Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Terimakasih sudah berkunjung disini, tanpa sampeyan semua perkerisan tidaklah berarti apa apa. Sekali lagi matur nuwun.
Sudah jamak kita ketahui beserta, benua Asia, Eropa, Amerika, frika & Oceania merupakan benua yg kita kenal ketika ini. Saya rasa sampeyan juga sudah mengetahui jikalau konon jaman dahulu ada satu benua yg sebagai moyangnya peradaban, yakni Atlantis. Sebelum tulisan ini aku sudah memperlihatkan tulisan serupa dengan tulisan yg sedang sampeyan baca ini Atlantis : Moyang Segala Peradaban yg Tenggelam.
Sejak berabad-abad silam hingga ketika ini, keberadaan benua Atlantis terus jadi perdebatan & objek menarik & seksi buat diperbincangkan. Termasuk di perkerisan ini. Setelah mengumpulan berbagai bahan & referensi akhirnya, dengan segala kekurangan sana sini semoga memenuhi impian sampeyan semua buat mengkayakan wawasan mengenai benua yg di diyakini ada di Sundaland! Kaget? Mari kita telisik lebih mendalam klaim tadi. Sebelumnya siapkan kopi dulu, soalnya tulisan ini panjang.
Di masa silam, para ahli yakin, benua & peradaban tinggi yg tenggelam itu berlokasi di Samudra Atlantik. Sayangnya belum ada bukti yg memadai buat mendukung keyakinan ini. Belakangan, timbul dua pakar yg mengemukakan pandangan kontroversial: Stephen Oppenheimer Dokter ahli genetic yg banyak menelaah sejarah peradaban & Arysio Nunes dos Santos. Mereka menyebut benua & peradaban yg diceritakan filsuf Yunani kuno, Plato, dalam karyanya, Critias & Timeaus, itu merupakan Sundaland alias Paparan Sunda.
Ia berpendapat bahwa Paparan Sunda (Sundaland) merupakan merupakan cikal bakal peradaban kuno atau dalam bahasa agama sebagai Taman Eden. Istilah ini diserap dari kata dalam bahasa Ibrani Gan Eden. Dalam bahasa Indonesia diklaim Firdaus yg diserap dari kata Persia "Pairidaeza" yg arti sebenarnya merupakan Taman.
Menurut Oppenheimer, keluarnya peradaban di Mesopotamia, Lembah Sungai Indus, & Cina justru dipicu sang kedatangan para migran dari Asia Tenggara. Landasan argumennya merupakan etnografi, arkeologi, osenografi, mitologi, analisa DNA, & linguistik. Ia mengemukakan bahwa di wilayah Sundaland sudah ada peradaban yg sebagai leluhur peradaban Timur Tengah 6.000 tahun silam. Suatu ketika datang banjir besar yg mengakibatkan pendudukSundaland berimigrasi ke barat yaitu ke Asia, Jepang, serta Pasifik. Mereka merupakan leluhur Austronesia.
Rekonstruksi Oppenheimer diawali dari ketika berakhirnya zenit Jaman Es (Last Glacial Maximum) sekitar 20.000 tahun yg kemudian. Ketika itu, muka air laut masih sekitar 150 m di bawah muka air laut sekarang. Kepulauan Indonesia bagian barat masih bergabung dengan benua Asia sebagai dataran luas yg dikenal sebagai Sundaland. Namun, ketika bumi memanas, timbunan es yg ada di kutub meleleh & berakibat banjir besar yg melanda dataran rendah di berbagai penjuru mayapada.
Kontroversi dari Oppenheimer seolah dikuatkan sang pendapat Arysio Santos. Profesor asal Brazil ini menegaskan bahwa Atlantis yg hilang sebagaimana cerita Plato itu merupakan wilayah yg sekarang diklaim Indonesia. Pendapat itu timbul sehabis ia melakukan penelitian selama 30 tahun yg menghasilkan buku Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitifve Localization of Platos Lost Civilization (2005). Santos dalam bukunya tadi menampilkan 33 perbandingan, mirip luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, & cara bertani, yg akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis itu merupakan Sundaland(Indonesia bagian Barat).
