Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Sepanjang sejarah humanisme, insan telah poly melalui tantangan dan kekacauan (chaos). Sebelum sejarah mampu dikatakan sejarah, semuanya hanyalah kontradiksi-kontradiksi baik mini mau pun akbar. Maka, senang tidak senang, sejarah yang mampu dikatakan sejarah berawal dari kontradiksi-kontradiksi dan tanpa disadari, begitulah adanya. Maka dari itu wajar saja terdapat sebuah adagium mengenai sejarah; siapa yang melupakan sejarah, tamatlah riwayatnya. Adagium tersebut menjelaskan secara intrinsik andai saja insan tidak mengingat sejarah sama halnya tidak belajar darinya. Lha wong kisah nabi Adam dipatahkan rusuknya supaya Hawa bernafas, telah terdapat kontradiksi-kontradiksi, toh?
Jika dalam Jawa, terutama Jawa Timur tempat lahir saya terdapat tokoh Brawijaya yang mengakar kuat dalam memori rakyat, maka tatar Sunda pun terdapat tokoh yang inheren kuat dalam memori masyarakatnya, Siliwangi. Periode dari 2 tokoh yang saya sebut dalam atas tidaklah jauh beda, dan kesamaannya 2 tokoh tersebut, meninggal dengan membawa jasadnya alias moksa (ngahyang).
Sosok Siliwangi, kita lebih mengenalnya sebagai tokoh sakti dan raja Sunda yang hebat. Sayangnya, misalnya halnya Brawijaya, sosok legendaris Siliwangi raja Sunda itu misterius keberadaannya. Tidak terdapat makamnya. Ada yang bilang ngahiang, tilem. Begitu pun Kerajaan Pajajaran, tidak terdapat laratan berupa jejak bangunan. Padahal, secara historis lebih awal berdiri dari Kesultanan Cirebon dan Banten. Kedua kerajaan ini mempunyai jejaknya yang sampai sekarang pun masih mampu kita temui, dan bahkan Cirebon sampai sekarang masih mempunyai raja. Namun, untuk Pajajaran tidak terdapat. Seakan-akan menjadi misteri yang hilang dari sejarah Sunda.
Pun halnya, andai saja Jawa Timur terdapat Trunojoyo, maka tatar Sunda pun punya tokoh yang tak kalah terkenal yakni Dipati Ukur. Menariknya 2 tokoh ini, 2-duanya dalam klaim sebagai pemberontak Mataram. Nah, karena Trunojoyo telah pernah saya sebelumnya dengan judul Sejarah Pemberontakan Trunojoyo.Cerita Dipati Ukur tidak kalah menarik dengan hikayat Perang Bubat yang kontroversial itu. Dalam Perang Bubat poly versi, selengkapnya baca Perang Bubat : Romantisme dan Kekuasaan begitu maupun cerita Dipati Ukur mempunyai ragam perspektif. Namun, dalam kesempatan kali ini kita hanya akan membahas Dipati Ukur secara khusus.
Baca maupun Dyah Pitaloka : Korban Ambisi Politik Gadjah Mada
Membincang tokoh yang namanya dalam abadikan sebagai nama jalan dalam Bandung ini, misalnya halnya mengumpulkan kepingan puzle karena saking banyaknya versi. Bahkan, untuk menetukan dalam mana Dipati Ukur dikebumikan pun sangat bias. Ada salah satu sumber yang menyampaikan makam Dipati Ukur dalam Kabuyutan, dekat denga rel kereta api antara Soreang Ciwidey. Dan versi lainnya yang saya temukan artinya bahwa waktu Dipati Ukur bentrok dengan Mataram, beliau tertangkap dalam Gunung Lumbung, dekat Pengalengan, kemudian dibawa ke Mataram dan dihukum meninggal dalam alun-alun Mataram.
Tapi dari cerita dalam atas kentara Dipati Ukur merupakan orang akbar yang karena misterinya membuat beliau menjadi semacam mitos dan legenda tanpa kejelasan sejarah. Menjadi sangat logis penyebab dari tak terdapat kejelasan sejarah mengenai Dipati Ukur ini. Karena dalam waktu itu Dipati Ukur merupakan salah satu orang yang paling dicari sang Mataram. Kemudian dalam akhirnya rakyat menjadi takut untuk menceritakan kisah Dipati Ukur secara utuh. Akhirnya, sejarahnya pun menjadi parsial alias tidak mampu utuh.
