam Keraton Ngayogyakarta dan Pangeran Diponegoro
Yogyakarta di awal abad ke-19 adalah kota yg sangat indah. Willem van Hoogendorp (1795-1838) yg adalah tangan kanan Komisaris Jenderal Du Bus de Gisignies (menjabat 1826-1830) bertandang ke Surakarta dan Yogyakarta, sehabis tiga tahun perang menghancurkan bangunan-bangunan terbagus di kota itu.
Solo (Surakarta) selalu memberi saya kesan yg sangat luar biasa, akan tetapi Djocja (Yogyakarta) dalam masa kejayaannya pastilah adalah Versailles Jawa. Tidak hingga 1/10-nya yg tinggal utuh, akan tetapi terlihat pada reruntuhan tembok yg besar-besar, demikian yg dia catat.
Menurut Residen Belanda (1848-1851) Baron A.H.W de Kock, Yogyakarta mencapai zenit kemakmurannya lebih kurang 1820. Dalam catatannya ditulis, Masa itu Djocja makmur, kaya dan indah. Negeri subur, manis, asri, penuh gedung-gedung bagus, taman-taamn yg rapi dan tempat tetirah yg bagus-bagus. Makanan dan air berlimpah dan perdagangan berkembang. Bangunan-bangunan di Yogya bahan temboknya berasal dari pertambangan batu kapur di Gamping. Rumah-rumah lain sekalipun terbuat dari kayu dan bambu di cat putih dan asri.
Jan Izaak van Sevenhoven (1782-1841), seseorang pejabat tinggi Kerajaan Belanda mengungkapkan bahwa banyak pohon beringin tinggi-tinggi dan rindang di sepanjang jalan utama menuju keraton. Dan selepas jalan utama terdapat barisan rumah dan toko Tionghoa yg di sebelah baratnya terdapat rumah-rumah besar tempat tinggal pejabat pemerintah Belanda yg berhalaman luas dan memiliki kolam. Di seberangnya berdiri Benteng Vredeburg. Sedangkan daerah pemukiman di belakang benteng adalah pemukiman kumuh.
Sri Sultan Hamengku Buwana II pada tahun 1808 memiliki 16 resimen prajurit keraton berjumlah 1.765 orang dan 976 diantaranya menyandang bedil dan tombak. Mereka mendapat gaji berupa tanah dan diberi tempat tinggal sangat dekat dengan keraton. Sebagian diantara mereka adalah prajurit bayaran dari Bali dan Bugis. Selain itu masih terdapat pasukan perempuan (prajurit keparak estri) berjumlah 300 orang, yg adalah anak perempuan pejabat tinggi atau keluarga kelas atas di pedesaan. Mereka mahir menunggang kuda dan memakai tombak.
Selain pasukan-pasukan itu, Sultan masih punya pasukan pejabat (prajurit arahan). Sebanyak 7.246 orang di dapat dari para pangeran, khususnya putra mahkota (Pangran Adipati Anom). Belum lagi 2.126 prajurit yg disediakan oleh para bupati. Jadi, contohnya, dalam keadaan darurat perang, Sultan bisa mengerahkan lebih kurang 10.000 prajurit dalam tempo singkat. Biaya pemeliharaan pasukan itu diambil dari pungutan dan kerja bakti penduduk desa.
Thomas Stamford Raffles Menjarah Harta Keraton Yogya
Maklumat Gubernur Jenderal Daendels pada 28 Juli 1808 yg menghapus jabatan residen di keraton dan menggantikannya dengan duta yg posisinya sejajar dengan raja, menjadi galat satu faktor penyebab kekacauan. Daendels bermaksud memusatkan kekuasaan di Batavia. Ia mengangkat pejabat dan memberi pangkat buat menciptakan loyalitas pemimpin lokal. Jadi para Raja dan Sultan pribadi tunduk di bawah kedudukannya.
Saat Inggris mengalahkan Belanda, Inggris memperalat Daendels selama 1811-1816. Maka terjadilah penjarahan besar-besaran. Kekayaan yg dikumpulkan Sultan Hamengku Buwana II selama 16 tahun pertama memerintah, dibawa ke Eropa. Ditaksir nilainya mencapai 1 juta dollar Spanyol, mata uang emas dan perak, dan intan berlian yg benilai sangat tinggi. Dan selain benda-benda dan perhiasan, sangat banyak naskah-nnaskah keraton yg dijarah diangkut ke Inggris. Sebagai informasi, dari naskah-naskah tersebut Sir Thomas Stamford Raffles menyusun buku Babad Tanah Jawa (pada tahun 1815 Raffles kembali ke Inggris sehabis Jawa dikembalikan ke Belanda usai Perang Napoleon).