Santos menetapkan bahwa pada masa kemudian Atlantis merupakan benua yg membentang dari bagian selatan India, Sri Langka, & Indonesia bagian Barat meliputi Sumatra, Kalimantan, Jawa & terus ke arah timur. Wilayah Indonesia bagian barat sekarang sebagai pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan gunung berapi aktif & dikelilingi sang samudera yg menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera Hindia & samudera Pasifik.
Argumen Santos tadi didukung banyak arkeolog Amerika Serikat bahkan mereka meyakini bahwa benua Atlantis merupakan sebuah pulau besar bernama Sundaland, suatu wilayah yg kini ditempati Sumatra, Jawa & Kalimantan. Sekitar 11.600 tahun silam, benua itu tenggelam diterjang banjir besar seiring berakhirnya zaman es.
Data geologi & oseanografi mencatat setidaknya ada 3 banjir besar yg terjadi yaitu pada sekitar 14.000, 11.000, & 8,000 tahun yg kemudian. Banjir besar yg terakhir bahkan menaikkan muka air laut hingga lima-10 meter lebih tinggi dari yg sekarang. Wilayah yg paling parah dilanda banjir merupakan Paparan Sunda & pantai Cina Selatan. Sundaland malah sebagai pulau-pulau yg terpisah, antara lain Kalimantan, Jawa, Bali, & Sumatera.
Padang rumput purba itu membentang dari Pegunungan Kenya di selatan, menyusuri Arabia, & berakhir di Pegunungan Ural di utara. Zaman es nir menghipnotis mereka karena kebekuan itu hanya terjadi di bagian paling utara bumi, sebagai akibatnya iklim di wilayah tropik-subtropik justru sebagai sangat nyaman. Adanya barah menghasilkan banyak insan yg betah tinggal di padang rumput Afrasia.
Padahal, waktu itu kawasan ini sudah cukup padat dihuni insan prasejarah yg hidup sebagai petani & nelayan. Bagi Oppenheimer, kisah Banjir Nuh atau Benua Atlantis yg hilang nir lain merupakan rekaman budaya yg mengabadikan fenomena alam dahsyat ini. Di kawasan Asia Tenggara, kisah atau legenda mirip ini juga masih tersebar luas di antara warga tradisional, namun belum ada yg meneliti keterkaitan legenda dengan fenomena Taman Eden.
Wilayah Sundaland (Indonesia bagian Barat dalam buku Santos (2005) Menurut Plato, Atlantis merupakan benua yg hilang dampak letusan gunung berapi yg secara bersamaan meletus & mencairnya Lapisan Es yg pada masa itu sebagian besar benua masih diliputi sang Lapisan-lapisan Es. Maka sebagian benua tadi tenggelam.
Santos berpendapat bahwa meletusnya berpuluh-puluh gunung berapi secara bersamaan tergambarkan pada wilayah Indonesia (dulu). Letusan gunung barah yg dimaksud di antaranya letusan gunung Meru di India Selatan, letusan gunung berapi di Sumatera yg membentuk Danau Toba, & letusan gunung Semeru/Mahameru di Jawa Timur. Letusan yg paling dahsyat di kemudian hari merupakan letusan Gunung Tambora di Sumbawa yg memecah bagian-bagian pulau di Nusa Tenggara & Gunung Krakatau (Krakatoa) yg memecah bagian Sumatera & Jawa membentuk Selat Sunda.
Tak mau kalah dengan dua peneliti di atas. Peneliti Indonesia sendiri tak mau ketinggalan. Hasilnya terangkum dalam buku Peradaban Atlantis Nusantara, disusun Ahmad Samatho & Oman Abdur Rahman, yg diluncurkan belum lama ini. Berikut cuplikan beberapa bagian dari buku tadi.
Selama lebih dari 2.000 tahun, Atlantis yg hilang telah sebagai dongeng. Namun, sejak Abad Pertengahan, kisah Atlantis sebagai terkenal di mayapada Barat. Banyak ilmuwan Barat secara membisu-membisu meyakini kemungkinan keberadaannya. Di antara para ilmuwan itu banyak yg menganggap bahwa Atlantis terletak di Samudra Atlantik. Bahkan ada yg menganggapnya berlokasi di Benua Amerika hingga Timur Tengah.
