Dunia Keris – Selamat datang kerabat perkerisan. Banyak kisah mengenai pelacur. Tapi yang dilakoni Carla van Raay ini sungguh mencengangkan. Bukan saja lantaran ia mantan biarawati. Lebih dari itu, perempuan kelahiran Tilburg, sebuah kota mungil pada Belanda, ini blak-blakan menuangkannya dalam sebuah memoar Sang Pelacur Tuhan.
Carla van Raay menjuluki dirinya sebagai pelacur Tuhan. Dalam fantasinya, ia memakai seks sebagai meditasi pada Tuhan, dan pada dikala yang sama menyediakan kehidupan buat diri sendiri. Sisi kelam masa kanak-kanaknya (mengalami pelecehan seksual sang ayah kandung) mungkin turut berperan membangun wataknya yang amat memuja seks. Banyak pelanggannya tergila-gila dan rela membayarnya mahal.
Buku ini sebagai best seller pada Australia, kawasan Carla berpetualang sebagai pekerja seks komersial. Edisi dalam bahasa Indonesia yang diterbitkan sang Penerbit Hikmah, ternyata maupun laris keras pada Tanah Air, meski sempat "diboikot" sejumlah toko buku.
Berikut cuplikan buku Sang Pelacur Tuhan, memoar Carla van Raay, yang spesifik saya persembahkan buat kerabat perkerisan. Monggo
Lahir Menjelang Perang
Aku dilahirkan pada sore hari pada 28 Oktober 1938 pada Tilburg, sebuah kota mungil pada Belanda. Ketika itu, akhir musim panas, adalah waktu yang tak keruan buat lahir. Udara yang dingin bercampur dengan udara panas. Dedaunan yang gugur dari pohon plane, pohon ek, dan pohon berangan terseret angin dengan berisik dari trotoar ke beranda.
Rumah tempatku lahir terletak pada deretan tempat tinggal yang bersambung. Setiap tempat tinggal memiliki taraf atas dengan ventilasi mungil yang terpasang pada atap yang curam. Para bunda selalu melahirkan pada tempat tinggal. Dokter baru dipanggil kalau ada dilema berat, seperti dialami mamaku.
Pada waktu itu, aku seakan enggan lahir, sebagai akibatnya dokter membantuku hadir ke mayapada dengan sentakan forsepnya yang kuat. Kultur Katolik pada dikala aku dilahirkan memiliki premis yang sederhana sekaligus sangat seram: sifat manusia intinya adalah jahat. Itu bermakna jahat sejak awal dan ada pada sentra keberadaan seseorang.
Di bagian selatan Belanda tempatku lahir, kepercayaan meresap hingga ke tulang sumsum semua orang. Terdapat kepercayaan yang kukuh bahwa tanpa pembaptisan Kristen, jiwa seseorang akan masuk neraka. Adik perempuan mamaku bergegas membawaku ke gereja buat dibaptis. Berjalan kaki adalah satu-satunya cara buat mencapai gereja.
Mamaku tak mungkin melakukannya sebab masih sangat lelah selesainya melahirkanku. Aku pun dibaptis, dan berdasarkan tradisi aku diberi nama dari bahasa Latin. Orangtuaku merasa, aku butuh setidaknya 3 nama santo buat mengusir iblis: Carolina Johanna Maria.
Nama itu maupun mewakili nenek moyangku. Nama pertama diambil dari Carola, nama nenekku dari pihak Papa yang kelahiran Jerman. Tapi aku tak pernah dipanggil Carola, sebab mamaku membenci orang Jerman. Dia membarui sedikit pelafalannya dan mengakibatkan namaku Carla, yang bermakna "wanita kuat", sama seperti karma yang menantiku.
Aku anak sulung. Ketika aku lahir, mamaku berusia 25 tahun. Ia masih memiliki garis keturunan famili bangsawan Prancis yang kabur dari pisau guillotine selama Revolusi Prancis, lalu mengungsi ke Belanda. Mama menikah dengan papaku yang berusia setahun lebih belia. Pada dikala mereka menikah, Papa tak punya apa-apa kecuali paras yang ganteng, sebuah biola, serta ketekunannya bertukang dan berkebun.
Keluarga kami miskin. Mamaku yang baik selalu memenuhi hasrat suaminya pada ranjang, sebagai akibatnya memproduksi poly keturunan. Dalam kurun 20 tahun, dia melahirkan 10 anak dengan 2 kali keguguran. Anak-anak yang poly itu tentu membutuhkan sandang dan pangan yang poly juga pada masa sulit sebelum dan sehabis perang. Perang Dunia II pecah kurang dari setahun selesainya aku lahir.
