Dunia Keris Selamat tiba kerabat perkerisan. Ternyata bukan demam memahami bundar saja yg serba dadakan. Bahkan ziarah pun juga ikut dadakan. Setidaknya hal ini berlaku pada teman saya yg mengajak saya untuk menemaninya melakukan ziarah ke makan Pangeran Sambernyowo, pendiri dinasti Mangkunegaran, Solo, malam Jumat kemarin.
Mending kalau dekat-dekat seputaran Jogja ini. Lha ini, pada Astana Mangedeg Matesih, Tawangmangu, Karanganyar, 2 jam asal Jogja. Saya katakan dadakan, karena teman saya ini nir menyebutkan jauh hari sebelumnya, selain waktu dia sudah pada kereta, Kamis siangnya. Dia nir menjelaskan secara secara rinci tujuannya, bahkan dia juga bukan trah Mangkunegaran, maka sungguh aneh keinginannya kemarin itu begitu menggebu, karena saya memahami dia tiba asal Mojokerto, kalau nir ada maksud tersembunyi buat apa jauh-jauh mengunjungi makam malam hari dengan mendadak? Kok koyo memahami dadakan wae.
Karena kebetulan saya nir ada kegiatan yg terlalu penting, maka ajakannya atau lebih tepatnya keinginannya tersebut saya sanggupi. Saya pun nir menanyakan lebih jauh, siapa memahami nanti sehabis usai ziarah dia mau bercerita. Perjalanan asal Jogja ke Matesih terbilang lancar, 2 jam lebih sekian menit, lebih tepatnya pukul 23.15 WIB kami hingga pada parkiran loka Pangeran Sambernyowo disumarekan. Sangat sepi, sepertinya sebelum kami hingga pada loka ini baru saja diguyur hujan.
Setelah menapaki tangga & menemui juru kunci, kami memakai beskap menjadi kondisi wajib untuk bisa memasuki makam pokok. Entah apa tujuannya, yg kentara waktu jarum jam menentukan pukul 12 malam teman saya baru mengajak masuk makam. Namun sebelum ke makam pokok, yakni Pangeran Sambernyowo, dia terlebih dulu mengajak ke keliru satu makam pangeran yg lain. Hanya kami berdua, nir ada yg lain. Bahkan waktu juru kunci atau petugas memperlihatkan diri untuk menemani, teman saya menolaknya. Suasana sangat menegangkan, sepi, dingin, lembab, & cita rasanya begitu poly suara-suara aneh yg bercampur dengan suara serangga malam.
Karena yg punya hajat merupakan teman saya, saya hanya ngithil (ikut) dibelakang. Setelah melakukan sembah pada depan kamar, teman saya itu masuk, saya mengikuti saja pada belakangnya. Dia bersila pada depan nisan itu, menghaturkan sembah lagi & mulutnya komat-kamit. Bau wangi dupa & kembang tujuh rupa menyergap hidung, menambah seram cita rasanya. Saya pun ikut memejamkan mata untuk menajamkan seluruh indera.
Ketika memasuki makam pokok, makam Pangeran Sambernyowo, kami melakukan ritual yg sama. Keanehan terjadi, tiba-tiba saya mencicipi suatu getaran yg membentuk kepalaku berdenging, semakin keras & cita rasanya misalnya bergoyang seluruh tubuhku. Tak bertenaga cita rasanya, pribadi saja saya membuka mata, anehnya getaran itu pribadi menghilang, & teman saya juga sudah menghilang. Rupanya saya ditinggal sendirian, dia sudah pindah masuk ke makam yg lain. Tapi saya nir mengikuti, hanya duduk pada luar saja sambil bersedekap, bukan karena apa-apa, karena dingin saja.
Sejatinya, pengalaman yg saya alami merupakan hal yg masuk akal. Karena seluruh benda yg pernah hidup pasti memiliki getaran atau Ether atau lebih lazimnya lagi biasa dianggap Daya Magnetik yg berwujud tenaga supranatural, pada antara yg memiliki itu merupakan mayat. Konon, mayat zaman sekarang kandungan energinya lebih lemah dibandingkan mayat zaman dulu. Ini dinilai asal sifat kehidupan manusia yg semakin modern semakin materialistis. Maka ada yg menyebutkan, mayat zaman dulu lebih bertenaga ketimbang mayat zaman sekarang, lantaran adanya kriteria nyata atau maya, baik atau buruk, dangkal atau dalam, & menyatu atau renggang dengan kekuatan tanah.
Hal ini bisa kita rasakan jikalau sampeyan masuk ke kuburan, pastinya mencicipi suasana lain dibanding pada luar kuburannya. Hal ini disebabkan bersliwerannya getaran dengan aneka macam kekuatan yg ada pada atas tanah pekuburan. Tentu saja masing-masing mayat memiliki getaran berbeda, tergantung ether peziarah dalam merasakannya. Hal inilah yg sering saya rasakan waktu berada pada setiap makam yg pernah saya ziarahi. Manusia meninggal hanya jasmaninya saja, akan namun rohnya tetap hidup. Nah, getaran orang yg semasa hidupnya mempunyai kesaktian, energinya sangat terasa, hal ini hanya bisa ditangkap sang mereka yg mengkaji ilmu batin. Bahkan ada yg menyebutkan, kesaktian seseorang tetap menempel pada jiwanya walau sudah meninggal.
Lebih jauh tentang Ether ini, makam pada wilayah tinggi getarannya lebih bertenaga dibanding kuburan pada wilayah rendah. Barangkali saja, tanah dataran tinggi memiliki kualitas penyerapan daya lebih poly ketimbang dataran rendah. Meski demikikian getaran pada kuburan datangnya nir cuma asal mayat saja, juga asal penghuni "yg lain". Nisan juga memiliki getaran, tergantung siapa yg dikubur. Bila yg dikubur orang sakti, maka nisannya memiliki tenaga sakti juga. Dari pengalaman saya pada atas, getaran mayat ternyata bisa mempengaruhi peziarah. Bisa positip juga negatip. Berziarah ke kuburan tokoh dunia hitam, konon bisa berpengaruh pada jiwa peziarah. Namun getaran tokoh sakti yg mengeluarkan tenaga mampu bermanfaat juga, tentu dengan ilmu spesifik. Demikian. Nuwun.