Situasi ini menyebabkan kehidupan masayarakat tidak masuk akal. Hidup menjadi sulit dan banyak terjadi tindak kejahatan. Di daerah banyak yg tidak tidak sepakat dengan kebijakan Sultan, dan lebih banyak lagi yg tidak menyukai Belanda. Maka akhirnya banyak terjadi pemberontakan. Pemberontakan paling besar dilakukan oleh Raden Rangga (Bupati Wedana) yg jua galat satu menantu Sultan. Karena pemberontakan ini sangat mempersulit Daendels, maka beliau menekan Keraton agar ikut dan menumpasnya
Hubungan antara Gubernur Jenderal dan Keraton berada dalam titik nadir, dan tidak pernah membaik jua hingga rezim beralih ke tangan Inggris. Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles beberapa kali mendatangi Keraton dengan maksud agar Keraton tunduk kepada pemerintah kolonial. Sampai akhirnya Keraton sungguh diserbu dan jatuh ke tangan Inggris pada 20 Juni 1812.
Situasi politik dalam negeri, di Keraton Ngayogyakarta itulah yg membuat beberapa elite kerajaan melakukan berbagai reaksi dan manuver. Bergabung atau menentang. Dan situasi ini yg pada akhirnya mendorong Diponegoro dan kakeknya, Pangeran Mangkubumi mencanangkan perang pada bulan Juli 1825 di Selarong. Diponegoro meniadakan pajak di wilayahnya dan mendapat banyak bantuan dari banyak orang yg sejalan dengannya. Para pangeran dan sesepuh, dan rakyat menyumbangkan barang berharga mereka mirip perhiasan, uang tunai, dan lain-lain buat dana perang.
Sebelumnya para pengikutnya yg berjumlah banyak telah mempersenjatai diri mereka dengan ketapel, tombak, bambu runcing, pentungan. Dan dari sebagian dana yg terkumpul, Diponegoro memerintahkan buat membeli senjata api. Dan persenjataan Belanda output pampasan mirip meriam jua dimanfaatkan oleh pasukannya. Adapun mesiunya bermutu sangat tinggi dan didapatkan dari desa-desa di selatan dan barat Yogyakarta, yg dirancang di Into-Into.
Pusat produksi mesiu ini adalah di Tegalweru. Peracikan peluru, pemantik dan mesiu kelas wahid ini dilakukan oleh para tukang dan pintar besi yg terlatih dan dalam pengerjaannya sering dibantu oleh energi perempuan. Sedangkan sentra persenjataan adalah di Kotagede. Persenjataan ini didistribusikan oleh para kuli panggul yg banyak mencari nafkah di jalanan.
Stategi perang yg digunakan Diponegoro adalah merobohkan pohon-pohon, menghalangi jalan, membakar jembatan kayu, menggali lubang jebakan dan mengisinya dengan ranjau bambu runcing. Semuanya itu dilakukan penduduk desa atas perintahnya. Diponegoro jua mengadopsi cara pasukan Inggris saat menyerbu Yogyakarta pada Juni 1812, yaitu melumpuhkan jalur komunikasi agar musuh tidak bisa mendatangkan tragedi bantuan.
Tentara Belanda yg ditangkap dijatuhi beragam eksekusi. Tawanan perang ini banyak yg disunat dan diperintahkan memeluk agama Islam menjadi agunan pembebasannya.
Untuk menjaga pasokan perbekalan, beliau mengangkat sepupunya, Pangeran Mangkudiningrat I menjadi kepala tambang di Kali Progo. Selain itu beliau jua berhasil mengajak banyak kelompok bandit yg menguasai tempat-tempat penyeberangan dan sungai buat ikut bergabung bersamanya dalam perang.
Adapun pasukan Diponegoro berasal dari banyak daerah mirip Demak, Rembang, Madiun, Buleleng dan Klungkung, Bali (alasannya adalah mantan istri pamannya, R. Ay. Mangkubumi separuh berdarah Bali). Kemudian R. Ay. Mangkubumi menikah dengan Kyai Mojo. Juga terdapat lagi pasukan-pasukan yg terdiri dari para santri.