Penelitian pun dilakukan di wilayah-wilayah tadi. Tetapi kebanyakan peneliti itu nir menyampaikan bukti atau telaah yg cukup. Sebagian besar hanya mengira-ngira. Hanya beberapa tempat di bumi yg keadaannya memenuhi persyaratan buat sanggup diduga sebagai Atlantis sebagaimana dilukiskan Plato pada 24 abad lampau.
Hampir semua tulisan mengenai sejarah peradaban menempatkan Asia Tenggara sebagai kawasan "pinggiran". Kawasan yg kebudayaannya subur berkembang sekadar karena efek migrasi insan atau riak-riak difusi budaya dari pusat-pusat peradaban lain, baik yg berpusat di Mesir, Cina, maupun India. Pemahaman itu mengacu pada teori yg dianut ketika ini, yg mengemukakan bahwa zaman es paling akhir yg dialami bumi terjadi sekitar 10.000 hingga 8.000 tahun kemudian telah menghipnotis spesies insan.
Menurut Plato, Atlantis merupakan benua yg hilang dampak letusan gunung berapi yg secara bersamaan meletus & mencairnya lapisan es yg masih menutupi sebagian besar benua. Maka, tenggelamlah sebagian benua tadi. Sedangkan Santos berpendapat bahwa meletusnya berpuluh-puluh gunung berapi secara bersamaan tergambarkan pada wilayah Indonesia (purba).
Letusan gunung barah yg dimaksud, antara lain, letusan Gunung Meru di India Selatan, letusan gunung berapi di Sumatera yg membentuk Danau Toba, & letusan Gunung Semeru/Mahameru di Jawa Timur. Letusan yg paling dahsyat di kemudian hari merupakan letusan Gunung Tambora di Sumbawa yg memecah bagian-bagian pulau di Nusa Tenggara & Gunung Karakatau yg memecah bagian Sumatera & Jawa, membentuk Selat Sunda.
Ilmuwan Brasil itu berargumentasi bahwa letusan berbagai gunung berapi tadi mengakibatkan lapisan es mencair & mengalir ke samudra, sebagai akibatnya luasnya bertambah. Air & lumpur yg berasal dari gunung berapi itu membebani samudra & dasarnya sebagai akibatnya berakibat tekanan luar biasa pada kulit bumi di dasar samudra, terutama pada pantai benua.
Tekanan itu berakibat gempa. Gempa ini diperkuat lagi sang gunung-gunung yg meletus, kemudian secara beruntun & menimbulkan gelombang tsunami yg dahsyat. Santos menamakannya Heinrich Events.
Survei Kelautan Capten Australia
Bagi sebagian peneliti, pendapat Oppenheimer & Santos itu dianggap kontroversial & mengada-ada. Beberapa tahun ke belakang, pendapat yg paling banyak diterima merupakan mirip yg dikemukakan Kircher (1669) bahwa Atlantis itu berada di tengah-tengah Samudra Atlantik sendiri & tempat yg paling meyakinkan merupakan Pulau Thera di Laut Aegea, sebelah timur Laut Tengah. [Athanasius Kircher merupakan seseorang rahib Yesuit asal Jerman yg menulis buku Mundus Subterraneus, yg membahas Atlantis & memuat peta benua yg hilang itu].
Pulau Thera yg dikenal juga sebagai Santorini merupakan pulau gunung barah yg terletak di sebelah utara Pulau Kreta. Sekitar 1.500 SM, sebuah letusan gunung barah yg dahsyat mengubur & menenggelamkan kebudayaan Minoan. Hasil galian arkeologis memberitahuakn, kebudayaan Minoan merupakan kebudayaan yg sangat maju di Eropa pada zaman itu.
Penelitian soal lokasi Atlantis di Indonesia nir hanya dilakukan Oppenheimer & Arysio Santos. Sosok yg juga getol melakukan penelitian kelautan di perairan Indonesia merupakan pakar dari Australia bernama Hans Berekoven. Bersama istrinya, Rozeline Berekoven, kapten kapal survei kelautan ini melakukan survei memakai detektor sonar bawah laut buat mencari residu-residu peradaban Atlantis di dasar Laut Jawa, Selat Karimata, & Laut Cina Selatan.
Karena ketertarikannya seumur hidup pada bidang arkeologi & filsafat, Hans memendam intuisi bahwa Sundaland atau Paparan Sunda pada zaman dahulu merupakan tempat kedudukan sebuah peradaban besar. Dia memandang, pola migrasi berdasarkan teori antropologi pada ketika ini sudah usang. India merupakan peradaban pertama sehabis zaman es, bukan Mesopotamia.