Baik, tapi sebelum kita membahasnya lebih jauh, saya akan ajak kerabat perkerisan untuk mengulik sedikit sejarah awal Sunda, selengkapnya mampu baca dalam Sejarah Lengkap Kerajaan Galuh. secara singkat saya jelaskan dalam sini, kerajaan Galuh merupakan sebuah kerajan dalam bawah kekuasaan Tarumanegara yang didirikan dalam tahun 612 sang Wretikandayun yang kemudian ditaklukan sang Kesultanan Cirebon dalam tahun 1528. Sekira tahun 1524, datanglah Fadhilah Khan ke Cirebon. Beliau artinya putra dari Sultan Huda dalam Samudera Pasai. Orang Portugis menyebut Fadhilah Khan sebagai Faletehan. Sebelum diangkat menjadi panglima prajurit Demak, sang Sultan Trenggono, Faletehan diberi tugas untuk berbagi Islam dalam tempat Kekuasaan Pajajaran yakni Cirebon membantu Syarief Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Memburu Tuah dalam Petilasan Keraton Pakungwati
Gabungan prajurit Demak dan Cirebon akhirnya dalam tahun 1526 menguasai Banten. Kemudian Sunda Kelapa dan Pelabuan Pajajaran pun mampu dikuasai dalam tahun 1527, Kerajaan Hindu Talaga (Majalengka) ditaklukan tahun 1529 (panglima perangnya waktu itu artinya Pangeran Walangsungsang). Dan puncaknya artinya dalam tahun 1579 adonan prajurit Demak, Cirebon dan Banten ini akhirnya mampu meruntuhkan sentra kerajaan Sunda Pakuan. Dari beberapa kerajaan penting dalam tatar Sunda yang ditaklukan sang pasukan Gabungan itulah akhirnya semakin membuka jalan bagi Mataram untuk menguasai tatar Sunda.
Kerajaan Sumedanglarang didirikan dan diperintah pertama kali sang Prabu Geusan Ulun dalam (1580-1608),dengan ibukota dalam Kutamaya, suatu tempat yang terletak sebelah Barat kota Sumedang sekarang. Wilayah kekuasaankerajaan itu meliputi tempat yang kemudian dikenal sebagai Priangan, kecuali tempat Galuh (sekarang bernama Ciamis).
Ketika Kerajaan Sumedang Larang diperintah sang Raden Suriadiwangsa, anak tiri Geusan Ulun dari Ratu Harisbaya, Sumedanglarang menjadi tempat kekuasaan Mataram sejak tahun 1620. Sejak itu status Sumedanglarang pun berubah dari kerajaan menjadi Kabupaten dengan nama Kabupaten Sumedang. Mataram menjadikan Priangan sebagai tempat pertahanannya dalam bagian Barat terhadap kemungkinan serangan Pasukan Banten dan atau Kompeni yang berkedudukan dalam Batavia, karena Mataram dalam bawah pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) bermusuhan dengan Kompeni dan konflik dengan Kesultanan Banten.
Pada tahun 30 Mei 1619, VOC datang ke Batavia untuk mendirikan kongsi dagang dalam sana. Kongsi dagang VOC ini cepat sekali maju pesat karena VOC menerapkan sistem monopoli dalam wilayah dagangnya bahkan sampai ke wilayah dagang dalam tempat kekuasan Mataram. Hal inilah yang memicu Sultan Agung yang berkuasa waktu itu menjadi geram karena polah tingkah VOC ini membuat tataniaga Mataram menjadi tersendat. Merasa dirugikan sang pola tingkah VOC, Mataram dalam tahun 1628 menetapkan untuk menyerang Batavia. Gagal, mencoba kembali dalam tahun 1629 tetap gagal. Nah, dari sinilah sejarah Dipati Ukur dimulai
Untuk mengawasi wilayah Priangan, Sultan Agung mengangkat Raden Aria Suradiwangsa menjadi Bupati Wedana(Bupati Kepala) dalam Priangan (1620-1624), dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata, terkenal dengan sebutan Rangga Gempol I.
Sebelum Kabupaten Bandung berdiri, tempat Bandung dikenal dengan sebutan "Tatar Ukur". Menurut naskah Sadjarah Bandung, sebelum Kabupaten Bandung berdiri, Tatar Ukur artinya termasuk tempat Kerajaan Timbanganten dengan ibukota Tegalluar. Kerajaan itu berada dibawah dominasi Kerajaan Sunda-Pajajaran. Sejak pertengahan abad ke-15, Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun temurun sang Prabu Pandaan Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur.
Pada masa pemerintahan Dipati Ukur, Tatar Ukur merupakan suatu wilayah yang cukup luas, meliputi sebagian akbar wilayah Jawa Barat, terdiri atas sembilan tempat yang dikenal sebagai "Ukur Sasanga". Setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh (1579/1580) dampak gerakan Pasukan Banten dalam perjuangan berbagi agama Islam dalam tempat Jawa Barat, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang, penerus Kerajaan Pajajaran.