Mimpi Buruk yang Menjijikkan
Papaku sangat ganteng, terutama ketika memakai seragam militer. Papa ikut berperang melawan pendudukan Jerman. Tapi dia tidak pernah dikirim ke garis depan. Bukan saja sebab dia sudah berkeluarga, akan tetapi sebab dipahami betapa sulit baginya yang memiliki kerabat dekat Jerman.
Meski tidak pada garis depan, papaku pernah tertembak kakinya sang tentara Sekutu yang menyangkanya serdadu Jerman. Papa dihujani tembakan dari pesawat. Ketika itu, Papa dan aku yang berusia lima tahun sedang mencari kayu bakar pada area terbuka.
Tugas papaku yang mengerikan adalah mengumpulkan mayat dari medan pertempuran dan parit konservasi. Kemudian mengevakuasinya dengan truk yang dikemudikannya. Dia harus mengidentifikasi mayat-mayat itu kalau bisa. Terkadang mayat-mayat itu sudah membusuk dan kalung pengenal yang terbuat dari tembaga berantai besi tenggelam ke dalam rongga dada mayat. Hal itu tentu cukup memproduksi seorang laki-laki mana pun terguncang.
Kalaupun Papa betul terguncang dahsyat, sungguh tak pernah terbetik dalam pikiranku kalau Papa hingga tega menghancurkan putrinya sendiri. Selama 3 tahun Papa yang kucintai itu memperlakukanku sebagai pemuas hasrat seksnya. Dan aku tak berdaya sama sekali, bahkan buat sekadar menceritakannya sekalipun. Selama bertahun-tahun misteri itu kupendam kedap-kedap.
Mimpi buruk yang menjijikkan itu menerkamku ketika aku berumur enam tahun. Pada dikala itu, aku baru beberapa bulan masuk sekolah dasar. Mimpi buruk itu berupa papaku sendiri. Ia memakai baju tidurnya, merayap ke atas ranjangku bagai hantu pada malam kelam. Aku masih terlelap ketika ia menarik selimutku, menciumiku, dan mengelus sekujur tubuhku dengan tangannya yang kasar.
Dia memberikan mulutnya yang basah dan berbau tembakau pada atas wajahku. Hidungnya mengembuskan napas yang panas dan maupun bau. Ciumannya yang membabi buta dan wajahnya yang penuh bulu menyakiti kulitku. Bau tubuhnya sungguh mengerikan, sebagai akibatnya aku tak tahan.
Aku tak bisa berpaling sebab tangannya memegangi wajahku ke arahnya. Lagi juga, aku memang tak berani berpaling. Sangat sulit buat bernapas. Papaku terengah-engah, mengerang. Aku merindukan air higienis, akan akan tetapi tak ada.
Aku hanya bisa menenangkan diri dengan berusaha tertidur pulang dengan cepat. Kupikir, tadi malam aku hanya bermimpi buruk. Sejak bencana malam itu, aku batuk selama berminggu-minggu, berbulan-bulan. Tapi tak bisa mengeluarkan benda yang membuatku batuk itu.
Aku tak bisa membersihkan kerongkonganku. Rasanya sangat menderita. Tapi, secara perlahan, sebab aku anak yang tegar dan sangat menyayangi papaku, aku pun membiasakan diri. Semacam konspirasi yang tak terucapkan berkembang pada antara kami. Apalagi, papaku mengancamku dengan bengis supaya jangan buka mulut pada siapa pun.
Hijrah ke Australia
Pada musim panas 1950, ketika aku berusia 12 tahun, kami sekeluarga meninggalkan Belanda. Mama mendapat warisan sejumlah uang selesainya papanya meninggal, dan menggunakannya buat memulai kehidupan baru pada Australia. Papa memproduksi kotak-kotak kayu buat mengemas furnitur dan seluruh harta benda kami ke kapal.
Tak semua barang kami bisa terangkut sebab terbentur peraturan batasan muatan. Sejumlah barang, termasuk koleksi bonekaku, terpaksa ditinggal. Orangtuaku tak hingga hati memberitahuku tengan hal itu. Aku baru tahu selesainya tiba pada negeri tujuan, ternyata boneka kesayanganku tak ikut serta. Aku sedih bukan kepalang.
Papa berjanji merubahnya dengan yang baru. Tapi hanya janji-janji. Kapal kayu tua pengangkut tentara yang kami tumpangi makan waktu enam minggu buat hingga ke Sydney. Menginjakkan kaki pada Australia menimbulkan perasaan magis tertentu. Rasanya sungguh baru, sungguh tidak sinkron-asing, akan akan tetapi ramah.
