Selamat datang kembali kadang kinasih perkerisan. Melanjutkan goresan pena sebelumnya tentang Ngaji Roso, pada kesempatan ini sedikit saya akan mengulas Ngaji Roso untuk mempertajam nurani. Manusia agar memiliki ketajaman akal (daya cipta/intelegensia otak), akal wajib bisa menangkap makna yang terbersit dalam nurani. Jangan sampai lengah, karena proses untuk menangkap getaran nurani hanya berlangsung secepat kilat.
Pada dasarnya, nurani milik siapapun pastilah setajam sembilu. Jika kita rasa tumpul itu bukan berarti salah nuraninya. Melainkan tugas akal kita sebagai cipta panggraitaning rahsa sudah mengalami kegagalan. Namun sebelumnya yuk kita kenal dulu istilah-istilahnya yang lazim dipakai sebagai pengantar wejangan.
Tugu manik ing samudra ; ini mendeskripsikan daya cipta yang terus menerus berporos hingga pelupuk mata. Daya cipta kepandaian insan yang jangkauannya seumpama luasnya samudra namun konsentrasinya terfokus pada mata batin.
Adapun tentang bagaimana teknik atau adat agar supaya setiap kita mampu meraba, merasakan & membedakan mana getaran nurani, mana pula getaran nafsu.
Pertanyaan tersebut bukanlah sekedar latah, tetapi mengelola hati nurani adalah hal yang sangat penting untuk selalu diupayakan menggunakan sungguh-sungguh. Sebab ia menjadikan setiap pribadi mampu berdiri sebagai mandireng pribadi, yakni pribadi yang memiliki kemandirian dalam memilih mana & apa yang paling tepat, paling baik dilakukan.
Bukankah nilai insan terletak pada kejernihan isi atau bunyi hatinya ? Suara hati atau hati nurani adalah kesadaran aku akan tanggungjawab & kewajiban aku sebagai makhluk bernama insan dalam situasi yang sungguh-sungguh. Sehingga bunyi hati wajib dipatuhi & diikuti. Hati nurani atau dalam terminologi Jawa disebut sebagai Alusing Pandulu atau kehalusan daya cipta, yakni kekuatan yang atau kemampuan perasaan hati nurani untuk meraba, merasakan, membedakan, & memilih. Alusing Pandulu adalah pangkal dari otonomi setiap individu, yakni dasar dari kemandirian pribadi.
Pusat otoritas setiap pribadi berada di dalam hati nuraninya sendiri. Sementara itu untuk menyeleksi baik atau jelek adalah tanggungjawab akal menggunakan cara pemikiran terbuka & bebas memilih pilihan & keputusan mana yang paling tepat.
NURANI Adalah JENDELA MENEMBUS UNINONG, ANING, UNONG
Nalar pun kenyataannya sangat riskan mampu terkurung oleh suatu tembok yang bernama keyakinan membabi buta. Dengan kata lain, penghalang terbesar ketajaman nurani kita, tidak lain adalah doktrin-doktrin yang membelenggu akal.
Misalnya, mulai dari bentuk doktrin militer, doktrin budaya, doktrin seni, doktrin ideologi, hingga doktrin agama. Sebab doktrin bagaimanapun bentuknya lebih bersifat pengungkungan kesadaran, agar individu memiliki loyalitas tanpa perlu akal.
Tanpa perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari hati nurani. Jika dianalogikan, doktrin adalah alat yang serupa menggunakan kacamata kuda, sementara kuda adalah perumpamaan insan.
Supaya kuda tetap berjalan lurus ke depan maka diperlukan kacamata (baca: doktrin). Sebab doktrin (kacamata kuda) memiliki prinsip keharusan/kewajiban bahwa jalan kebenaran hanyalah jalan yang lurus yang hanya tampak di depannya saja.
Sementara itu, adalah realitas & keterangan bahwa hayati ini banyak ditemukan persimpangan jalan, banyak sekali jalan raya, jalan protokol, jalan daendels, jalan propinsi, & jalan setapak. Masing-masing jalan menuju ke satu tujuan yang sama yakni Sang Gusti (bagusing ati), Gusti terdapat di dalam aku.
Setiap orang hendak mencari Gusti di dalam aku, agar supaya diri kita menjadi aku di dalam Gusti. Dalam istilah wejangan lazim disebut sebagai rasa; aku bukan kramadhangsa atau aku kang madeg pribadi atau saya sebut sebagai rahsa sejati. Itulah paraning dumadi insan, tak berada jauh di atas langit sana, tetapi terdapat dalam setiap pribadi kita masing-masing.
Kesadaran ini mampu menjelaskan pula mengapa nenek moyang bangsa kita dulu jika berdoa tidak menengadah sembari menatap langit, melainkan cukup menggunakan telapak tangan memegang dada.
Dalam maneges pun tersebutlah Niat Ingsun, yang bermakna Ingsun ing sajroning aku, Aku ing sajroning Ingsun. Konsep KGPAA Mangkunegoro ke IV sebagai roroning atunggil, dwi tunggal, atau asas Manunggaling Kawula kalawan Gusti. Sebuah pelataran spiritual yang pernah pula digelar oleh Ki Ageng Kebo Kenongo (Ki Ageng Pengging) bersama Syeh Lemah Abang sebagai UNINONG ANING UNONG.
Sementara itu, hati nurani selalu mampu menembus banyak sekali tembok penghalang, yang menghalangi obyektivitas sesungguhnya akan suatu realitas kehidupan. Nurani adalah kekuatan yang TAK BISA dikelabuhi oleh imajinasi, delusi, & polusi getaran nafsu. Nurani yang terasah akan menjadi mata hati, mata jiwa yang mampu menguak kebenaran sejati. Hanya saja, untuk menggali & menemukan hati nurani, kita wajib menggalinya dari kubangan lumpur yang penuh bakteri, kuman & penyakit. Sekali lagi goresan pena pendek ini bertujuan untuk membuatkan kawruh (pengetahuan) & ngelmu (pengetahuan spiritual), bagaimana cara paling sederhana agar kita mampu menemukan nurani yang mampu diumpamakan sebagai berlian yang terendam di dalam lumpur kotor.
Mangreh landeping mimising cipta, cipta panggraitaning rahsa.
Haywa lena kaki, awit hamung pinda sak gebyaring thathit