Apalagi, pada 2002 ditemukan sebuah kota kuno yg tenggelam di kedalaman 40 meter. Lokasinya di Teluk Cambay. Setelah artefak kota itu diuji lewat tes karbon, diketahui bahwa benda itu berasal dari masa sekitar 9.500 tahun silam.
Dengan memakai kapal Souhern Sun berukuran 19 meter yg dilengkapi alat-alat sonar bawah laut, Hans & istrinya berbulan-bulan menjelajahi perairan Indonesia. Dari penjelajahan itu, ia mendapati bahwa Laut Jawa merupakan bagian Sundaland yg terendam sehabis zaman es. Luas Sundaland ini diperkirakan mencapai 1,8 juta kilometer persegi, termasuk wilayah Laut Cina Selatan & Teluk Thailand. Ia berharap sanggup menemukan kota purba bawah laut di perairan Indonesia, mirip ditemukan di India.
Ditimbang dari Kondisi Iklim
Menurut Prof. Dr. Umar Anggara Jenny (2005), hipotesis mengenai adanya pulau sangat besar di Laut Cina Selatan yg tenggelam sehabis zaman es berdasarkan pada kajian arkeologi molekuler. Salah satu pulau penting yg tersisa dari Benua Atlantis, jikalau memang benar, merupakan Pulau Natuna.
Berdasarkan kajian biomolekuler, penduduk asli Natuna diketahui memiliki gen yg mirip dengan bangsa Austronesia tertua. Bangsa Austronesia diyakini memiliki taraf kebudayaan tinggi, mirip bayangan mengenai bangsa Atlantis yg diklaim-sebut dalam mitos Plato. Ketika zaman es berakhir, yg ditandai tenggelamnya Benua Atlantis, bangsa Austronesia menyebar ke berbagai penjuru.
Mereka kemudian membuat keragaman budaya & bahasa pada warga lokal yg disinggahinya. Dalam tempo cepat, yakni pada 3.500 hingga lima.000 tahun lampau, kebudayaan itu pun menyebar. Kini rumpun Austronesia menempati separuh muka bumi.
Dari berbagai pendapat tadi sanggup disimpulkan bahwa asal-usul Taman Eden & hilangnya Benua Atlantis sangat berkaitan dengan kondisi geologi, khususnya aktivitas tektonik lempeng bumi, & tragedi zaman es. Perubahan iklim yg drastis di mayapada mengakibatkan berubahnya muka laut, kehidupan binatang, & tumbuh-flora.
Zaman es memberi ruang yg besar pada perkembangan peradaban insan di Sundaland. Pada ketika itu, suhu bumi sangat dingin, kebanyakan air dalam keadaan membeku & membentuk glasier. Maka, kebanyakan kawasan bumi nir cocok buat didiami, kecuali di kawasan khatulistiwa yg lebih panas.
Di antara kawasan ini merupakan Sundaland & Paparan Sunda serta kawasan di sekitarnya yg memiliki banyak gunung barah aktif menyampaikan kesuburan tanah. Dengan demikian, keduanya memiliki taraf kenyamanan tinggi buat berkembangnya peradaban insan. Adapun wilayah lainnya nir cukup memiliki kenyamanan buat berkembangnya peradaban karena semua air dalam keadaan membeku yg membentuk lapisan es tebal.
Peradaban Sumeria di Candi Cetho
Yang lebih menarik tentu output kajian para peneliti Indonesia sendiri. Di Nusantara, banyak indikasi yg diduga merupakan bukti-bukti arkeologis peradaban Atlantis. Selain ada arca-arca & prasasti di Bukit Pasemah di Pulau Sumatera, ada juga arca pilar di Sulawesi. Yang paling menarik merupakan relief-relief & bentuk Candi Cetho, Candi Sukuh, & Candi Penataran.
Belum lama ini, pada 2009, sebuah tim yg dipimpin Agung Bimo Sutejo & Timmy Hartadi dari Yayasan Turangga Seta menemukan beberapa relief misterius di Candi Cetho & Candi Penataran. Relief-relief itu indikasi atau sanggup sebagai bukti petunjuk mengenai keberadaan peradaban Atlantis di Jawa/Nusantara serta hubungannya dengan berbagai bangsa atau orang-orang dari peradaban kuno lain di mayapada, mirip Indian Maya, Indian Aztek, Sumeria, Mesopotamia, Mesir, & Cina.