Kami kemudian naik kereta uap yang membawa kami ke kamp imigran pada balik Blue Mountains. Kami habiskan enam minggu pada kamp, sementara Papa mencari pekerjaan. Berkat pertolongan Pater Maas, seorang Belanda yang sebagai pastor Katolik dari Victoria, Papa mendapat pekerjaan sebagai ketua tukang kebun pada sebuah biara pada Melbourne.
Kebun itu luasnya 7 hektare lebih, terabaikan selama bertahun-tahun, mengelilingi biara yang massif. Nama biara itu Genazzano, berfungsi sebagai kolose buat anak perempuan dari kalangan famili berada. Di areal yang mengelilingi biara tadi terdapat sebuah pondok yang masih dihuni tukang kebun sebelumnya. Tukang kebun ini sudah ogah-ogahan kerja, akan akan tetapi tak mau dipecat.
Untuk sementara, kami tinggal pada sebuah tenda akbar pada depan pondok tadi, sebelum akhirnya pindah ke pondok. Berkat kerja keras Papa, tanah tak terurus pada Genazzano perlahan berubah sebagai cantik. Papa tidak hanya berfungsi sebagai pengurus taman, maupun sebagai tukang listrik, tukang ledeng, dan tukang kayu bagi biara.
Di kawasan baru ini, papaku lebih gembira dari sebelumnya. Tak pernah berongsang lagi. Mungkin lantaran Papa maupun telah menemukan cara baru buat melepaskan hasrat seksualnya, dengan mengencani pelacur, hingga-hingga sempat terjangkit penyakit sifilis yang menulari Mama.
Menjadi Biarawati
Tak terasa waktu terus berlalu. Usiaku genap 18 tahun. Aku tumbuh sebagai remaja yang menarik, tinggi dengan kaki yang cantik, paras manis dengan rambut pirang yang tebal kusut. Tapi aku tak menduga diriku cantik.
Di sekolah menengah itu, aku merasa terlalu tua, terlalu kurus, dan kakiku terlalu akbar. Dua gigi depanku agak menghitam, sebagai akibatnya tersenyum adalah pekerjaan yang sulit bagiku. Dan aku mulai bermimpi buruk mengenai sekolah.
Aku bemimpi tak pernah bisa lulus sekolah menengah, supaya tak perlu masuk biara. Sejak berhubungan dengan para biarawati, aku mendengar cerita mereka mengenai panggilan buat mengabdi pada Tuhan. Aku mengamati, para biarawati tampak sedingin es. Menjadi keliru seorang dari mereka adalah hal terakhir yang ingin kulakukan.
Bahkan, ketika berusia enam tahun, aku selalu gemetar bila berada dekat tembok biara. Aku gemetar terkait dengan firasat yang berkata bahwa meski takut, sebagai biarawati adalah takdir yang tak terelakkan. Pernah pada umur 16 tahun, mungkin sebab takut, motivasiku masuk biara melemah. Mungkin gara-gara berhubungan dengan Keith, pemuda gagah yang kukenal dan kuakrabi usai pertunjukan drama sekolah, para biarawati memberi dorongan supaya aku tetap masuk biara.
Semua gadis belia yang akan meninggalkan sekolah disuapi cerita mengenai anak-anak dara yang tak mengikuti panggilan agamanya. Kehidupan mereka, begitu ceritanya, penuh kesengsaraan, sebab mereka menghalangi diri mereka sendiri dari berkat Tuhan. Ketegangan menetap dalam diriku sebab, meskipun ada penolakan yang kurasakan, aku tahu bahwa tak ada jalan keluar.
Aku harus masuk biara. Ini kehendak Tuhan, kataku pada diri sendiri. Tuhan akan mencintaiku sebab aku telah berkorban. Tuhan maupun akan memberkati keluargaku seperti yang dijanjikan para biarawati.
Aku tak hanya mencari kebenaran; aku mencari cinta, cinta yang sejati. Sebulan sebelum masuk biara, Mama tergopoh-gopoh mendatangi kamarku. Dia mendengar tangisanku dan kaget mengetahuiku merobek-robek bajuku dan menangis histeris.
Aku bilang padanya pada antara isak tangis bahwa aku tak mau masuk biara. Dia mendengar pengakuanku, "Aku tak mau masuk biara, akan akan tetapi pada sisi lain aku mau masuk ke sana.'' Mama iba padaku dan menghiburku. Tetapi, apa yang bisa ia lakukan? Selain merasa terhormat bahwa masuknya aku ke biara akan memberkati keluarganya, dia maupun penganut kuat paham "menjalani takdir Tuhan".
