Dunia Keris Selamat tiba kerabat perkerisan. Aika kita menyatu bersama alam, meleburkan diri menjadi bagian berasal alam itu sendiri, maka segalanya akan beres. Demikian ungkapan para bijak bestari.
Dua kolega dekat aku berbicara tentang semut, serangga mungil yang kerap menyebalkan itu, apalagi ketika kita menutup toples gula. Yang pertama mengatakan, "Aika kita menyatu bersama alam, meleburkan diri menjadi bagian berasal alam itu sendiri, maka segalanya akan beres." Pemahaman mengenai teori ini diterapkannya kala menghadapi serbuan gerombolan semut yang mau mengusiknya.
Dia yakin, jikalau tubuhnya digerakkan, maka para semut akan makin bernafsu merubungnya. Bahkan dapat saja menggigitnya. Maklum, serangga itu tak punya otak sekelas insan, kendati punya kelebihan yang tak dimiliki orang. Untuk itu, dia menerapkan kiat: "Harus jadi bagian berasal semut itu sendiri!"
Hasilnya ampuh. Tak muncul semut yang mendekat. Kawanan semut itu menyingkir, berkat upayanya "meleburkan diri" menjadi kawan semut. Energinya disenadakan bersama semut. Semut yang memakai "bahasa kimia" -bersama mengeluarkan cairan ektohormon- menjadi indera komunikasi itu rupanya "memahami" tenaga kolega aku.
Gambaran soal tenaga ini dibenarkan seseorang pakar bioenergi. Lalu, dia mencontohkan ketika bermeditasi pada alam terbuka. Waktu itu, beberapa lebah beterbangan pada atas kepala. Peserta meditasi yang menganggap tawon menjadi kawan tidak dikerubungi, ad interim yang "menganggap tawon menjadi lawan" justru diusik & terancam disengat, sehingga dia lari ketakutan.
Teori tenaga ini boleh saja tak diyakini kebenarannya. Yang niscaya, semut punya 12 jenis cairan kimia yang dimuntahkan berasal 12 bagian tubuhnya. Sementara itu, zat yang dihasilkannya muncul 2 tipe. Yaitu, feromon indikasi bahaya & feromon jejak. Begitu indikasi bahaya dimuntahkan, contohnya, maka rahang pasukan semut terbuka & siap menyerang. Aika bau feromon jejak yang disebarkan, maka penciumannya terangsang untuk melacak jejak.
Begitulah. Kolega aku yang kedua, juga pengamat semut. Semut merah atau semut geni orang Jawa bilang, yang gigitannya terasa panas, dikaguminya karena bisa berjalan pada atas batu ketika terik surya. Serangga itu tampak tahan banting, & setia pada kelompoknya. Bahkan, bersama tubuhnya yang mungil, semut bisa menggendong benda yang lebih besar. Tidak percaya, sesekali hambok amati.
Berjalan pada atas aspal pada siang hari tanpa alas kaki itu pula yang kemudian dicontoh kolega aku yang satu ini. Nyatanya, dia tak mencicipi sakit. Tidak juga melepuh. Ia justru merasa segar. Jadi, yang aku tangkap berasal peniruan itu, dia ingin menyadarkan pada kita untuk mengamati perilaku semut, yang punya "misteri" tersendiri.
Mari kita amati semut lagi. Serangga itu hidup berkoloni. Komposisi koloninya begini: muncul semut jantan, betina, & pekerja. Yang pejantan cuma bertugas mengawini "ratu semut", & cepat meninggal. Yang betina didesain membentuk telur sebesar-banyaknya, & bertubuh besar. Adapun si pekerja, yang merupakan rakyat sosial semut, bertugas menjaga telur, larva, membangun sarang, & mencari masakan.
Kehidupan sosial semut memang terorganisir. Dan, banyak sekali pembagian tugas itu dijalankan tanpa protes, tanpa ngambek. Tak muncul ego. Di dunia, jumlah semut diperkirakan 10.000 jenis. Di Indonesia muncul kurang lebih 215 jenis. Selain "bahasa kimia" menjadi indera komunikasi, semut juga mempunyai "bahasa antena". Dengan sungut atau antenanya itu, semut dapat membedakan koloni & sarangnya. Tiap individu semut akan bisa membedakan mana anggota kelompoknya, & mana yang bukan.
Nah, bila "antena" itu dihilangkan, maka para semut tak lagi peka. Tak dapat membedakan mana lawan, mana kawan. Buntutnya adalah perkelahian, & seru -bagi yang menikmatinya. Saking serunya, adu semut jadi tontonan yang menarik bagi para bocah. Bahasa semut lain adalah "suara". Aika kebebasan geraknya dibatasi atau diganggu, contohnya, para semut akan mengeluarkan suara.
Suara itu semacam simbol pemberontakan. Mulut mereka ogah disumpal. "Diam", dalam kamus semut, adalah "sampah". Perilaku inilah yang dapat dijadikan cermin kehidupan insan. Para semut bekerja berfokus, terpola pada sistem, & disiplin dalam bertindak, serta punya rasa setia kawan yang tinggi. Aika hak & kebebasannya dipasung, mereka melawan & "berteriak", mebengok dalam bahasa Jawa Timuran.
Itulah sebuah sikap positif semut. Lalu, kita simak tingkah elite politik yang kerdil, yang hanya tercambuk oleh hasrat "supaya menjadi krusial". Mereka mengumbar cercaan untuk orang lain, & seolah melupakan kuping sendiri. Padahal, lebih baik memahami -sekaligus mendorong untuk menghargai- mereka ketimbang main cerca.
Maka, kalau saja "bahasa" semut diserap & dilakoni para elite, kebekuan komunikasi yang cuma mengedepankan ego itu, insya Allah, dapat terlesaikan. Benjamin Franklin memberi resep bagaimana hidup bertoleransi. Yaitu, "Saya tak akan berbicara jelek tentang orang lain." Apalagi, contohnya, hingga main fitnah segala. Nuwun.
Bumi Para Nata, 29/12/2016