Dunia Keris Selamat tiba kerabat perkerisan. Kapitayan, seperti dalam judul di atas, bisa jadi istilah ini masih asing bagi sebagian kita. Padahal, Kapitayan ini merupakan agama antik yg pernah terdapat di Nusantara ini. Keasingan kita dalam istilah Kapitayan ini sejatinya tidaklah mengherankan, lantaran dalam pelajaran sejarah di sekolah hal ini sama sekali tidak cuplik sama sekali. Pengertian kita selama ini, setidaknya yg diajarkan di sekolah, nenek moyang kita mengenal konsep ke-Tuhan-an dalam bentuk animisme & dinamisme. Nah, dalam kesempatan kali ini saya akan ajak sampeyan buat mengenal tentang agama antik ini lebih dekat lagi.
Kapitayan merupakan keyakinan yg dianut warga antik Nusantara sejak era Paleolithikum, Messolithikum, Neolithikum, Megalithikum, yg berlanjut dalam era perunggu & besi. Masa ini jauh sebelum datangnya impak kebudayaan Indus & kebudayaan China yg kedatangannya di Nusantara ini dalam awal abad masehi.
Penyebar pertama kali agama antik Kapitayan ini merupakan Dang Hyang Semar, putera Sang Hyang Wungkuham keturunan Sang Hyang Ismaya. Konon kedatangannya ke Nusantara ini Sang Hyang Semar disertai sang adiknya, yakni Sang Hantaga (Togog) dampak banjir besar di negeri asalnya. Diriwayatkan, Semar kemudian menetap di tanah Jawa & Togog menetap di luar Jawa, tepatnya dimana tidak diceritakan. Sementara saudaranya yg lain, yaitu Sang Hyang Manikmaya, menjadi penguasa alam ghaib kediaman para leluhurnya yg dikenal menjadi Ka-Hyang-an.
Agama Kapitayan secara sederhana bisa digambarkan menjadi suatu ajaran keyakinan yg memuja sembahan utama yg dikenal menjadi Sanghyang Taya, yg bermakna Hampa, Kosong, Suwung, atau Awang-Uwung. Taya bermakna Yang Absolut, yg tidak bisa dipikir & dibayang-bayangkan. Tidak bisa didekati bersama pancaindra. Orang Jawa antik mendefinisikan Sanghyang Taya dalam satu kalimat tan kena kinaya ngapa alias tidak bisa diapa-apakan eksistensi-Nya. Kata Awang-uwung bermakna terdapat akan tetapi tidak terdapat, tidak terdapat akan tetapi terdapat. Untuk itu, supaya bisa dikenal & bisa disembah manusia, Sanghyang Taya digambarkan mempribadi dalam nama & sifat Ilahiah yg dikenal menjadi Tu atau To, yg bermakna daya mistik bersifat adikodrati.
Tu atau To merupakan tunggal dalam Zat. Satu pribadi. Tu lazim dikenal menjadi bersama nama Sanghyang Tunggal. Dia memiliki dua sifat, yaitu kebaikan & ketidakbaikan. Tu yg bersifat kebaikan dikenal menjadi Tu-han yg tak sporadis dikenal menjadi bersama nama Sanghyang Wenang. Sedang Tu yg bersifat ketidakbaikan dikenal menjadi bersama nama Sang Manikmaya. Demikianlah, Sanghyang Wenang & Sanghyang Manikmaya dalam hakikatnya merupakan sifat saja dari Sanghyang Tunggal. Karena itu, baik Sanghyang Tunggal, Sanghyang Wenang, maupun Sanghyang Manikmaya dalam dasarnya bersifat mistik, tidak bisa didekati bersama pancaindra maupun bersama akal pikiran. Sanghyang Tunggal hanya diketahui sifat-Nya saja.
Oleh lantaran Sanghyang Tunggal bersama dua sifat mistik, buat memujanya diharapkan wahana-wahana yg bisa didekati pancaindra & alam pikiran manusia. Demikianlah, di dalam ajaran Kapitayan dikenal keyakinan yg menyatakan bahwa kekuatan mistik dari Sanghyang Taya yg mempribadi, yg dikenal menjadi Tu atau To itu tersembunyi di dalam segala sesuatu yg yg memiliki nama berkait bersama kata Tu atau To seperti: wa-Tu (batu), Tu-gu, Tu-ngkup (bangunan kudus), Tu-ban (air terjun), & lain-lain.