Lalu, dengan keahliannya menjahit, Mama diam-diam membantuku bersiap-siap. Dia membuatkanku pakaian sederhana berwarna hitam, celemek, dan mantel tanpa lengan. Hari yang mendebarkan itu pun tiba, pada suatu hari yang panas Februari 1957. Ditemani kedua orangtuaku yang tersenyum penuh kebanggaan, aku berjalan dengan bahu tegak melewati pagar cypress yang membentang memisahkan rumahku dengan biara.
Aku hingga pada pintu belakang biara buat para suster dan diterima sang reverend mother yang tersenyum dengan bangga. Aku sebagai postulant, yang secara harfiah berarti "orang-orang yang meminta"; dalam hal ini orang yang meminta buat sebagai seorang biarawati. Ada lima posies lainnya sepertiku. Semuanya anak gadis yang baru lulus sekolah, sama seperti diriku.
Beberapa tahun kemudian, Berta, adikku yang bersemangat, akan diterima sebagai biarawati pada umur yang belum genap 16 tahun. Aku tak bisa menguji motifku. Motifku sepertinya maupun tidak mengganggu kesadaran biarawati. Mereka tak bisa melihat secara dekat perekrutan mereka, meskipun secara psikologis bisa mendeteksi motif yang tersembunyi.
Lagi juga, butuh waktu 30 tahun dalam hidupku buat paham secara penuh mengapa kupikir aku tak punya pilihan lain kecuali masuk biara. Aku rajin berkirim surat buat orangtuaku. Surat pertamaku memberi paparan suasana kehidupan baruku. Selama beberapa bulan pertama, kami bangun pukul 06.15. Bermeditasi selama 20 menit sebelum misa dimulai pukul 07.00.
Seorang novice berlalu lalang pada asrama, memecahkan keheningan fajar dengan berteriak: "Segala puji bagi Yesus!" sekeras yang ia bisa. Dia tak akan bergerak sebelum mendengar jawaban "Amin!" dari balik setiap tirai. Kami diberi pengenalan mengenai cara hidup biarawati.
Kami tinggal bareng para novice yang sudah ada setahun penuh dan memakai pakaian biarawati lengkap, akan tetapi bonet dan kerudung, bukannya pakaian biarawati yang serba hitam. Para postulant dan novice dipisahkan dari para biarawati. Artinya, kami dilindungi, sementara waktu, dari aktivitas rutin sehari-hari orang-orang yang telah mengucapkan sumpah tetap. Atau, mungkin mereka yang dilindungi dari kami?
Masa postulant selesai 8 September 1957, pada hari Immaculate Conception Bunda Maria. Untuk menandai perubahan itu, diadakan upacara buat generik yang formal dan mengesankan pada kapel yang dihadiri semua kerabat dan sahabat. Kami enam pengantin Kristus berjalan dengan sungguh-sungguh pada lorong.
Rambut kami masih utuh dan ditutup dengan kerudung yang kami pakai ketika masih kanak-kanak pada komuni pertama kami. Tangan kami tertangkup pada depan dada ketika kami berjalan dengan ketua tertunduk. Gaun pengantin-pengantinanku dijahit sang mamaku. Gaun itu terbuat dari kain satin putih dengan bintik mungil. Kubayangkan diriku seperti Maria Goretti atau seorang santo dari gambar-gambar kudusku.
Kami sudah melatih obrolan buat melepaskan mayapada, minta pakaian yang akan kami pakai, dan menyatakan tekad buat sebagai pengantin Kristus, seorang pendamping Yesus yang setia. Sebelum menikahkan kami, uskup menanyai setiap orang dari kami dengan pertanyaan seremonial ketika kami berlutut pada depannya. Dan kami menjawab dengan lancar, sebab obrolan itu sudah kami latih.
Setelah upacara usai, keluargaku mendekat buat memberi ucapan selamat padaku. Papaku mendekapku erat dan mencium bibirku hingga Mama berbisik supaya dia cepat-cepat berhenti. Ketika bibirnya masih inheren pada bibirku, kubuka mataku dan kulihat paras mamaku yang kesal. Pada momen persentuhan dengan papaku yang terasa aneh itu, aku merasa persentuhan pada masa lalu akhirnya terbayarkan.
Ah, akhirnya papaku bangga padaku. Pencapaian putrinya telah memproduksi dirinya senang secara seksual. Aku kini bernama Suster Mary Carla, nama yang kupinta. Tiada nama santo buat diriku. Begitu poly rekan susterku yang menguburkan kefemininan mereka lebih dalam dengan mengadopsi nama santo.
Keluar dari Biara
Selama menjalani kehidupan sebagai biarawati, aku masih maupun tak mengetahui apa motifku sebagai biarawati. Pada akhirnya, aku tak lagi memiliki semangat perkumpulan yang didasarkan pada kepatuhan yang menyenangkan dan kontak yang menghormati dan akrab dengan para atasan.