Keragaman dari pasukan inilah yg menjadi titik lemah. Karena terjadi permasalahan antara pasukan Kyai Mojo dan pasukan reguler Diponegoro yg dipicu alasannya adalah sentimen pribadi berupa kasus perkawinan dalam keluarga besar.
Dalam kesaksiannya sehabis menyerah kepada Belanda di Gunung Merapi pada 12 November 1828, Kyai Mojo mengungkapkan, Saya bersedia mendampingi Diponegoro berperang alasannya adalah beliau berjanji akan memulihkan agama (Islam). Tapi belakangan saya memahami itu bukan tujuan utama dia, alasannya adalah dia segera membentuk dan menata suatu keraton (pemerintahan baru). Ini berarti sejak saat itulah rekanan antara Diponegoro dengan para santri telah terputus alasannya adalah Diponegoro dipercaya mengingkari janji (padahal Diponegoro sendirinya suka mengutuk orang yg mengingkari janji kepadanya).
Lebih sial lagi, berangkat ke Batavia pada awal April 1830, Diponegoro mendapati bahwa 2 rekan keagamaannya yg terdekat, Kyai Pekih dan Haji Badaruddin, menetapkan tidak ikut ke pengasingan. Hal inilah membuat Diponegoro mengeluh, Inilah orang-orang yg harusnya pertama-tama mendukung saya, alasannya adalah apakah yg saya memahami ihwal Kitab Suci bila bukan yg mereka ajarkan kepada saya? Merekalah orang-orang yg saya andalkan, dan sekarang,… justru meninggalkan saya
Pangeran Diponegoro memang elite bangsawan kraton yg tidak sama. Ia relatif cerdas, dan memiliki kepedulian yg besar terhadap penderitaan rakyat mungil. Pandangan politiknya tajam. Perjanjian Giyanti yg diteken tahun 1755 yg membagi tanah keraton Yogyakarta dan Surakarta hingga ke bagian sekecil-kecilnya, berdasarkan Pangeran Diponegoro, adalah sengaja dirancang Belanda buat mengadu domba.
Pangeran Diponegoro adalah seseorang pangeran yg tidak sama dari ningrat kebanyakan. Ia besar diluar istana dan amat dekat dengan rakyat. Berbeda dengan orang-orang ningrat lain dalam keraton yg belajar agama Islam secara sembari kemudian, Diponegoro memperdalam agama Islam secara serius. Ditambah dengan kebiasaannya berpuasa dan bertapa di tempat-tempat terpencil, maka spiritualitasnya amat tinggi, dan membuatnya disegani dan ditakuti.
Pangeran yg terkenal saleh ini legendanya bagai mistik. Selama berkobarnya Perang Jawa pada 1825-1830, beliau menjadi mirip yg diramalkan kakek buyutnya, Pangeran Mangkubumi, sungguh menunjukkan kehancuran besar bagi Belanda.
Pangeran Diponegoro, Pangeran Saleh yg Pudah Tergoda oleh Wanita
Perawakan Diponegoro tidak terlalu tinggi, cenderung gempal dan bertenaga. Wajahnya jua tidak terlalu tampan, akan tetapi sorot matanya tajam. Dalam babad karyanya, Babad Diponegoro, beliau mengaku memiliki sifat sering tergiur pada perempuan. Ia mengaitkan galat satu kekalahan terbesarnya dalam perang adalah penyelewengannya dengan gadis Tionghoa, yg menjadi tukang pijatnya setelah ditangkap di Kedaren (Delanggu).
Padahal di Tegalrejo beliau memiliki empat orang istri dan jua beberapa selir. Bahkan galat satu selirnya relatif manis, dan sempat menjadi gundik Assisten Residen Yogya 1823-1825, P.F.H. Chevalier yg playboy, selama beberapa bulan
Residen Manado 1827-1831 (tempat pengasingan Dipanegara), Daniel Francois Willem Pietermaart bersaksi mengenai Dipanegara, bahwa Dipanegara sering membicarakan para perempuan yg tampak menganggapnya menjadi kekasih yg dagi.
Selama pengasingan di Manado, Diponegoro mencoba mengawini gadis setempat yg adalah putri seseorang muslim terkemuka di Manado, Letnan Hasan Nur Latif. Selain Letnan Hasan berkeberatan, penguasa Belanda pun demikian dan mengungkapkan bahwa itu akan membawa nasib sial bagi si perempuan.