Tahun 1624 Sultan agung memerintahkan Rangga Gempol I untuk menaklukkan tempat Sampang (Madura). Karenanya, jabatan Bupati Wedana Priangan diwakilkan kepada saudara termuda Rangga Gempol I pangeran Dipati Rangga Gede. Tidak lama sesudah Pangeran Dipati Rangga Gede menjabat sebagai Bupati Wedana, Sumedang diserang sang Pasukan Banten. Karena sebagian Pasukan Sumedang berangkat ke Sampang, Pangeran Dipati Rangga Gede tidak mampu mengatasi serangan tersebut. Akibatnya, ia menerima sanksi politis dari Sultan Agung. Pangeran Dipati Rangga Gede ditahan dalam Mataram. Jabatan Bupati Wedana Priangan diserahkan kepada Dipati Ukur, dengan kondisi ia wajib mampu merebut Batavia dari kekuasaan Kompeni.
Tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur untuk membantu pasukan Mataram menyerang Kompeni dalam Batavia. Akan tetapi serangan itu mengalami kegagalan. Dipati Ukur menyadari bahwa sebagai konsekwensi dari kegagalan itu ia akan mendapat eksekusi misalnya yang diterima sang Pangeran Dipati Rangga Gede, atau eksekusi yang lebih berat lagi. Oleh karena itu Dipati Ukur dengan para pengikutnya membangkang terhadap Mataram. Setelah penyerangan terhadap Kompeni gagal, mereka tidak datang ke Mataram melaporkan kegagalan tugasnya.
Tindakan Dipati Ukur itu dianggap sang pihak Mataram sebagai pemberontakan terhadap penguasa Kerajaan Mataram. Terjadinya pembangkangan Dipati Ukur dengan para pengikutnya dimungkinkan, antara lain karena pihak Mataram sulit untuk mengawasi tempat Priangan secara tertentu, dampak jauhnya jarak antara Pusat Kerajaan Mataram dengan tempat Priangan. Secara teoritis, bila tempat tersebut sangat jauh dari sentra kekuasaan, maka kekuasaan sentra dalam tempat itu sangat lemah. Walaupun demikian, berkat kontribusi beberapa Kepala tempat dalam Priangan, pihak Mataram akhirnya mampu memadamkan pemberontakan Dipati Ukur.
Menurut Sejarah Sumedang (babad), Dipati Ukur tertangkap dalam Gunung Lumbung (tempat Bandung) dalam tahun1632. Setelah "pemberontakan" Dipati Ukur dianggap berakhir, Sultan Agung menyerahkan kembali jabatan Bupati Wedana Priangan kepada Pangeran Dipati Rangga Gede yang telah bebas dari hukumannya. Selain itu maupun dilakukan reorganisasi pemerintahan dalam Priangan untuk menstabilkan situasi dan kondisi tempat tersebut. Daerah Priangan dalam luar Sumedang dan Galuh dibagi menjadi tiga Kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Parakanmuncang dan Kabupaten Sukapura dengan cara mengangkat tiga ketua tempat dari Priangan yang dianggap telah berjasa menumpas pemberontakan Dipati Ukur.
Baru 2 hari Pasukan Sunda yang dipimpin sang Dipati Ukur berperang melawan VOC, pasukan Jawa datang ke Karawang dan mendapati bahwa Pasukan Sunda tak terdapat dalam sana. Tersinggung karena merasa tak dihargai, bukannya membantu pasukan Sunda yang sedang meninggal-matian menggempur VOC pasukan Jawa ini malah memusuhi Pasukan Sunda.
Ditengah kekalutan itu, datang utusan dari Dayeuh Ukur membawa surat dari Enden Saribanon yang merupakan istri dari Dipati Ukur yang mengabarkan bahwa para gadis, istri-istri prajurit dan bahkan dirinya sendiri pun hampir diperkosa sang panglima utusan Mataram dan pasukannya.
Panglima dari Mataram itu sendiri terdapat dalam Dayeuh Ukur dalam rangka mengantarkan surat dari Sultan Agung dan begitu mendengar bahwa Dipati Ukur tak mengindahkan pesan dari Sultan Agung untuk menunggu pasukan Jawa dalam Karawang, para panglima ini kemudian melampiaskan kemarahannya dengan memperkosa gadis-gadis dan maupun merampas harta benda mereka.
Mendengar warta itu, Dipati Ukur yang sedang berperang menetapkan untuk menghentikan perang dan kembali ke Pabuntelan (Paseurdayeuh Tatar Ukur, atau Baleendah – Dayeuhkolot sekarang). Dipati Ukur yang marah dengan kelakuan para utusan mataram itu sesampainya dalam Pabuntelan tertentu menghabisi para utusan Mataram itu. Sayangnya, dari seluruh utusan itu terdapat satu orang yang lolos dari kematian dan kemudian melapor kepada Sultan Agung perihal apa yang dilakukan sang Dipati Ukur terhadap sahabat-temannya.