Aku akhirnya tetapkan buat meninggalkan biara. Cukup 13 tahun aku sebagai biarawati. Ini bukan dilema mengenai tidak cocok lagi sebagai biarawati. Aku butuh menyembuhkan luka yang berasal dari masa kecilku, dan biara bukanlah kawasan yang tepat buat menyembuhkan luka itu.
Kutulis surat buat uskup, memberitahu padanya mengenai maksudku. Kutaruh surat yang telah ditambahkan perangko itu pada meja tulis mungil, kawasan buat mengumpulkan pos pagi. Surat itu diambil sebelum sarapan. Setelah sarapan, aku memberitahu reverend mother-ku.
Aku terkejut melihat dia terganggu sebab aku tidak berkonsultasi dengannya dulu. Dan segera saja kabar itu menyebar ke seluruh komunitas. Uskup mengirim balasannya pada Bunda Albion, menyarankannya buat mengambil langkah berikutnya, yakni menulis surat pada Holy See (sidang kepausan) buat pengecualian.
Aku maupun diharuskan menulis secara formal kepada reverend mother general, yang akhirnya kulakukan. Aku mencoba memproduksi surat itu terdengar seolah alasanku meninggalkan biara adalah atas kehendakku sendiri. "Aku tidak pernah sadar sebelumnya akan motifku buat masuk biara," tulisku.
"Baru kuketahui bahwa motif-motif itu tidak murni buat melayani Tuhan, melainkan didasarkan pada ketidakamanan dan ide yang keliru yang dimaksudkan buat melakukan kehendak Tuhan. Pada dikala masuk, aku tidak punya ide kentara mengapa ingin sebagai biarawati." Kutulis lagi beberapa kalimat seperti itu. Surat itu disetujui dan dikirimkan.
Setelah bersalam pisah yang paling singkat, aku dipindahkan dari kawasan itu, dikirim ke biara kawasan sekolah menengahku dulu, Vaucluse. Kunikmati masa tinggalku pada sana. Di sana adalah komunitas baru, walaupun poly nama dan paras yang familier bagiku dari masa aku sebagai siswi. Di kawasan ini, aku menunggu jawaban dari Holy See.
Ini adalah buat kali keduanya seorang suster meninggalkan biara. Yang pertama, empat tahun lalu, pada 1965. Karena efek aturan membisu yang kuat, dilema ini dihentikan dibicarakan. Suster yang pergi itu pernah sebagai ketua sekolah pada Genazzano dan tetapkan pergi selesainya timbul poly kontroversi mengenai caranya menangani murid-murid.
Kepergianku, pada sisi lain, akan menyebabkan poly perbincangan –dan akan memercikkan pengusiran. Sebelum tahun berakhir, ada enam orang lagi yang akan pergi. Surat dari Vatikan pun tiba.
"Ayo, Carla, pergilah," bunyi surat yang tiba enam minggu selesainya suratku diposkan. Surat balasan itu ditulis dalam bahasa Latin, yang hingga hari ini aku tak mau repot-repot mengartikannya. Aku disuruh naik, ke kamarku, buat menanggalkan pakaian seragam biarawati.
Menikah Kemudian Berpisah
Akhirnya aku bebas. Aku pulang ke pondok orangtuaku, tempat tinggal lamaku. Ketika itu lepas 1 Juni 1969 dan hari ulang tahun mamaku ke-56. Kedatanganku disambut muka cemberut orangtuaku. Aku melihat rasa sakit pada mata mereka, merasa sangat dikhianati.
Tentu saja mereka menerima kehadiranku. Aku tidur pada ranjang akbar tempatku biasa menyebarkan dengan adikku lebih dari 12 tahun silam. Dua minggu selesainya meninggalkan biara, aku maupun meninggalkan tempat tinggal orangtuaku.
Aku tak tahan pada sana, sebab Papa dan Mama selalu ribut. Aku pernah berteriak mencoba melerai mereka. Papa murka dan mengancam akan menghajar aku bila aku tak tutup mulut. Dengan uang pinjaman adikku, aku menyewa sebuah kamar pada sebuah tempat tinggal gedung akbar yang disulap sebagai apartemen.
Aku mulai mengajar bahasa Prancis pada Templestowe High, keliru satu SMU favorit pada Melbourne, sehari selesainya aku menghuni apartemen tadi. Gaji pertamaku kubelikan baju hijau kesempitan, dan gara-gara itu aku sempat dijuluki ''si Kodok'' sang muridku. Sebagai perempuan, aku tentu mendambakan laki-laki yang akan menikahiku.