Total Diponegoro punya 9 anak (5 laki-laki dan 4 perempuan), 2 diantara anaknya wafat dalam usia belia di Tegalrejo. Selama Perang Jawa, Diponegoro mengawini tiga perempuan, galat satunya R. Ay. Ratnaningsih (yg berdasarkan kesaksian para pejabat Belanda: amat manis), yg mendampinginya di pengasingan dan melahirkan 2 orang anak.
Sang Pangeran legendaris ini secara jujur mengakui kelemahannya menjadi penggemar perempuan, sehingga beliau gampang tergiur. Bagaimanapun jua, beliau tetaplah dikenal menjadi seseorang muslim yg saleh, yg sayangnya, niatnya buat naik haji tidak pernah kesampaian.
Pangeran Diponegoro dan Hasrat Seks yg Menggebu
Dalam keadaan terkena malaria Dipanegara dibawa ke Semarang dan kemudian dibawa ke Batavia dengan kapal Van der Capellen. Turut dengannya 18 orang lain termasuk istrinya, R. Ay. Ratnaningsih, adik perempuannya, R. Ay. Dipowiyono dan iparnya R. Tumenggung Dipowiyono.
Ia tinggal di Stadhuis (Balaikota), 8 April 3 Mei 1830, bukan di penjara bawah tanah gedung itu, di mana Kyai Mojo dan kelompoknya ditahan. Kemudian beliau dibawa ke pengasingan di Manado dan tinggal dalam benteng Amsterdam. Sekalipun menjadi tahanan, Diponegoro jua mendapat tunjangan per bulan sebesar 600 gulden. Dan kemudian dipindahkan ke Makassar pada Juli 1833.
Para opsir Belanda yg mencatat, bahwa Diponegoro amat keras kepala. Ia tidak peduli, atau bertanya apalagi memprotes, saat uang tunjangannya dipotong menjadi 200 gulden per bulan. Ia sering cekcok dengan adik dan iparnya. Adik dan iparnya bahkan mengungkapkan, andai saja boleh menentukan mereka lebih bahagia pulang ke Jawa, terpisah dari sang pangeran.
Meski permohonan Diponegoro (buat melamar anaknya) ditolak Letnan Hasan Nur Latif, sang pangeran tetap proaktif dalam kehidupan seksualnya. Di pengasingan Manado dan Makassar, beliau memiliki lebih dari tujuh anak, sebagian dengan perempuan-perempuan Jawa di luar istrinya yg resmi.
Di pengasingan Makassar, Diponegoro tinggal di Benteng Fort Rotterdam sejak 11 Juli 1833. Ia tidak berniat lagi pulang ke Jawa, sekalipun adik dan iparnya telah pulang ke Jawa demi menghindari konflik yg tiada usai dengan dirinya. Ia berhasrat naik haji ke Mekkah dengan uang tunjangan yg dia kumpulkan. Sayang, beliau wafat alasannya adalah usia tua pada Senin, 8 Januari 1855, sehabis 25 tahun diasingkan.
Pangeran Diponegoro Sakti Dan Kebal Peluru
Pangeran Diponegoro ditakuti alasannya adalah suka menjatuhkan kutuk kepada siapapun yg ingkar janji dan mengkhianati dia. Karena beliau memiliki kekuatan spiritual dampak penguasaan agama dan suka bertapa. Maka orang sekelilingnya menduga barang-barang pribadi dia mirip tongkat memiliki kekuatan. Saat di pengasingan, sisa makanannya dipercaya dapat menyembuhkan penyakit.
Dalam peperangan beliau diyakini kebal peluru. Residen Pietermaart memperhatikan waktu Diponegoro duduk bertelanjang dada di pekarangan Benteng Amsterdam. Ia melihat bahwa tak terdapat bekas luka tembak di badan Diponegoro padahal saat perang sang pangeran tertembak di dada kiri dan lengan kanannya.
Terkait kesaktiannya memunculkan banyak dugaan. Tapi Diponegoro nampaknya ingin menegaskan kepada istrinya bahwa beliau tidak pernah menyeleweng, alasannya adalah rakyat Jawa percaya bahwa ilmu kekebalan seseorang akan hilang andai saja orang tersebut menyeleweng.
Walau suka mengutuk, disegani dan ditakuti, sesungguhnya Diponegoro adalah orang yg baik hati. Ia tidak segan mengkritik seseorang perwira Belanda saat hendak menjatuhi eksekusi kepada seseorang opsir. Di Yogya, aku dan ayahku selalu berpegang pada anggaran bahwa seseorang dilarang diadili bila kejahatannya belum terbukti.