Dalam Nagara Karta Bumi disebutkan bahwa salah satu watak Sultan Agung artinya andai saja memberi tugas kepada bawahannya itu tidaklah boleh gagal. Jika gagal maka telah dipastikan bahwa yang bersangkutan akan dihukum meninggal. Maka, panglima Mataram yang lolos ini pun supaya terhindar dari eksekusi meninggal mengaranglah ia tentang kenapa pasukan Mataram mampu gagal menaklukan VOC. Semua kesalahan itu ditimpakan ke pundak Dipati Ukur. Sultan Agung pun murka karena bagaimana pun maupun mundurnya Dipati Ukur dari medan perang merupakan kerugian akbar bagi Mataram.
Pada intinya, penyebab kalahnya Mataram artinya karena mundurnya Dipati Ukur. Oleh karenanya, Dipati Ukur dicap penghianat dan mau memberontak kepada Mataram. Jadi, karena Dipati Ukur dianggap memberontak maka Dipati Ukur pun sang Sultan Agung pantas dihukum meninggal. Aklhirnya Sultan Agung pun menyuruh Cirebon untuk menangkap Dipati Ukur hidup atau meninggal. Penumpasan Dipati Ukur itu dipimpin tertentu sang Tumenggung Narapaksa dari Mataram.
Dari kenyatan itu, Dipati Ukur kemudian sadar bahwa dirinya sejak sekarang wajib menghadapi Mataram. Kekuatan pun dalam susun. Dipati Ukur mulai melobi beberapa bupati untuk maupun melawan Mataram dan menjadi Kabupaten yang mandiri. Ajakan ini menimbulkan pro dan kontra. Sebagian terdapat yang setuju misalnya Bupati Karawang, Ciasem, Sagalaherang, Taraju, Sumedang, Pamanukan, Limbangan, Malangbong dan sebagainya. Dan sebagian laginya tidak setuju. Di antara yang tidak setuju itu artinya Ki Somahita dari Sindangkasih, Ki Astamanggala dari Cihaurbeuti, dan Ki Wirawangsa dari Sukakerta.
Belum maupun Dipati Ukur berhasil mewujudkan impiannya untuk mendirikan kabupaten mandiri yang lepas dari kekuasan Mataram tiba-tiba bagus Sutaputra, salah satu pemuda yang sakti mandraguna (putra dari bupati Kawasen, wilayah Galuh) yang merupakan algojo yang dimintai tolong sang Tumenggung Bahureksa atau Narapaksa keburu datang untuk menangkapnya. Terjadilah permasalahan sengit antar keduanya. Setelah seluruh energi terkuras akhirnya Dipati Ukur pun mampu diringkus kemudian dalam bawa ke Cirebon untuk diserahkan ke Mataram. Dipati Ukur pun akhirnya dalam hukum meninggal dalam alun-alun Mataram dengan cara dipenggal kepalanya.
Sepeninggal Dipati Ukur wafat, kekuasan Mataram dalam tatar Sunda pun kian kukuh. Bahkan dalam wilayah pesisir utara, poly pasukan Mataram yang tak kembali lagi ke Mataram dan lebih menentukan memperistri penduduk setempat. Untuk memenuhi kebutuhan hidup para prajurit ini kemudian poly yang membuka lahan sawah terutama dalam tempat Karawang, berbeda dengan kebiasaan rakyat Sunda waktu itu yang biasanya berkebun. Mungkin, inilah yang dalam akhirnya sampai sekarang Karawang terkenal dengan sawahnya dan menjadi salah satu lumbung padi dalam Jawa Barat.
Dari narasi yang panjang dan tentu saja saya menyadarinya poly kekuarangan disana-sini. Babad sejarah Dipati Ukur yang mirip Perang Bubat ini bukan bermaksud untuk membuka luka lama, apalagi menyulut sentimentalisme dangkal kesukuan. Sejarah babad Dipati Ukur dalam titik tertentu justru mampu menjadi tolok ukur untuk merumuskan langkah strategis politik suatu tempat ke depan dan lebih luas lagi mendefinisikan insan itu sendiri. Terlepas dari suku mana kita berasal. Minimal keberanian dan sikap kritis Dipati Ukur melawan Belanda dalam Batavia atau Mataram, terlepas motif dalam belakangnya, menanamkan satu keinsafan ihwal pewarisan insan vokal dengan keteguhan memegang prinsip yang sekarang sangat langka kita temuai dalam tengah rakyat. Nuwun.
Pamarican, Ciamis, 01:32 29/11/2016