Candi Sukuh
Candi Cetho terletak di lereng Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar, pada ketinggian 1.400 meter di atas permukaan laut. Dilihat dari bentuknya, Candi Cetho nir mirip candi-candi lain yg ada di Indonesia, tetapi justru mirip dengan candi-candi yg ada dalam peradaban bangsa Inca, Maya, di Amerika Latin.
Beberapa arkeolog Indonesia menyatakan bahwa Candi Cetho didesain pada zaman Majapahit, tepatnya pada ketika pemerintahan Prabu Brawijaya V sekitar abad ke-15 M. Jika memang demikian, ada banyak keganjilan yg patut dipertanyakan. Antara lain, batu-batu candi yg terbuat dari batu kali, padahal pada era Majapahit, candi didesain dari batu bata merah.
Kemudian, dilihat dari bentuk relief di Candi Cetho, taraf presisi & kerapihan pemahatannya masih sangat sederhana. Tidak mirip di era Majapahit yg jauh lebih detail menggambarkan figur-figur patung ataupun relief. Hal ini indikasi usia Candi Cetho yg lebih tua daripada era Majapahit.
Demikian juga patung-patung yg ada di Candi Cetho banyak memberitahuakn hal yg jauh lebih tua daripada zaman Majapahit. Ada beberapa patung yg nir menggambarkan orang Jawa pada masa itu. Patung tadi justru lebih mirip dengan sosok orang Sumeria. Padahal, kebudayaan Sumeria dikatakan sebagai kebudayaan tertua di mayapada.
Candi Cetho
Dari sisi paras & potongan rambut nir memberitahuakn orang Jawa, akan tetapi justru memiliki tendensi dengan orang Sumeria, Viking, Romawi, atau Yunani. Namun, dari sisi pembentukan mata, sangat identik dengan patung Sumeria. Wajah & cara berpakaian serta perhiasan yg dikenakan bukan ciri khas orang Jawa, melainkan ciri khas orang Sumeria. Namun, mengapa dipatungkan mirip orang yg takluk & dengan paras ketakutan? Kapankah sebenarnya patung itu didesain?
Jika diperhatikan dari sisi perhiasan, buat telinga, biasanya orang Jawa memakai sumping, sedangkan pada patung ini hanya ada anting-anting. Pada lengan biasanya digunakan kelat bahu. Sedangkan pada patung itu nir. Pergelangan tangan orang Jawa biasanya juga memakai gelang keroncong, tetapi pada patung ini terlihat gelang yg sangat mirip dengan jam tangan. Gelang sejenis itu merupakan gelang ciri khas dari wilayah Sumeria.
Jika diperhatikan lebih jauh, timbul pertanyaan, mengapa di Candi Cetho ada patung yg intinya sangat mirip dengan orang Sumeria? Sedangkan orang Sumeria yg memakai busana mirip itu, berdasarkan literatur, ada pada zaman 3.000-4.000 tahun SM. Kalau mereka dikatakan insan pertama yg memiliki peradaban & tata sosial yg sudah rupawan, mengapa mereka menyembah & kelihatan takluk di Candi Cetho? Jadi, apakah bangsa kita nir punya peradaban pada waktu itu ataukah peradaban kita sudah lebih maju dari mereka?
Pohon Kaktus di Relief Penataran
Begitu juga beberapa patung yg terdapat di Candi Sukuh, yg letaknya pada ketinggian 1.186 meter di atas permukaan laut, tak jauh dari Candi Cetho. Candi Sukuh merupakan candi dengan bangunan yg unik karena terdapat tendensi bentuk dengan bangunan-bangunan yg ada di Saqqara, Mesir, Chichen Itza & Tenochticlan di Meksiko, serta Copan di Honduras.
Di kawasan Candi Sukuh terdapat beberapa patung berbadan insan, tetapi bersayap mirip burung & kepalanya menyerupai kepala burung. Pada sosok insan berkepala burung ternyata terdapat juga kemiripan dengan patung yg berasal dari bangsa Maya, literasi kuno pada bangsa Yahudi, serta relief & patung pada bangsa Sumeria, Babilonia, & Assiria.
