Dunia Keris – Penulis ingin mencoba mengingat kembali suatu peristiwa yg masih segar dalam ingatan, walau peristiwa ini terjadi telah 4 tahun yg kemudian. Tepatnya, pertengahan tahun 2012.
Sebagai seorang yg senang serta gemar bareng hal yg berbau misteri, tempat-tempat menyeramkan serta keramat, maka, saya akan selau pergi kemana saja yg saya sukai serta dengar bila timbul tempat-tempat misalnya itu. Saya jua gemar memburu benda-benda unik serta antik serta lebih-lebih yg aneh. Ibarat kata, dimanapun adanya, absolut saya cari serta datangi untuk melihat serta mengetahuinya. Syukur-syukur kalau bisa mendapatkan barangnya.
Peritiwa yg saya bagi cerita kali ini terjadi di desa mini yg bernama Pauh. Desa yg sekaligus nama Kecamatan ini masuk wilayah Sarolangun, Jambi. Penulis diajak sang Bang Pian yg sewaktu kuliah di Jawa ngekost di tempat tinggal bulek penulis. Sejak awal dikala penulis berkunjung ke Pauh ini atas undangan bang Pian, yg pada komunikasi sebelumnya memang mangajak mencari barang-barang antik yg terkubur di tanah lapang yg telah dipenuhi sang semak liar yg tingginya mencapai 2 meter bahkan lebih, tidak jauh dari kediamannya. Belum lagi dilingkupi pohon-pohon besar yg menjulang tinggi ke angkasa, serta pohon-pohon karet yg sangat rindang serta subur.
Waktu itu telah lewat tengah hari, sekitar pukul 14.00 kami pun berangkat ke tempat tujuan yg berjarak kira-kira lima km dari kediaman bang Pian. Perjalanan kami menuju lokasi bareng berjalan kaki. Karena sara menuju kesana hanyalah jalan setapak yg dipenuhi semak belukar, nir bisa dilalui sang tunggangan bermotor roda 2 bahkan bareng onthel sekalipun.
Sampai dilokasi tempat pencarian barang antik, waktu telah menandakan pukul 15.00. hari terasa hampir ge;ap. Maklum, tempat yg kami tuju adalah hutan belantara yg masih lebat serta rindang, sebagai akibatnya cahaya matahari sepertinya sulit untuk menembus bumi. Oleh karena itu, penulis pun merasa hari telah hampir gelap.
Dengan alat-alat seadanya yg kami bawa dari tempat tinggal, linggis mini serta cangkul pendek, maka, kami pun mulai menggali di beberapa tempat yg diperkirakan masih tersimpan aneka macam barang yg kami cari, contohnya, piring, mangkuk, guci serta lainnya yg kami duga msih tertimbun di bawah tanah.
Cukup dalam kami menggali di beberapa lokasi, serta meski telah menggali serta terus mencari hingga lebih kurang 2 jam, namun, tidak satu barangpun kami temukan. Karena itu mai berniat untuk kembali ke tempat tinggal Bang Pian.
Hari telah hampir gelap, lantaran sinar matahari terhalang rimbunnya pepohonan padahal, waktu masih berkisar anatara pukul 17.00. Waktu kembali, kami sengaja memilih jalan, karena ucapnya, jeda yg ditempuh akan sedikit lebih dekat. Namun resikonya, kami wajib melewati sebuah pemakaman yg sangat tua serta nir terurus.
Sekitar setengah jam perjalanan kembali, kami pun melewati pemakaman tua tadi. Pemakaman itu persis misalnya apa yg digambarkan sang Bang Pian tadi.
Sampai di sini, hari telah gelap sekali. Dan dikala saya melihat jam di HP, aktu menandakan pukul 17.35. kepekatan membangun hanya timbul beberapa pemakaman saja yg sanggup penulis lihat. Itupun selesainya sungguh saya perhatikan, maklum, makam telah amat tua serta jua nir terawat.
Jarak makam satu serta lainnya berjauhan berkisar antara 10 meteran. Yang tinggal terlihat di amkam itu hanya beberapa butir batu. Ukuran makam itu berkisar 2×2 meter, dibatasi sang bilahan kayu.
Penulis berhenti di lokasi pemakaman tua itu serta mencoba berbincang-bincang mini bareng Bang Pian seputar makam tua itu. Saya mendapatkan klarifikasi sedikit. Katanya, kalau makam-makam itu adalah makam tua yg nir diurus lagi, mungkin jua keluarganya telah pindah atau bahkan meninggal global.
Jadi saya pikir masuk akal saja bila pemakaman serta kuburan yg saya lihat itu telah nir terawat, bahkan saya hampir nir mengetahui kalau di tempat saya berdiri pun ternyata adalah pemakaman serta kuburan-kuburan tua, seandainya nir diberi tahu sama Bang Pian.
Setelah menerima klarifikasi singkat dari Bang Pian, kami punberniat melanjutkan perjalanan kembali lantaran hari semakin gelap. Sinar matahari telah tidk nampak lagi. Sedangkan kami hanya berdua di lokasi itu. Sejak dari berangkat mencari barang-barang antik hingga di pemakaman tua itu, nir seorang pun kami jumpai di perjalanan. Yang terdengar hanya suara hewan-hewan mengerik saja.