Akhirnya aku menemukan laki-laki itu. Namanya James, tujuh tahun lebih belia dariku. Kami menikah pada 19 Desember 1970. Namun James bukan lelaki pertama yang kupersembahkan keperawananku. Kehormatan itu kuberikan lebih dulu pada Brian, lelaki yang kukira mencintaiku dan akan menikahiku.
Brian ternyata cuma iseng, lalu menghindariku. Aku menikahi James sebab dia mencintaiku dan sebab kupikir dia kebalikan dari papaku dalam beberapa hal krusial. Dia berperilaku manis, amat lembut, terhormat, setia, dan ramah. Kami tetapkan pindah ke Perth, pada sebelah barat Australia yang lebih cerah. Di situ kami mendapat kesialan.
Tabungan kami ludes ditipu perempuan Belanda yang telah kuanggap sebagai ibuku.
Kesialan berikutnya, ketika masih menyusui putri pertama kami, Caroline, aku diperkosa sang Ross, koki pada kantin perusahaan kawasan James bekerja.
Di kantin itu aku bekerja sebagai pelayan. Ross melakukan perbuatan bejatnya itu pada rumahku, ketika James tak ada. Dan aku tak kuasa menolak, bahkan ketika diminta Ross buat tutup mulut atas bencana itu.
Aku kemudian berkenalan dengan Aaron, seorang mahasiswa arsitek yang sedang cuti enam bulan buat mencari uang. Kami berkencan, dan aku merasa sangat puas memiliki perasaan bahwa aku adalah, akhirnya, seorang perempuan pada dikala itu. Hubunganku dengan James jadi dingin, dan kami akhirnya berpisah.
Jalan Menjadi Pelacur
Ketika itu hampir musim semi, 1973. Hidup tanpa penghasilan sungguh mencemaskan. Aku mulai mencari lowongan kerja pada koran setempat. Mengajar cita rasanya bukan pilihan menarik lagi. Aku mendatangi sebuah pabrik jas hujan plastik yang membutuhkan tenaga kerja. Ternyata upahnya sangat mengecewakan, kelewat rendah: 2,5 dolar sejam. Tak hingga 1/3 upah buruh homogen-homogen pada dikala itu yang 8 dolar sejam.
Aku iba melihat para perempuan yang bekerja pada pabrik itu. Mereka melacurkan kemampuan dan tenaga buat hasil yang amat sedikit, pikirku. Pelacuran! Sekali kata itu masuk ke kepalaku, serta-merta pemikiran berikutnya timbul: akan kulakukan sesuatu yang lebih baik.
Aku akan melacurkan tubuhku buat mendapatkan uang yang poly dan maupun buat bersenang-senang. Aku tak kenal seorang pun pada industri seks dan, seperti biasa, tidak meminta bimbingan dari siapa pun. Aku mulai mengeksplorasi kemungkinan karier baru yang menantang ini dengan mencermati iklan-iklan pribadi pada koran-koran.
Pilihanku jatuh pada iklan yang mencari lady escort. Kutelepon dan kudatangi kawasan itu, dan aku disebut memenuhi syarat. Aku pribadi disuruh bergabung pada "ruang tunggu". Hari pertamaku kurang beruntung. Tak ada tamu yang nyantol.
Baru besoknya, Stella, pemilik agensi escort tadi, membawa seorang klien padaku. Namanya Tony. Rupanya Stella mengiklankanku sebagai "Monica berkaki panjang, berambut pirang, sangat menyenangkan diajak mengobrol", dan itu yang menarik perhatian Tony.
Tony bersikap pribadi dan simpel. Dia menyuruhku masuk kamar, mengunci pintu, berbaring pada ranjang, dan siap beraksi. Tony menyergapku tak sabar dan dengan segera mencapai apa yang ditujunya. Istirahat sejenak dengan merokok, Tony beraksi sekali lagi. Ia menyergapku dan mengangkatku ke atas tubuhnya. Kali ini bahkan lebih memuaskan lagi baginya. Tony orang baik dan membayarku lebih.
Aku amat menyukai pekerjaan ini. Kadangkala kami, para escort, bertugas sebagai pasangan, berlagak lesbian, dan ini memberi kami kesempatan ngobrol. Ada perempuan yang jadi escort sebab murka pada mantan kekasihnya dan ingin memberi pelajaran pada semua laki-laki dengan memproduksi mereka membayar buat berhubungan seks.
Ada yang ingin mendapatkan uang secara cepat buat narkoba atau apa pun yang sebagai obsesi mereka. Setelah sebulan pada kawasan Stella yang kumal, aku bersiap mencari majikan baru yang lebih berkelas. Aku kemudian bergabung dengan germo Marinette yang gembar-gembor masih keturunan Prancis.