Sosok insan berkepala burung yg sering diklaim Anunnaki pada relief di Sumeria, yg ternyata memakai perhiasan berupa gelang yg mirip dengan jam tangan, sama dengan yg dipakai para bangsawan & kesatria mereka.
Candi Penataran terletak di lereng barat daya Gunung Kelud, tepatnya di Desa Penataran, Blitar, pada ketinggian 450 meter di atas permukaan laut. Di areal Candi ini terdapat banyak relief yg menyimpan rahasia bagi yg jeli mencermatinya. Sangat banyak relief yg memberitahuakn bangsa asing yg pernah kita kenal. Sosok-sosok itu selalu digambarkan sebagai sosok yg seolah-olah takluk kepada yg berkuasa di Candi Penataran.
Beberapa relief yg masih agak kentara di Candi Penataran memperlihatkan ada 3 orang yg berdiri di belakang seseorang yg dalam posisi duduk berhadapan dengan dua orang yg sedang berjongkok menyembah. Bila diperhatikan, sosok paling pinggir dari 3 orang yg berdiri itu berpakaian mirip bangsa Han di Cina. Sosok di tengah mirip orang yg tergambar di Angkor Wat di Kamboja. Dan yg seseorang lagi mirip orang Maya, Inca, atau Copan di Amerika Latin. Sedangkan yg berjongkok, salah satunya terlihat mengenakan tutup kepala mirip orang Yahudi.
Relief-relief yg berada di taraf II bangunan Sitihinggil di Candi Penataran sangat kentara memberitahuakn penaklukan suatu bangsa yg mirip dengan bangsa Indian. Sesaat sehabis berhasil menguasai, satu dari nenek moyang kita dinobatkan sebagai adipati di sana. Dalam relief itu terdapat gambar pohon kaktus. Pohon ini asli dari Benua Amerika. Dapat diperkirakan bahwa bangsa yg ditaklukkan leluhur kita merupakan bangsa Maya dari Kerajaan Copan, yg sekarang berlokasi di Honduras.
Bukti Lain: Piramida Lalakon
Dari sekian banyak bukti fisik yg indikasi keberadaan Atlantis di Nusantara, yg paling menarik pada ketika ini merupakan penemuan struktur batuan piramida di pergiBukit Lalakon di Kecamatan Soreang, Bandung. Adalah tim ekspedisi dari Yayasan Turangga Seta juga yg menemukan & melakukan studi ilmiah di blog tadi.
Dengan menggandeng beberapa ilmuwan dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) & BPPT (Badan Pengkajian & Penerapan Teknologi), tim itu melakukan uji geolistrik di sana. Hasil uji geolistrik indikasi adanya struktur bebatuan yg membentuk piramida terpendam dalam bukit tadi.
Baca juga Garut dalam Mitos : Gunung Papandayan Hingga Gunung Sadahurip
Setelah dilakukan penggalian pada Maret silam, tim itu berhasil menemukan sejumlah bongkahan batu yg diduga merupakan batu penutup bangunan piramida. Batu-batu yg ditemukan pada kedalaman 1-4 meter itu berukuran sama: panjang 1-2 meter & lebar 30-40 sentimeter. Batu-batu itu tersusun rapi & teratur, dengan kemiringan 30 derajat yg menunjuk ke titik pusat piramida.
Tim Ekspedisi Turangga Seta juga menjamin telah menemukan puluhan bahkan ratusan blog yg diduga piramida di banyak pelosok Nusantara. Selain Bukit Lalakon, misalnya, tim itu pun menemukan Bukit Sadahurip di Garut, yg diduga keras merupakan struktur piramida yg juga tertimbun tanah.
Tentu saja ini baru penelitian awal yg harus ditindaklanjuti secara serius buat membuktikan bahwa itu merupakan piramida buatan insan, yg mungkin terkait dengan peradaban Atlantis atau Lemuria di Nusantara. Nah, bagaimana pendapat sampeyan? Kira kira dimana Atlantis itu berada. Selamat mengira ngira & berhipotesa. Akhir kata, sekian dulu & terimakasih sudah membaca hingga selesai tulisan ini, hingga jumpa pada tulisan selanjutnya. Nuwun.
NB : Disarikan dari berbagai asal terpilih