Karena rajin berpuasa dan bertapa di tempat-tempat terpencil, spiritualitasnya amat tinggi. Ia mengungkapkan dalam Babad Diponegoro bahwa beliau pernah 2 kali bertemu dengan Ratu Kidul. Pertama saat bertapa di Pantai Selatan, tepatnya di Goa Langse, dan yg kedua saat beliau berkemah di Sungai Progo.
Jenderal Seterunya Pun Tidak Setuju Diponegoro Ditangkap Secara Licik
Perang Jawa berlangsung dalam waktu yg terhitung usang. Pihak Belanda di bawah Jenderal de Kock kehilangan lebih kurang 6.000 serdadu infanteri dan 1.200 artileri dan kavaleri selama 2 tahun pertama perang. Di pihak Diponegoro jua terjadi perlemahan internal alasannya adalah banyak faktor. Kedua pihak sebenarnya sama-sama telah lelah berperang, tetapi mereka masih jua ngotot buat tanda kekuatannya. Sampai akhirnya Belanda berhasil memaksa Dipanegara berunding dan menahannya secara tidak fair.
Titik balik kemunduran Diponegoro adalah saat pasukan Belanda menjadikan tewasnya galat satu panglimanya yg tersisa, Pangeran Ngabehi dan kedua putranya pada 21 September 1829. Lalu pada 11 November 1829 beliau nyaris tertangkap oleh pasukan Marsose (motilitas cepat) pimpinan Mayor Michiels yg memaksanya bersembunyi di hutan selama 3 bulan, hingga akhirnya tamat dalam perundingan yg gagal pada 8-28 Maret 1830.
Pada akhir perundingan, setelah Raja Willem I menunjuk Johannes van den Bosch menjadi Gubernur Jenderal baru, Diponegora ditangkap.
Masyarakat Eropa banyak yg tidak sepakat dengan penangkapan yg sangat mengabaikan perundingan dan etika perang. Jenderal de Kock jua termasuk yg tidak sepakat. Hal inilah yg menyebabkan Jenderal de Kock mengundurkan diri dan menyerahkan jabatannya kepada wakilnya.
Jenderal De Kock hingga-hingga terus mengingatkan buat melakukan penghematan, alasannya adalah perang ini memakan porto yg sangat besar. Tak kurang pemerintah koonial Hindia Belanda hingga mengeluarkan porto sebesar 25. 000.000. Dalam peperangan tersebut, Belanda akhirnya menyadari bahwa pendekatan militer (hard power) tidak bisa dilakukan lagi.
Dalam situasi ini bukan lagi kekuatan militer, alasannya adalah dipercaya telah hingga pada puncaknya. Kemudian, Jenderal De Kock mengerahkan para pakar-pakar Jawa. Menggunakan soft power. Mempelajari budaya Jawa. Belanda kemudian mempelajari karakter dan watak para pemimpin Jawa dan mendapatkan kata kunci: bangsawan Jawa sangat bertenaga memegang nila-nilai yg dipercaya luhur. Jadi, apa yg telah dikatakan tidak mungkin dicabut kembali. Dia akan memenuhi janjinya.
Akhirnya, Jenderal De Kock mengutus Kolonel Cleerens buat membujuk Pangeran Diponegoro buat berunding. Para pakar-pakar Jawa menyarankan agar Belanda wajib mendesak Diponegoro hingga mengungkapkan Ya. Dan jawaban Ya Diponegoro buat tawaran berunding telah relatif bagi Belanda memenangkan perang dan menaklukkan orang Jawa.
Diponegoro tidak pernah sekalipun membuat kesepakatan dengan Belanda. Sebagaimana yg diceritakan dalam buku-buku sejarah. Setelah hari raya puasa, Diponegoro bermaksud bersilaturahmi kepada De Kock. Dari silaturahmi itulah terjadi penangkapan. Ketika Diponegoro akan berpamitan, Tunggu Dulu, Kata De Kock. Kemudian ajudan De Kock melucuti semua pasukan Diponegoro, dan telah disiapkan kereta buat dibawa ke tempat penahanan. Maka tak heran andai saja De Kock mengungkapkan sehabis penangkapan tersebut, Saya sanggup menaklukkan Diponegoro akan tetapi saya tidak sanggup menaklukkan orang Jawa. Selesai. Nuwun