Marinette sangat paham dan mengajariku mengenai seni bercinta. Aku menyukainya dan percaya padanya hingga dia mengecewakanku dengan mengirimku ke seorang klien yang memiliki berukuran kelamin luar biasa. Aku kesakitan dan kemudian pindah ke germo lelaki bernama Rick. Hubungan kerja ini hanya 3 minggu.
Dalam keadaan mabuk, Rick melampiaskan nafsunya padaku dan menularkan penyakit kelaminnya. Aku pribadi menemui Dayton, dokter generik langgananku. Selama 2 minggu aku tak berani berhubungan seks, takut kalau-kalau aku menularkan penyakit itu.
Aku memakai waktu itu buat merencanakan termin selanjutnya dari karierku. Aku ingin bekerja sendiri. Aku membahas ide itu bareng Kelly, sahabat menyebarkan sewa tempat tinggal kami, bagaimana kalau aku "bekerja" pada tempat tinggal saja. Rumah kami pada Floreat Park sangat cocok sebab punya pintu masuk terpisah pada belakang.
Kutawarkan pada Kelly dan putranya, Jimmy, buat tinggal tanpa porto sewa, dan ia sepakat. Kupasang iklan mungil pada surat kabar West Australian pada antara iklan escort yang lain yang lebih prestisius, dan aku menunggu dengan gelisah. Suatu hari, aku menjawab telepon jeda jauh dari seorang laki-laki bernama Michael pada Sydney.
Pembicaraan telepon itu dilanjutkan dengan kencan. Ketika kami selesai, Michael memberikan uang pada perapian untukku. Jumlahnya lebih dari yang kuminta. Aku merasa senang dengan awal yang sukses ini. Aku mengkhususkan "hanya buat para pengusaha" pada iklanku dan lebih menyukai klien dari negara bagian lain.
Para laki-laki ini sebagai pelanggan tetapku, dan sebuah sikap saling percaya pun berkembang. Menjadi gundik pada tempat tinggal sendiri sangat cocok buatku. Aku bisa punya poly waktu luang dan sahabat. Aku maupun menikmati bercinta dengan para laki-laki yang mengenal dan menghormatiku.
Kepada mereka, aku tak perlu pretensi. Aku merasa diriku sepenuhnya seorang wanita, jatuh cinta pada seks, menikmati kebanggaan dan perhatian para laki-laki –dan mereka menghormatiku dengan membayarku mahal. Demi bayaran mahal itu, aku tak keberatan melayani enam laki-laki sekaligus.
Aku maupun hampir menangis sebab dihina klienku, seorang kapten kapal. Ketika kutepuk bokongnya dan kuselipkan tanganku pada sakunya –aku bermaksud bercanda lebih akrab– ia menuduhku hendak mencopet dompetnya.
Pelacur Tuhan
Aku memulai babak baru dalam pelacuran. Itu kujalani selesainya aku berpisah dengan suami keduaku, Hal, yang memberiku anak, Victoria. Hal adalah sahabat James, dan James-lah yang membawanya padaku. Ketika kami bareng, aku prei sebagai pelacur. Aku dan Hal kemudian berpisah.
Hal menikahi perempuan yang usianya 12 tahun lebih belia dariku. Aku sendirian lagi, bebas menuruti kehendak klienku dan diriku sendiri. Aku ingin mencari sebuah ide buat pekerjaanku, buat menaikkan termin permainanku. Menemukan inspirasiku secara tak terduga pada sebuah pameran vas Cina antik pada Perth.
Aku sangat terpikat sang gambar pada vas mengenai biarawati Cina, berpakaian lengkap, akan akan tetapi kentara sedang bersetubuh, menawarkan diri mereka kepada laki-laki seperti pedagang keliling. Sebuah kisah segera terbentuk pada benakku. Para biarawati itu, begitu kisah dalam kepalaku, membutuhkan para laki-laki buat tujuan mereka sendiri.
Mereka memakai seks sebagai meditasi pada Tuhan, dan pada dikala yang sama menyediakan kehidupan buat diri mereka sendiri. Fantasi itu cocok denganku. Mulai kini, aku akan membayangkan diriku sebagai seseorang yang melayani pelanggannya demi hasrat murni buat menyeimbangkan tenaga mereka, dengan menawari mereka tenaga feminin yang amat berharga.
Dan sebagai balasannya, para pelanggan akan memperlakukanku dengan baik juga. Aku menyebut diriku sebagai pelacur Tuhan. Aku tidak menduga pekerjaanku melelahkan sepanjang aku merasa senang. Setelah sesi pijat yang menyejukkan, aku pun mulai beraksi.