Dalam rangka melakukan puja bakti kepada Sanghyang Tunggal, penganut Kapitayan menyediakan sesaji berupa Tu-mpeng, Tu-mpi (kudapan manis dari tepung), Tu-mbu (keranjang persegi dari anyaman bambu buat loka bunga), Tu-ak (arak), Tu-kung (homogen ayam) buat dipersembahkan kepada Sanghyang Tu-nggal yg daya mistik-Nya tersembunyi dalam segala sesuatu yg diyakini memiliki kekuatan mistik seperti Tu-ngkup, Tu-nda, wa-Tu, Tu-gu, Tu-nggak, Tu-k, Tu-ban, Tu-rumbukan, Tutu-k. Para penganut Kapitayan yg punya maksud melakukan Tu-ju (tenung) atau keperluan lain yg mendesak, akan memuja Sanghyang Tunggal bersama persembahan spesifik yg dikenal menjadi Tu-mbal.
Kalau dalam Islam terdapat strata-tinggkatan ibadah seperti Syariat, Thariqah, Hakikat & Makrifat, sedangkan di Kapitayan praktek di atas merupakan proses ibadah strata syariat yg dilakukan sang warga generik kepada Sang Hyang Tunggal. Untuk para sufi- nya Kapitayan, mereka menyembah tertentu kepada Sang Hyang Taya bersama gerakan-gerakan tertentu, mula-mula, sang sufinya Kapitayan yg sembahyang melakukan Tu-lajeg (berdiri tegak) menghadap Tutu-k (lubang ceruk) bersama ke 2 tangan diangkat ke atas menghadirkan Sanghyang Taya di dalam Tutu-d (hati). Setelah merasa Sanghyang Taya bersemayam di hati, ke 2 tangan diturunkan & didekapkan di dada tepat dalam hati. Posisi ini dikenal menjadi swa-dikep (memegang ke-aku-an diri pribadi).
Proses Tu-lajeg ini dilakukan dalam tempo yg relatif lama. Setelah Tu-lajeg selesai, sembahyang dilanjutkan bersama posisi Tu-ngkul (membungkuk memandang ke bawah) yg pula dilakukan dalam tempo yg relatif lama. Lalu dilanjutkan lagi bersama posisi Tu-lumpak (bersimpuh bersama ke 2 tumit diduduki).
Yang terakhir, dilakukan posisi To-ndhem (bersujud seperti bayi dalam perut ibunya). Selama melakukan Tu-lajeg, Tu-ngkul, Tu-lumpak, & To-ndhem dalam waktu satu jam lebih itu, sang sufi Kapitayan bersama segenap perasaan berusaha menjaga keberlangsungan Keberadaan Sanghyang Taya (Yang Hampa) yg sudah disemayamkan di dalam Tutu-d (hati). Sedangkan loka ibadahnya di sebut Sanggar, yaitu bangunan persegi empat beratap tumpak bersama lubang di dinding menjadi lambang kehampaan, kalau kesulitan mbayangke modelnya mungkin agak mirip musholla di desa-desa dalam biasanya.
Seorang hamba pemuja Sanghyang Taya yg disebut saleh akan dikaruniai kekuatan mistik yg bersifat positif (Tu-ah) & yg bersifat negatif (Tu-lah). Mereka yg sudah dikaruniai Tu-ah & Tu-lah itulah yg disebut berhak menjadi pemimpin warga. Mereka itu digelari sebutan: ra-Tu atau dha-Tu.Dalam keyakinan Kapitayan, para ra-Tu & dha-Tu yg sudah dikaruniai Tu-ah & Tu-lah, motilitas-gerik kehidupannya akan ditandai sang Pi, yakni kekuatan rahasia Ilahiah dari Sanghyang Taya yg tersembunyi. Itu sebabnya, ra-Tu atau dha-Tu, menyebut diri bersama kata ganti diri: Pi-nakahulun.
Jika berbicara dikenal menjadi Pi-dato. Jika mendengar dikenal menjadi Pi-harsa. Jika mengajar pengetahuan dikenal menjadi Pi-wulang. Jika memberi petuah dikenal menjadi Pi-kata. Jika memberi petunjuk dikenal menjadi Pi-tuduh. Jika menghukum dikenal menjadi Pi-dana. Jika memberi keteguhan dikenal menjadi Pi-andel. Jika menyediakan sesaji buat arwah leluhur dikenal menjadi Pi-tapuja yg lazimnya berupa Pi-nda (kudapan manis dari tepung), Pi-nang, Pi-tik, Pi-ndodakakriya (nasi & air), Pi-sang.
Jika memancarkan kekuatan wibawa dikenal menjadi Pi-deksa. Jika mereka mati global dikenal menjadi Pi-tara. Seorang ra-Tu atau dha-Tu merupakan pengejawantahan kekuatan mistik Sanghyang Taya. Seorang ra-Tu merupakan citra Pribadi Sanghyang Tunggal. Itulah sekilas tentang agama yg dianut warga antik Nusantara jauh sebelum Hindu, Buddha, Islam, Kristen & agama-agama lain masuk ke Nusantara. Nuwun.
Dikutip bebas dari kitab Atlas Walisongo, Agus Sunyoto.