Ada satu getaran serta aura yg sangat kental yg saya rasakan. Ketika hendak berkiprah meninggalkan pemakaman tua itu, perasaan takut mulai menjalar serta menghatui kepala, serta bulu kuduk mulai berdiri. Udara yg saya rasakan di lokasi makam, tiba-tiba mendadak sejuk, perlahan berkembang menjadi dingin. Padahal sebelumnya udara terasa panas.
Saya yg telah sering serta biasa tiba ke tempat-tempat menyeramkan tahu, bahwa kenyataan udara di tempat kami berada, mengindikasikan di tempat itu masih timbul konsentrasi medan tenaga yg sangat poly serta kuat auranya.
Saya mencoba memanggil Bang Pian supaya kami bisa berjalan berdampingan. Jujur sja, selesainya perunbahan udara yg terjadi secara fenomenal itu, saya mulai merasa takut serta was-was. Apalagi kalau mengingat hanya kami berdua yg timbul di situ. Belum lagi hari telah mulai gelap, sedang untuk bisa hingga ke tempat Bang Pian jaraknya masih relatif jauh.
Belum lagi langkah saya mendekati Bang Pian, tiba-tiba kaki kiri saya menginjak sebilah papan mini yg telah usang serta lapuk tertutup dedaunan kering serta tiba-tiba terbenam ke dalam tanah sekitar 30 centimeter-an. Otomatis kaki kiri saya ikut terbenam ke dalam lubang itu. Lalu keseimbanagn tubuh saya menjadi goyah walau nir hingga terjatuh.
Waktu kaki saya terbenam, Bang Pian cepat berbalik menghampiri saya seraya bertanya mengenai keadaan saya. Lalu saya katakan nir apa-apa, hanya kaki kiri saja saja yg terperosok serta kotor.
Karena saya merasa memang nir timbul luka di kaki, kami pun melanjutkan perjalanan kembali. Walau bareng perasaan takut yg terus menghantui hati saya.
Sebelum saya mengangkat kaki kiri saya dari lubang, Bang Pian berkaya pada saya, sepertinya di lubang tempat kaki saya terperosok itu adalah kuburan. Dan lubang di tempat kaki saya terbenam itu adalah bekas galian yg tertutup sebulah papan mini.
Perasaan cemas serta was-was pun terasa lebih mengahantui lagi. Karena saya pikir arwah orang itu absolut kesel sama saya serta menyerang saya bareng cara yg nir terpikirkan. Yang terang, perasaan takut serta cemas semakin saya rasakan. Seketika, saya membaca surat-surat pendek sekedar untuk menenangkan hati serta mencoba berlaku sedikit damai.
Setelah apa yg dikatakan Bang Pian serta saya perhatikan bareng akurat, memang benar adanya, kaki saya terperosok di pemakam tua itu. Menurut pemikiran serta estimasi saya, lubang itu adalah bekas galian orang, entah penduduk orisinal sekitar atau tangan-tangan jahil yg sengaja merusaknya.
Mereka mencoba mencari keberuntungan untuk mendapatkan barang-barang antik yg menurut estimasi meraka memang masih timbul areal pekuburan ini. Kenapa saya nir mengajak Bang Pian untuk mencari barang-barang antik di lokasi lain?
Pada bagian depan tulisan ini saya telah tuliskan. Karena sebelumnya, poly penduduk setempat yg mencari barang-barang antik yg telah relatif poly ditemukan sebelumnya. Itulah sebabnya, saya mengajak Bang Pian ke loasi bekan penggalian bareng virtual bisa mendapatkan barang-barang antik yg di tanam sang rakyat sekitar waktu pendudukan Jepang itu. Namun dalam pencariannya, ternyata, saya nir mendapatkan apa-apa.
Karena nir mendapatkan barang-barang itu, maka, Bang Pian pun membertikan guci yg telah nir mengecewakan tua usianya. Selain guci, jua timbul mangkuk, piring serta sendokyang masih tersimpan di tempat tinggal saya hingga sekarang. Kembali pada insiden terperosoknya kaki saya ke dalam lubang. Setelah Bang Pian menghampiri, kamipun melanjutkan perjalanan kembali.
Namu, sebelum kami berkiprah, sepertinya timbul sesuatu yg manrik perhatian Bang Pian di sekitar kaki saya yg terbenam tadi. Lalu. Dia berkata, Sepertinya timbul gerabah guci mini
Saya melihat ke arah lubang dimana tempat kaki saya terperosok tadi. Benar, memang timbul guci mini disana. Tingginya sekitar tiga- centimeter serta berdiameter 12 centimeter. Ru[anya guci itu yg terinjak kaki saya. Guci itu sangat nir menarik untuk ditinjau apalagi untuk di koleksi. Karean sebagian telah pecah serta di dalamnya dipenuhi tanah basah.
Karena niat saya mencari barang-barang antik, saya pikir nir apa-apa. guci nir baik itu pun saya bawa, walau keadaanya telah pecah serta nir utuh lagi. Sesampai di tempat tinggal Bang Pian, hari telah sungguh gelap. Baru keesokan harinya, guci itu saya bersihkan bareng hati-hati supaya pecahannya nir bertambah. Tanah yg menggumpal di dalamnya saya keluarkan sedikit-sedikit, lantaran memang hampir mengeras. Bahkan membatu. Sekian. Matur nuwun.
Yogyakarta, 060816