Tak ada posisi yang tidak mungkin: pada mana pun. Kendati demikian, aku tidak bercinta dengan semua klienku. Hanya dengan orang-orang yang bisa kupercaya dan menarik bagiku. Para klienku tak jarang laki-laki profesional dengan pernikahan yang gagal, akan akan tetapi tak mau repot bercerai.
Mereka sudah beradaptasi dengan kehidupan pada tempat tinggal yang tanpa cinta, mencari sukses dan martabat dalam pekerjaan mereka buat kepuasan terbesar. Serta mendapat pembebasan dan kepuasan seksual dari wanita tak dikenal sepertiku. Aku sering tergiur melihat transformasi pada depan mataku.
Para laki-laki yang datang dengan mata meredup dan letih pergi dengan tampak lembut dan cerah. Sebagian akbar klienku adalah para laki-laki yang tidak menduga diri mereka kekasih ideal: mereka yang menderita yang akan terjadi cacat tubuh, penyakit kronis, atau sakit mental; sebagian adalah orang yang terlalu pendek, kurus kering, atau kikuk dan kurang menghargai diri sendiri.
Kuberikan kepada mereka pelayanan terbaik, dan mereka menghargaiku dengan persahabatan. Pelacur Tuhanbahagia. Dengan para klienku, aku memiliki apa yang tak jarang tak tercapai dalam sebuah pernikahan: kehidupan pada mana esensiku yang paling dalam menemukan ekspresi.
Aku adalah dewi yang diberkati, yang mengambil madu dari Tuhannya dalam bentuk poly laki-laki. Aku merasa nikmat bareng sebagian akbar klienku dan memiliki kontak hati dengan beberapa pada antara mereka. Mereka menghargai aku.
Tak poly kata diucapkan, akan tetapi ada rasa hormat, apresiasi, pertemanan, dan humor. "Aku suka sentuhan spesialmu, Carla", "Aku merasa betah denganmu", dan "Kau menyampaikan aku pijatan yang lezat sekaligus membuatku merasa hebat", adalah beberapa ucapan yang memuaskan pertanyaan yang selalu kuajukan: "Apakah aku pada jalur yang betul?"
Anak Gadis Tuhan
Usia tak bisa dilawan. Seiring perjalanan waktu, kualitas pijatanku mulai berkurang. Aku ingin cepat mengakhirinya dan aku makin cepat lelah. Aku begitu terkejut menangkap bayanganku pada cermin, betapa pucat dan tak bahagianya tampangku.
Kesedihan makin bertambah ketika Papa meninggal pada 1993 dalam usia 80 tahun yang akan terjadi digerogoti kanker usus akbar. Sudah waktunya buat mengakui bahwa tak ada kesenangan lagi bagiku. Pelacur Tuhan sudah meninggal.
Aku tak tahu persis apa yang terjadi sebagai akibatnya telah membunuhnya. Tapi, ketika kepercayaanku pada diri sendiri merosot, begitu juga dengan jumlah klienku. Aku pribadi berpikir bahwa sudah waktunya aku meninggalkan profesiku, bersamaan dengan bunyi bertentangan yang bilang padaku bahwa aku tak bisa berhenti.
Memang, jalan hidupku sebagai pemijat berlanjut, meski terputus-putus. Hanya campur tangan pribadi Tuhan yang akan mengakhirinya. Hal itu terwujud secara meyakinkan pada musim panas 1994, meski ketika itu aku tak menghargainya.
Kupatahkan jempol kaki kananku pada tonggak kawasan tidur. Nah! Aku pun terpaksa berhenti bekerja. Berikutnya aku menderita sakit punggung yang parah. Aku tak bisa berjalan tegak, bahkan tak terpikir buat memijat.
Kehidupan menyampaikan persis apa yang kubutuhkan, sepanjang waktu. Aku begitu beruntung mendengar sebuah seruan buat membangun diriku sendiri yang sebenarnya. Sungguh suatu hidup yang diberkati. Kesalahpahamanku hanya itu: aku teperdaya pada suatu kebohongan.
Ketika mulai dengan fantasiku mengenai biarawati Cina, aku sedang mengikuti panggilan jiwaku. Pada dikala mendengar pesan mendesak dari arwah dalam diriku buat pergi ke selatan (dan menemukan Denmark) dan hati-hati buat pindah hanya kalau dirasa betul, aku sedang memenuhi panggilan itu.
Apa lagi selain melakukan kehendak Tuhan? Aku selalu mengikuti panggilan Tuhan sebaik yang kubisa. Kini aku hanyalah seorang anak gadis Tuhan. Untuk selamanya. Selesai. Urd/2210
Yogyakarta, suatu sore pada 1/3 Desember tahun ini